Dari Pemilu ke Pemilu, Nasib Perempuan Pesisir Tetap Pilu

  • Bagikan
Perempuan pesisir Kota Kendari, membawa serta anak dan cucu, memulung sampah laut di Teluk Kendari. Para perempuan ini rata-rata menggantungkan hidup dari aktivitas memulung dan mencari kerang. (YULI/KENDARI POS)
Perempuan pesisir Kota Kendari, membawa serta anak dan cucu, memulung sampah laut di Teluk Kendari. Para perempuan ini rata-rata menggantungkan hidup dari aktivitas memulung dan mencari kerang. (YULI/KENDARI POS)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Hanapia perlahan melepas ikatan perahu dari tiang pancang, meraih dayung yang sedari tadi tergeletak di atas perahu yang penuh tambalan di sana sini. Dengan dayung itu, ia menggerakkan perahu menyingkir beberapa meter dari tiang. Sekuat tenaga, Hanapia mengengkol mesin. Sejurus kemudian, perahu kayu sekira 5 meter dan lebar sekira 50 sentimeter itu membelah Teluk Kendari dan hendak mencari kerang kalandue (Polymesoda erosa) di hutan bakau yang tersisa di pesisir Kota Kendari.

Perjalanan hari itu ditempuh tak kurang dari 45 menit. Sampai di tujuan, Hanapia mencari area yang nyaman. Ia berjongkok hingga air laut setinggi dada. Lalu memukul-mukulkan parang ke dasar air yang berlumpur. 5 menit berlalu, ia menggenggam kalandue. Butuh waktu hampir setengah jam hingga ember bervolume 5 liter itu terisi kerang. “Sudah ini mi sumber penghidupanku,” Hanapia memperlihatkan sebuah kerang.

Hanapia, warga Kelurahan Petoaha Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebuah pemukiman di pesisir Kota Kendari. Mayoritas warganya bekerja di sektor informal. Mulai dari nelayan, buruh pabrik, hingga pemulung.

Hanapia berusia 50 tahun. Sebagian besar hidupnya ia habiskan di laut. Orang tuanya berprofesi nelayan. Mendiang suaminya juga nelayan. Hanapia telah menjadi pencari kerang sejak kecil, mulai berburu gurita, memancing cumi, dan memulung sampah laut.

Setelah suaminya meninggal 20 tahun silam, Hanapia kini mengemban peran ganda. Sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Ia tidak pernah membayangkan jika harus hidup jauh dari laut. Di sana, ibu 6 anak ini punya kemampuan bertahan hidup. Ia punya keahlian yang bisa diandalkan.

Dulu, Hanapia bisa dengan mudah mendapatkan kerang. Pohon bakau (mangrove) tumbuh di sepanjang teluk. Namun, beberapa tahun belakangan, jumlahnya kian menyusut. Berganti dengan bangunan dan fasilitas umum sebagai konsekuensi dari pembangunan kota. Jika sebelumnya ia hanya perlu berjalan kaki untuk mencari kerang, kini Hanapia harus menggunakan perahu. Dengan perahu mesin, Hanapia butuh waktu hampir 1 jam untuk sampai di tempatnya mencari kalandue.

Setahun lalu, Hanapia mendapatkan bantuan mesin dari pemerintah setempat. Mesin itu masih menganggur sampai hari ini lantaran perahu miliknya yang penuh tambalan tidak mampu menahan beban berat karena penuh tambalan semen.

Hanapia pernah bekerja di perusahaan pengolahan ikan. Ia berhenti 5 tahun lalu karena perusahaan gulung tikar. Kini, ia menggantungkan hidup pada kerang, gurita, cumi, dan sampah laut. Masing-masing pekerjaan memiliki tantangannya sendiri. Mencari gurita hanya bisa dilakukan pada musim tertentu. November musim yang paling menjanjikan. Saat angin muson barat berlangsung sepanjang Oktober-April, Hanapia terpaksa libur mencari gurita. Ia hanya memancing cumi di malam hari saat bulan bersinar terang. Rasa takut kadangkala menghantui Hanapia ketika berburu cumi di malam hari. Karenanya, ia selalu berpakaian layaknya pria. “Saya sering pakai topi biar tidak disangka perempuan, dan biar tidak terlalu takut,” ungkapnya.

Hanapia tinggal di rumah berukuran 40 meter persegi bersama 8 anggota keluarga. Anak, menantu, dan cucu. Rumah itu bantuan pemerintah 15 tahun lalu. Beberapa bagian dinding rumah papan itu kini lapuk dimakan usia.

Pemasukan dari mencari kerang dan memulung sampah tidak begitu bisa diandalkan. Uang yang dihasilkan tak selalu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi untuk menabung.

Hanapia bukannya tak ingin mengubah nasib. Ia hanya tak tahu caranya. Saat ia mengatakan, “seharusnya orang kecil itu yang diperhatikan,” Hanapia menganggap bahwa pemerintah tak bersungguh-sungguh mengentaskan kemiskinan yang mendera orang-orang seperti dirinya. “Kita dibuatkan kelompok untuk dapat bantuan. Ketika turun bantuan, kita tidak dapat,” keluhnya.

