Wakatobi Kaya Wisata Sejarah

  • Bagikan
Masyarakat Desa Liya memperagakan tarian Mosega, salah satu seni tari di Desa Liya.
Masyarakat Desa Liya memperagakan tarian Mosega, salah satu seni tari di Desa Liya.

-- Belli Tombili: Ayo Wisata Wakatobi

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Eksotisme keindahan alam Sulawesi Tenggara (Sultra) begitu mempesona. Gugusan gunung yang hijau, hamparan pasir putih dan birunya laut bak menjadi kepingan nirwana di alam semesta. Salah satunya Wakatobi yang menawarkan terumbu karangnya yang mempesona. Daerah yang dikenal sebagai kepulauan tukang besi ini juga memiliki berbagai situs peninggalan sejarah.

Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) H. Belli Tombili mengungkapkan, salah satu situs yang patut dikunjungi wisatawan adalah situs benteng-benteng yang hingga kini masih berdiri kokoh, diantaranya benteng Keraton Liya di pulau Wangi-wangi.

Suasana acara adat di Desa Liya Togo. Masyarakat setempat masih menjunjung tinggi nilai adat.

"Kabupaten Wakatobi sangat kaya dengan wisata sejarah dan religi. Saya mengajak semua masyarakat berbondongbondong liburan ke Wakatobi," ungkap Belli.

Secara administrasi, Benteng Keraton Liya berada di desa Liya Togo. Berbeda dengan benteng buatan kolonial Vredeburg di Yogyakarta atau Benteng Marlborough di Bengkulu, Benteng Keraton Liya terbuat dari susunan batu kapur yang begitu rapi dan kokoh terbentang sepanjang 30 hektar.

Benteng Liya Togo yang berada di Kecamatan Wangi-wangi, Wakatobi.

Dari cerita masyarakat setempat, batu-batu yang tersusun tersebut direkatkan hanya dengan menggunakan telur. Saat Berada diatas benteng, akan terlihat jelas wilayah laut utara, timur dan selatan.

Benteng Liya terdiri dari empat lapis dengan 12 Lawa (Pintu), 12 lawa tersebut merupakan pintu keluar yang difungsikan masyarakat kerajaan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Sejarah mengenai Keberadaan benteng ini tidak terlepas dari sejarah kemasyhuran kesultanan Buton.

Di dalam benteng terdapat masjid tua yang dibangun pada tahun 1546 atau delapan tahun setelah pelantikan Sultan Buton Pertama Sultan Marhum pada tahun 1538.

Masjid ini bernama masjid Mubarok namun lebih dikenal dengan nama masjid Keraton Liya. Prosesi pelaksanaan salat Jumat memiliki kemiripan dengan pelaksanaan salat Jumat di Masjid Gantarang Selayar, Buton dan di daerah pelosok Bogor, yakni khatib masih memegang tongkat ketika berdiri diatas mimbar.

Di hadapan sisi kiri masjid, terdapat tempat pemakaman. Makam-makam yang berada di dataran paling tinggi Liya ini Bentuknya tidak seperti bangunan makam pada umumnya.

Makam cukup lebar ditandai dengan barisan batu karang yang ditanam ke tanah. Sementara, area makam dikelilingi pagar batu dan bunga kamboja.

Menurut cerita legenda, makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir seorang pemuda bernama Talo-Talo, pemuda sakti yang diberi daerah kekuasaan Liya Togo oleh Kesultanan Buton karena dianggap berjasa ketika diberi tugas menyelesaikan konflik di salah satu negeri bagian.

Benteng bersejarah ini berada di pulau Wangwangi, kecamatan Wangiwangi Selatan. Menuju ke benteng Keraton Liya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat dengan jarak tempuh sekitar 10 kilometer dari pusat kota.

Tempat ini cukup mudah dijangkau sebab kita hanya akan mengikuti jalan poros yang melewati jalur pesisir. Diperjalanan anda bisa menyaksikan secara langsung aktivitas masyarakat nelayan Wangi-wangi.

Nelayan suku Bajo menjahit jala yang digunakan menangkap ikan.

Memasuki area benteng, kita akan disuguhkan dengan pemandangan rumah panggung yang terbuat dari papan kayu. Warga setempat tetap konsisten mempertahankan rumah kayu semi permanen sebagai tempat tinggal.

Di pagi hari kita akan berjumpa dengan Ibu-ibu yang sedang homoru (menenun) Leja (Sarung tradisional). Masyarakat Liya Togo pun masih mengedepankan sistem gotong royong seperti pembangunan fasilitas umum maupun acara-acara adat istiadat. (b/ags)

  • Bagikan

Exit mobile version