KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Debat Pilpres 2024 session 4 digelar pada 21 Januari. Kali ini, tema yang diangkat adalah pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam (SDA), lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
3 calon wakil presiden (cawapres), Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD akan adu argumen terkait tema yang telah ditentukan.
Nah, menyangkut pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, termasuk Sultra masih paradoks dalam kehidupan sosial. Karena sistem pengelolaannya berdampak langsung terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat. Problematika yang kerap dihadapi yakni regulasi terkait kelestarian lingkungan, acapkali dilanggar ketika berhadapan dengan hegemoni korporasi. Bahkan tak jarang oknum pemerintah dan perusahaan berkongsi dalam pengelolaan hutan. Tak jarang pula, buah dari kongsi itu menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga masyarakat menjadi korban.
Publik berharap dalam debat cawapres yang membahas lingkungan hidup hendaknya tidak hanya slogan narasi semata namun mesti sejalan dengan aktualisasi yang nyata dan tegas. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Andi Rahman mengatakan, pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia termasuk Sultra nyaris tidak mengedepankan asas keadilan.
“Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Tidak hanya dalam bentuk narasi visi misi, namun dalam aktualisasi juga harus dijalankan dengan maksimal. Sehingga kerusakan lingkungan dapat dicegah sedini mungkin,” ujar Andi Rahman kepada Kendari Pos, Rabu (17/1/2024).
Sultra yang memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia diyakini sebagai sumber energi dunia, namun dalam pengelolaannya hanya dikuasai oleh beberapa korporasi yang berasal dari luar. Diperparah sistem penataan lingkungan pra dan paska eksplorasi tidak dilaksanakan sesuai undang-undang yang berlaku.
“Dari fenomena tersebut, mengakibatkan dampak negatif seperti rawan banjir, cuaca yang tak menentu, dan hilangnya mata pencaharian masyarakat,” kata Andi Rahman.
Masih segar diingatan ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis terkait permasalahan lingkungan termasuk di Indonesia. Bahwa, dunia saat ini telah masuk pendidihan global. Salah satu penyebabnya adalah ekspansi kawasan hutan yang sangat buruk dan ironinya dilakukan oleh korporasi (investor) atas restu dari pemerintah. Disusul temuan PPATK terdapat aliran dana kepada peserta Pemilu 2024 yang berasal dari perusahaan penambang ilegal.
Andi Rahman menjelaskan, salah satu kasus bentuk kerusakan lingkungan akibat ulah korporasi yang berkongsi dengan pemerintah seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yakni perusahaan PT. Wijaya Inti Nusantara (WIN) yang diduga merusak lahan warga sehingga beberapa kali terjadi konflik.
Tak hanya di Konsel, namun di Pulau Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan juga terjadi konflik perusahaan PT GKP versus masyarakat setempat. Selanjutnya, di Kabupaten Konawe Utara ada sekira 8.400 hektare kawasan hutan dieksplorasi secara ilegal.
“Fenomena tersebut sebagai gambaran karut marutnya pengelolaan SDA di era pemerintahan saat ini. Tentu hal ini menjadi tantangan bagi presiden terpilih ke depan,” tegas Andi Rahman.
Andi Rahman menyebut aktor utama yang paling bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan akibat eksplorasi oleh korporasi yakni pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Alasannya, sistem penertiban izin eksplorasi tambang merujuk pada Undang-Undang Minerba nomor 3 tahun 2020, bahwa pusat menerbitkan izin mesti terlebih dahulu ada rekomendasi dari pemerintah kabupaten dan provinsi.
"Beberapa izin atau IUP yang ada saat ini, sebagian besar diterbitkan gubernur. Sedangkan beberapa izin baru yang keluar diterbitkan oleh pusat.
Jadi yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah pusat dan daerah karena keduanya simultan atau punya kewenangan masing-masing atas penerbitan izin. Karenanya, jika ditanya siapa yang paling bertanggungjawab maka jawabannya adalah semuanya bertanggungjawab,” tegas Andi Rahman.
Andi Rahman menjelaskan salah satu penyebab maraknya kerusakan lingkungan karena diakibatkan pengawasaan yang sangat lemah. Tak hanya itu, oknum Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai tumpuan masyarakat untuk menindak perusak lingkungan, justru diduga berkongsi dengan korporasi. Fenomena tersebut menjadi tontonan yang kerap terjadi, termasuk di Sulawesi Tenggara. (ali/b)