KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) bakal diumumkan 22 April 2024. Kubu pemohon capres cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1 dan Ganjar-Mahfud nomor urut 3, kompak menuntut pihak terkait capres cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran didiskualifikasi.
Pengamat politik Sultra Dr.Muh Najib Husain, S.Sos., M.Si mengatakan, jika menelisik kekuatan dalil pemohon dan termohon, kemudian kesaksian 4 menteri yang hadir di Mahkamah Konstitusi (MK), sangat dinamis. Khususnya kesaksian ke-4 menteri yang hadir, berbeda pendapatnya saat di ruang terbuka dan saat berada di MK.
“Ke-4 menteri menjawab pertanyaan hakim dengan pertanyaan normatif. Berbeda secara diametral saat mereka berbicara di publik sebelum bergulir sidang di MK,” kata Dr.Muh Najib kepada Kendari Pos, Rabu (17/4/2024).
Akademisi Fisip Universitas Halu Oleo itu memprediksi ada 4 kemungkinan putusan MK. Pertama, menerima secara keseluruhan permohonan dari pemohon dan mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran. Kedua, menolak secara keseluruhan dan memberikan catatan untuk pelaksanaan Pemilu berikutnya.
Ketiga, menerima sebagian dan tidak melibatkan lagi Gibran dalam pemilu ulang. “Ke-4, menerima sebagian dan digelar Pemilu ulang namun Prabowo-Gibran tetap diikutkan pada Pemilu ulang di beberapa tempat,” tutur Dr.Muh Najib.
Dari 4 kemungkinan putusan hakim, kata dia, yang akan dikeluarkan oleh hakim, yang paling berpotensi yakni menolak permohonan para pemohon dan hanya sekedar memberikan catatan kepada pemerintah agar Pemilu 2029 dilaksanakan lebih baik.
Alasannya, jika MK memutuskan pada poin kedua, ketiga atau keempat, besar kemungkinan terganggunya kestabilan negara. Termasuk biaya yang sangat besar akan dikeluarkan oleh negara ketika terjadi pemilihan ulang. Hal-hal itu pasti menjadi pertimbangan-pertimbangan Hakim. Apalagi hakim di MK bukan posisi ganjil, tetapi genap (8 orang hakim). Sehingga jika terjadi putusan yang berbeda diantara, maka bisa saja tidak ada putusan tetap.
“Permohonan paslon capres cawapres nomor urut 1 dan 3, besar kemungkinan ditolak. Karena keinginan paslon 1 maupun 3, mendiskualifikasi Gibran. Permohonan tersebut sangat sulit dikabulkan apalagi alasan pemohon tidak begitu kuat,” ujar Dr.Muh Najib.
Kekuatan saksi yang dihadirkan oleh paslon capres cawapres nomor urut 1 dan 3 agak lemah. Kemudian 4 menteri yang hadir bersaksi khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Sosial RI Tri Rismaharini, juga tidak berdampak apa-apa seperti yang diharapkan menguatkan atau mendukung dalil para pemohon. “Atas dasar itu, sangat berat keinginan atau harapan paslon capres cawapres nomor urut 1 dan 3 dikabulkan,” jelas Najib.
Jika putusan MK benar-benar menolak permohonan paslon capres cawapres nomor urut 1 dan 3, maka konstelasi politik di Indonesia akan memunculkan gejolak baru. Sikap PDIP sangat ditunggu-tunggu publik, apakah berada di luar pemerintah menjadi oposisi atau masuk dalam lingkaran kekuasaan.
“Jika PDIP berada di luar pemerintah menjadi oposisi, maka keseimbangan demokrasi di Indonesia akan berjalan stabil. Berbeda jika PDIP merapat ke Prabowo-Gibran, kondisi demokrasi Indonesia akan jauh lebih buruk ke depan,” beber Dr.Muh Najib.
Kondisi demokrasi Indonesia akan berada dalam suasana kekhawatiran jika PDIP memilih berkongsi dengan koalisi Prabowo-Gibran. Karena bisa saja pemerintah dalam memutuskan atau mengambil suatu kebijakan, didominasi atas dasar sesuai kehendak kepentingan tertentu, karena faktor kekuatan berkuasa tersebut.
“Publik berharap agar PDIP tetap berada di luar lingkaran pemerintah. Sehingga PKS tidak sendiri dalam mengawal pemerintah dari luar,” tandas Dr.Muh Najib. (ali/b)