Oleh: Rosmawati Rasyid, SKM.,M.Kes (Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sultra)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Virus demam berdarah menginfeksi jutaan orang setiap tahunnya. Meskipun penyakit ini biasanya sembuh secara spontan, beberapa pasien mungkin mengalami komplikasi serius dan mengancam jiwa yang ditandai dengan kebocoran plasma, perdarahan, dan syok.
Tanda dan gejala penyakit berat sulit diprediksi, karena biasanya muncul di akhir penyakit, ketika pasien sudah sembuh dan demam sudah mereda. Kebanyakan penderita demam berdarah tidak menunjukkan gejala. Namun gejala paling umum dari orang yang menderita penyakit ini adalah demam tinggi, sakit kepala, nyeri tubuh, mual, dan ruam.
Rilis data kesehatan masyarakat terkini cukup memprihatinkan, terutama di beberapa daerah di Sultra. Pemprov Sultra merilis data sekitar 494 kasus demam berdarah dengue (DBD) hingga pertengahan Januari 2024. Sebanyak 286 kasus ditemukan di wilayah Kota Kendari dan 84 kasus di wilayah Konawe Selatan. Incident rate (IR) Kota Kendari ditemukan sebesar 76,6 kasus per 100.000 penduduk.
Peningkatan infeksi ini kemungkinan besar, terkait dengan pergantian musim dan peralihan ke musim hujan. Berdasarkan surveilans Dinas Kesehatan Sultra, angka kesembuhan masih berkisar 85 persen. Namun, jika tidak segera dilakukan pengobatan dan penanganan preventif, kemungkinan terjadinya kasus endemik DBD akan meningkat pada Maret-April.
Secara nasional, Sultra memang belum termasuk wilayah endemis tertinggi kasus DBD. Kemungkinan karena populasi penduduknya hanya berkisar 2,7 juta jiwa. Dalam berbagai riset menyebutkan, kepadatan penduduk dapat mempengaruhi jumlah kejadian DBD.
Jumlah individu yang besar di suatu wilayah tertentu, akan memudahkan penyebaran penyakit DBD, karena akan mempermudah dan mempercepat transmisi virus Dengue dari vektor. Dan semakin padat penduduk maka akan menyebabkan kepadatan hunian.
Kepadatan penghuni adalah perbandingan jumlah penghuni dengan luas rumah dimana berdasarkan standar kesehatan adalah 10 m2 per penghuni, semakin luas lantai rumah maka semakin tinggi pula kelayakan hunian sebuah rumah.
Namun eskalasi kasus DBD di Sultra yang mencapai 400-an orang, padahal populasinya belum tergolong padat? Pemicu lainnya karena Indonesia ini negara beriklim tropis, tempat favorit bagi nyamuk. Pemicu lain karena pembukaan kawasan baru, khususnya di wilayah Kota Kendari, yang tentu mengusik aktivitas habitat Nyamuk Aedes Aegypti.
Fenomena urbanisasi dan eksplorasi ke wilayah rimba yang dilakukan, praktis paparan manusia dengan nyamuk tak bisa terhindarkan, mengingat kebutuhan manusia terhadap air juga memicu banyaknya penampungan air yang potensi menjadi breeding places bagi nyamuk A. aegypti. Akibatnya, nyamuk-nyamuk yang bersifat antropofilik -menyukai darah manusia- ini menyebabkan peningkatan tajam kasus dengue di berbagai tempat.
Ketika urbanisasi mengarah ke pemukiman yang tidak terkontrol, dengan pola sanitasi yang tidak baik, masyarakat telah menjadikan daerah tempat tinggalnya menjadi sumber risiko bertahannya kasus dengue. Meskipun penelitian-penelitian tentang pengendalian vektor -pembawa penyakit- senantiasa ditingkatkan, dapat dikatakan masih sulit untuk mengambil korelasi positif antara hasil temuan laboratorium dengan penurunan kasus dengue di kehidupan nyata.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi DBD ada tiga. Pertama, adalah surveilans yang masih bersifat pasif, di mana laporan dibuat masih berdasarkan laporan dari Rumah Sakit. Kita masih belum dapat mengestimasikan jumlah kasus yang real. Sebaiknya semua lini harus dapat mengambil peran agar deteksi kasus menjadi lebih mudah.
