Sarana Pemantik Perubahan: Refleksi Hari Buku Nasional

  • Bagikan

Penulis : Sasliansyah (Pegiat Literasi Konsel, dan Sekretaris GP Ansor Konsel)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Tiap 17 Mei, Indonesia merayakan Hari Buku Nasional, momen yang sejatinya lebih dari sekadar peringatan simbolis. Di tengah derasnya arus digital dan informasi yang serba instan, literasi dan budaya membaca harus terus digelorakan sebagai benteng pertahanan intelektual bangsa. Buku, sebagai jendela dunia, bukan hanya sekadar kumpulan kata, tetapi sarana pembuka wawasan dan pemantik perubahan.

Maka, penting bagi kita sebagai masyarakat Indonesia utamanya generasi muda merayakan Hari Buku Nasional dengan introspeksi mendalam: sudahkah kita benar-benar menghargai buku dan menjadikannya bagian integral dari kehidupan sehari-hari?

Peringatan Hari Buku Nasional (Harbuknas) dimulai pada 2002, bermula pada rasa jengah terhadap data yang dikeluarkan UNESCO. Di tahun tersebut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB itu merilis data yang mengundang cemas seisi negeri.

Data itu bicara tentang angka melek huruf Indonesia yang tertinggal dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia berada diangka (87,9 %), Malaysia (88,7%,) Vietnam (90,3 %) dan Thailand (92,6 %). Akhirnya oleh Menteri Pendidikan saat itu, Abdul Malik Fadjar, dijadikan momentum untuk berbenah.

Di tahun tersebut, deklarasi peningkatan literasi bangsa diikrarkan, Abdul Malik Fadjar sebagai menteri pendidikan nasional di kabinet gotong royong mengajak segenap elemen bangsa untuk bahu membahu bangkit bersama membangun negeri dengan meningkatkan literasi bangsa, melalui penetapan peringatan Hari Buku Nasional (Harbuknas).

Malik fadjar menjadikan buku sebagai jiwa untuk membangun bangsa.

Sebagaimana jauh di masa Yunani, seorang tokoh besar filsafat Stoa bernama Cicero atau Marcus Tullius Cicero pernah bertutur secara metaforik, sebuah ruangan tanpa buku seperti tubuh tanpa jiwa, sama halnya dengan sebuah bangsa, ruang bangsa yang tidak diisi dengan buku seperti bangsa yang bertumbuh tanpa jiwa.

*Kultur Membaca

Kita mengambil Jepang sebagai teladan, di Jepang ruang publik banyak menyediakan buku-buku, perpustakaan begitu mudah diakses dan tempatnya menarik, banyak toko dan café buku dengan begitu banyak jenis buku, ada istilah “tachi yomi” dimana mereka mengunjungi toko buku dan membacanya dalam waktu yang lama sambil berdiri.

Kita bisa menyampaikan dengan gamblang kultur baca inilah yang menopang kemajuan Jepang sebagai sebuah bangsa, sumberdaya manusia Jepang tumbuh dalam ruang publik yang menyenangkan bersama buku-buku. Sehingga Jepang menempati posisi ke 3 dalam skor literasi yang dikeluarkan oleh PISA.

*PISA dan Ukuran Literasi
Setiap 3 tahun sekali, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), mengumumkan data Program For International Student Assessment (PISA). Tujuan penilaian PISA adalah untuk menilai sejauh mana siswa di negara OECD dan negara mitra telah memperoleh kemahiran yang tepat dalam aspek membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.

Angka ini menjadi rujukan global, dan menjadi standar kebijakan pendidikan dibanyak negara. Bagaimana posisi Indonesia di PISA? Pada desember 2023 PISA kembali merilis posisi 81 negara yang disurvey pada tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke 68, dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371).

Skor Indonesia ini terbilang cukup rendah, pun dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainnya, walaupun secara rangking peringkat membaca Indonesia naik dari yang tahun 2018 di posisi 74 menjadi posisi 71 di tahun 2022, posisi ini masih menempatkan Indonesia pada 12 negara terbawah. Tentu miris tapi itulah faktanya.

*Kecintaan Kita Pada Buku
Di peringatan hari statistik tahun 2023 lalu, ada kalimat yang menarik. Diantaranya, dengan data yang berkualitas dapat membangun masa depan dengan unggul. Dan statistik adalah cahaya yang membawa keluar dari kegelapan ketidaktahuan.

Kita menjadi tersadarkan bahwa ada persoalan serius dengan literasi di bangsa ini, yang menjadi penyebab berkutatnya kita pada kegelapan berkelanjutan, situasi yang terus menerus menancapkan kaki kita di kubangan keterbelakangan. Kita tidak perlu bertanya lagi kenapa kita terus menjadi bangsa yang sulit untuk tumbuh, sulit untuk berkompetisi, sulit untuk mengungguli.

Kita kekurangan kecintaan pada buku, kita mengalami jarak yang jauh dari sumber pengetahuan, kita tidak menjadikan buku sebagai keseharian, mendekapnya menjadi sumber cahaya, atau meminjam Bahasa Victor Hugo seorang sastrawan besar perancis pada abad ke-19, “Belajar membaca berarti menyalakan api; setiap suku kata yang dieja adalah percikan”. Percikan untuk menyalakan masa depan, dan membakar keterbelakangan masa lalu.

Kita harus percaya bahwa buku adalah seperti pesawat dan kereta, sesuatu yang bisa membawa kita pergi jauh, melampaui seluruh ruang yang kita miliki. Dengan buku, kita bisa menuju ke rumah impian, yaitu kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Generasi yang menjadikan buku sebagai penanda identitasnya, identitas yang membedakan kita dengan makhluk lain, sebagaimana ucapan mahsur Rene Descartes “ Aku berpikir maka aku ada” satu kalimat yang menyatakan bahwa eksistensi kita sangatlah ditentukan oleh kualitas pikiran yang kita tempa. Jika bangsa ini ingin ada, maka yang pertama harus kita tempa adalah pikiran anak-anak bangsanya.

*Tumbuhnya Generasi Buku
Ada cerita tentang bonus demografi di negeri ini, melimpahnya kaum muda, kaum yang mengisi cita-cita bangsa, yang menjadi tulang punggung gerak bangsa ke depan, kaum yang memiliki percikan gelora sebagaimana yang disampaikan oleh soekarno.

Generasi ini perlu ditemani oleh satu hal, teman yang setia, teman yang mampu menemani para pejuang di jalan hening ataupun di jalan yang riuh, teman yang menjadi pijakan peradaban dibanyak bangsa. Ya, buku-buku. Anak-anak muda ini perlu memperbanyak bacaan tentang sejarah bangsa-bangsa yang tumbuh karena buku. Seperti yang disampaikan oleh Ernest Hemingway “Tidak ada teman yang setia seperti buku”.

Kita tidak mau terus menerus berdiri di posisi akhir dalam kompetisi global. Kita tentu ingin menjadi pemenang, menjadi yang terbaik, dan semua itu dimulai dari anak-anak yang muda, yang sadar bahwa kemajuan mesti ditopang oleh kemampuan kita untuk tidak melakukan kejahatan dengan tidak membaca, buku sebagaimana dipembuka tulisan ini.

Selamat Merayakan Hari buku, Karena buku adalah hadiah yang bisa terus kau buka berulang kali dengan cahaya yang terus sama.(*)

  • Bagikan