Bukan hanya sekali dua kali Hanapia dikecewakan. “Kita disuruh urus KTP (Kartu Tanda Penduduk), kartu keluarga. Capek mengurus tidak ada hasilnya. Kadang saya malas mi juga. Nanti setelah terlibat dengan organisasi (Perempuan Pesisir) baru dapat bantuan,” imbuhnya.

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Hanapia baru mantap memberikan hak pilihnya kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sedangkan untuk calon anggota legislatif, ia belum yakin. Selain karena tak begitu percaya janji-janji politisi, Hanapia nyaris tak mengenal satu pun kandidat. “Tidak tahu anggota dewan ini apa yang kita mau harap. Mudah-mudahan dia bisa bantu kita kalau dia naik. Itu saja kita punya harapan,” gusar Hanapia.

Menganggap Pemilu tak Penting

Hanapia hanya 1 dari sekian banyak perempuan pesisir di Kota Kendari yang memiliki permasalahan serupa. Mereka tergilas kemiskinan karena tidak memiliki akses untuk berkembang. Saat laut tidak bersahabat, para perempuan ini tidak punya alternatif sumber pendapatan di darat. Sampah laut yang dianggap sebagai gangguan oleh sebagian orang, justru menjadi “berkah” bagi mereka yang menggantungkan hidup dari memulung.

Ketua Jaringan Perempuan Pesisir Sultra, Mutmainna mengatakan, saat ini organisasi memiliki sekira 100 anggota perempuan pesisir di Kota Kendari. Mereka adalah ibu rumah tangga, nelayan, pemulung, dan buruh perikanan. Rata-rata hanya mencecap pendidikan sampai SD dan SMP. Ada pula yang tidak bersekolah sama sekali.

Di Kelurahan Petoaha, ada 10 perempuan yang menjadi anggota Perempuan Pesisir. Mereka rata-rata janda dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan pemulung.

Menurut Mutmainna, untuk membantu masyarakat pesisir, pemerintah perlu mendorong kemandirian ekonomi mereka. Contohnya, perempuan pesisir yang mata pencahariannya memulung sampah, mestinya dibantu dengan membangun bank sampah. Untuk perempuan nelayan, pemerintah berkewajiban memberikan akses bantuan modal secara merata dan tepat sasaran.

“Sampai kapan pun, ekonomi para pemulung ini akan tetap stagnan. Mereka hanya bertahan untuk makan sehari-hari. Mereka tidak berpikir untuk punya tabungan dan anak-anak mengeyam pendidikan setinggi-tingginya,” ujar Mutmainna.

Maka tak heran, lanjut Mutmainna, sebagian masyarakat pesisir menganggap Pemilu tak penting. Mereka lebih memilih ke laut untuk mencari nafkah dibandingkan menghabiskan waktu di tempat pemungutan suara (TPS). “Dalam anggapan mereka, lebih baik cari uang dari pada ke TPS. Hanya buang-buang waktu. Toh, nasib mereka tidak juga berubah,” ujarnya.

Mutmainna berharap, siapa pun caleg terpilih di Kota Kendari nanti bisa bersungguh-sungguh memperhatikan kondisi perempuan miskin di pesisir Kendari. Bentuknya bisa berupa penanganan kemiskinan dengan memberikan hak pekerjaan dan hak tempat tinggal yang layak.

“Warga miskin kota harus menjadi prioritas pemerintah. Mereka juga memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan seperti kebersihan kota melalui pemulung. Orang kaya makan ikan dari hasil tangkapan nelayan miskin. Orang kaya menikmati bangunan mewah hasil kerja para buruh bangunan,” tuturnya

Kasuistik

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Kendari, Cornelius Padang mengungkapkan, tingkat kemiskinan di Kota Kendari tahun 2023 mencapai 4,57 persen atau 48.435 jiwa, sedangkan tingkat kemiskinan ekstrem sebesar 0,58 persen atau 2.578 jiwa berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

“Apakah ada hubungannya antara tingkat kemiskinan Kota Kendari dengan masyarakat pesisir, ini perlu ada kajian tersendiri,” ujar Cornelius saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (12/2/2024).

Cornelius menambahkan, sebagian masalah kemiskinan telah ditangani lewat Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non-Tunai, dan bantuan sosial lainnya yang bersumber dari pemerintah pusat. “Tapi kita tidak bisa mengandalkan itu terus,” katanya.

Mengenai bantuan untuk nelayan yang tidak tepat sasaran, menurut Cornelius hal itu bersifat kasuistik. Ia menegaskan Pemerintah Kota Kendari telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk bantuan peralatan penunjang kegiatan nelayan.

“Setiap tahun kita anggarkan. Boleh dicek di DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) Dinas Perikanan. Bantuan kepada kelompok-kelompok nelayan setiap tahun ada karena setengah wilayah kita adalah pesisir. Program bantuan perahu, mesin, bahkan bibit ikan, setiap tahun ada di Dinas Perikanan. Dan itu cukup besar menurut kita,” terang Cornelius.

“Ini menjadi PR bagi pemerintah. Bukan hanya bagaimana mereka bisa memperoleh hasil laut, namun juga bagaimana hasil laut ini bisa diolah dan dipasarkan. Bagaimana mereka bisa memiliki penghasilan yang layak. Tapi sekali lagi bahwa dalam rumusan kebijakan perencanaan kita itu menjadi salah satu poin. Pemberdayaan masyarakat pesisir memang harus didorong,” sambung Cornelius. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version