KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai, Pemilu 2024 berjalan secara cawe-cawe yang kental dengan nuansa intervensi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Busyro, itu terbukti dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang mengistimewakan Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.
"Putusan ini bukti adanya penghambaan MK RI untuk Gibran, demi calon wapres," kata Busyro dalam forum Mahkamah Rakyat: Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu yang diselenggarakan di Jakarta dan Jogjakarta, Jumat (19/4/2024).
Busyro menekankan, putusan MK itu juga menghilangkan persyaratan kompetensi, kapasitas, dan integritas untuk maju sebagai calon pemimpin Indonesia.
"Standar kelayakan memimpin Indonesia sebagai bangsa besar secara telanjang dinistakan dalam putusan MK tersebut. Demi penghambaan berhala politik bernama dinasti nepotisme politik keluarga Presiden," cetus Busyro.
Karena itu, Busyro meminta para hakim konstitusi bisa mengambil keputusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 berdasarkan supremasi etika. Ia menekankan, putusan yang mengedepankan etika akan menyelamatkan masa depan Indonesia.
"Dalam perspektif futuristik sangat penting untuk antisipatif, yaitu menutup pintu radikalisme korupsi seperti sekarang ini yang potensial pada konfigurasi presiden dan kabinetnya yang berwatak KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)," tegas Busyro.
Senada juga disampaikan, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Ridho Al Hamdi. Menurutnya, sengketa hasil Pilpres 2024 merupakan cerminan masyarakat dalam menilai pelaksanaan Pemilu 2024.
“Perkara tersebut perlu dilihat lebih sekedar perselisihan hasil penghitungan suara kewenangan MK saat memeriksa gugatan tersebut juga perlu dilihat bukan semata putusan permohonan peserta pemilu tetapi juga pesan yang mencerminkan dinamika masyarakat,” ucap Ridho.
Ridho mengutarakan, MK bukan hanya perlu menimbang seluruh aspek gugatan pemilu yang diajukan oleh para pemohon tetapi juga catatan kritis dan ungkapan keprihatinan kalangan masyarakat terutama para guru besar dan masyarakat sipil yang banyak disampaikan di berbagai forum. “Termasuk surat-surat pendapat sahabat peradilan atau amicus curiae,” pungkasnya. (jpg)