Kedua, adalah manajemen kasus. Meskipun angka kematian dapat ditekan hingga 1 persen, kita tentu masih berharap agar angka ini masih terus bisa diturunkan lagi. Kita masih berharap jangan ada lagi kasus-kasus yang datang terlambat. Terakhir, adalah partisipasi masyarakat. Peran serta masyarakat untuk ikut serta secara konsisten, menjaga lingkungannya tidak terjangkit dengue memang masih sulit.
Beban global
Kejadian demam berdarah telah meningkat secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir, dengan jumlah kasus yang dilaporkan ke WHO meningkat dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi 5,2 juta pada tahun 2019. Kasus demam berdarah tidak dilaporkan. Dalam banyak kasus, penyakit lain yang disertai demam juga salah didiagnosis.
Sebuah model memperkirakan terdapat 390 juta infeksi virus dengue per tahun, dan 96 juta di antaranya terlihat secara klinis. Menurut studi prevalensi demam berdarah lainnya, 3,9 miliar orang berisiko tertular virus demam berdarah.
Penyakit ini kini menjadi endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania bagian timur, Asia Tenggara, dan Pasifik bagian barat. Benua Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat adalah wilayah yang paling terkena dampaknya, dengan Asia menyumbang sekitar 70 persen penyakit global.
Di Asia, kasus terbanyak dilaporkan di Bangladesh (101.000), Malaysia (131.000), Filipina (420.000), Vietnam (320.000). Demam berdarah terus menyerang Brazil, Kolombia, Kepulauan Cook, Fiji, India, Kenya, Paraguay, Peru, Filipina, Reunion dan Vietnam pada tahun 2021.
Berkaca pada transmisi atau atau penularannya sendiri, DBD bisa dipicu melalui nyamuk, dan potensi penularannya juga dari manusia ke nyamuk. Virus ini biasanya menular ke manusia melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti. Spesies lain dari genus Aedes juga dapat berperan sebagai vektor, namun proporsinya tidak sebesar Aedes aegypti.
Dalam hal ini, penularan dari manusia ke nyamuk berarti nyamuk dapat tertular dari orang yang viremik DENV. Ini bisa berupa seseorang yang menderita infeksi demam berdarah bergejala, seseorang yang belum menderita demam berdarah (yang bergejala), atau seseorang yang tidak memiliki tanda-tanda penyakit (gejala). Penularan dari manusia ke nyamuk dapat terjadi maksimal 2 hari sebelum gejala muncul dan maksimal 2 hari setelah demam mereda.
Risiko infeksi yang ditularkan oleh nyamuk berhubungan positif pada pasien dengan viremia tinggi dan demam tinggi; sebaliknya, tingginya tingkat antibodi spesifik DENV dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi yang ditularkan oleh nyamuk. Kebanyakan orang mengalami viremia selama 4-5 hari, namun viremia bisa bertahan hingga 12 hari.
Upaya Preventif Sejak Dini
Pemerintah secara berjenjang sudah lama menetapkan standar penanganan secara medis maupun terintegrasi. Namun, garda terdepan terakhir penanganan secara preventif adalah masyarakat sendiri karena bersentuhan langsung dengan lingkungannya.
Konsep sederhana yang bisa diterapkan adalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Maknanya, entah itu perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat itu sendiri berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. PHBS dalam upaya mencegah DBD dapat dilakukan dengan sering membersihkan rumah, tidak banyak menggantung pakaian di rumah (kamar tidur), menguras bak mandi seminggu sekali. Konsep sederhana dan sudah mengakar dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pola 3 M Plus. Yaitu, Menguras tempat penampungan air, Menutup tempat-tempat penampungan air dan Mendaur ulang berbagai barang yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus DBD pada manusia.
Selain 3 M diatas yang dimaksud pada poin Plus antara lain, menanam tanaman yang dapat menangkal nyamuk, memeriksa tempat-tempat yang digunakan untuk penampungan air, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, menggunakan obat anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi yang ada di rumah.
Lalu melakukan gotong royong untuk membersihkan lingkungan secara bersama, meletakkan pakaian yang telah digunakan dalam wadah tertutup, memberikan larvasida pada penampungan air yang susah untuk dikuras dan memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar.
Menata secara kontinyu semua perilaku itu memang tidak mudah dilakukan, namun mutlak diperlukan untuk meningkatkan derajat kesehatan, utamanya mencegah penyebaran DBD di tengah masyarakat. (*)