KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Kisruh agraria di Indonesia termasuk Sulawesi Tenggara (Sultra) seolah tak ada habisnya. Bahkan, kuantitas kasus konflik agraria konsisten meningkat setiap tahun. Ironinya rata-rata mencuatnya polemik agraria berawal dari kebijakan pemerintah berkongsi dengan investor, terutama pada proyek-proyek strategis ataupun pada prospek ekspolrasi sumber daya alam.
Isu agraria akan menjadi salah satu topik debat ke-4 Pilpres 2024 pada Minggu, 21 Januari 2024. Kali ini, calon wakil presiden (Cawapres) yang akan berdebat dengan mengulas tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam (SDA), lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Publik berharap capres cawapres lebih tegas mengejawantahkan gagasan cemerlang terkait permasalahan agraria yang terus berkelanjutan.
Anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kisran Makati mengatakan, kondisi agraria di Indonesia saat ini berada level kronis atau sangat timpang khususnya menyangkut polemik kepemilikan tanah. "Ini tugas esensial presiden terpilih ke depan. Publik berharap pada debat ke-4 yang membahas agraria benar-benar cemerlang memerlukan gagasan ideal dari masing-masing cawapres," ujarnya kepada Kendari Pos, Selasa (16/1/2024).
Karena sejak zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi hingga era saat ini, konflik agraria konsisten terus bertambah. Catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria, lebih 2.000 kasus yang lahir dari rahim agraria. “Ini membutuhkan komitmen kuat dari para capres cawapres untuk merumuskan agenda reforma agraria yang adil dan berkelanjutan, agar teratasi ketimpangan dan tercipta kesetaraan kepemilikan tanah,” kata Kisran Makati.
Polemik kepemilikan tanah di Indonesia termasuk di Sultra, kata dia, sangat timpang. Kronis ketimpangan tersebut hingga pada tatananan oligarki yang menguasai 5 juta hektare tanah. Di bawah 2 juta hektare yang menguasai tanah di Indonesia juga sangat banyak. Bahkan, salah satu capres diduga memiliki sekira 340 ribu hektare yang tersebar di Kalimantan dan Aceh.
“Suatu struktur kepemilikan yang sangat timpang dan juga harus diperhatikan atau diagendakan, agar skema penataan tanah lebih adil dan berkelanjutan. Tak kalah pentingngnya konflik agraria agar diselesaikan,” ujar Kisran Makati.
Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra itu menegaskan konflik agraria tidak sedikit dimulai dari investasi yang mengharuskan adanya pembebasan lahan masyarakat. Konflik terbaru yakni di Rempang, Batam Kepulauan Riau. Pemerintah lebih mengedepankan Proyek Strategis Nasional (PSN) ketimbang peradaban budaya lokal hanya karena proyek strategis nasional.
“Ini sangat tidak masuk akal, pemerintah lebih mengutamakan investasi ketimbang kepentingan masyarakat yang bermukim jauh sebelum kemerdekaan di Pulau Rempang,” tegas Kisran Makati.
Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra itu menegaskan dalam agenda reformasi ke depan, pemerintah harus memberikan dukungan yang lebih riil kepada petani kecil dan masyarakat lokal utamanya dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Karena pada aspek tersebut juga terjadi ketimpangan khususnya pada porsi anggaran. Pada program food estate di Kalimantan yang menelan anggaran ratusan triliun rupiah, namun proyek tersebut berpotensi gagal.
“Mestinya pemerintah menyalurkan anggaran tersebut untuk kepentingan para petani yang sangat membutuhkan sentuhan modal, alat produksi, alat pertanian, bibit, pupuk dan lainnya,” tutur Kisran Makati.
Aroma Kongkalikong
Pemilu 14 Februari maupun Pilkada 27 November 2024, aroma terjadi kongkalikong antara paslon dengan pemodal mulai menyeruak. Tentu saja, dengan komunikasi antara pemodal dan paslon tertentu dibubuhi berbagai kesepakatan atau istilah politiknya tidak ada makan siang gratis. Fenomena tersebut menjadi tontonan lumrah dalam pemilihan sistem demokrasi.
Pada titik tersebut bagian dari munculnya praktik-praktik konflik agraria, kerusakan lingkungan dan lain-lain. Maka penekanan Pemilu terselenggara dengan baik, mesti didorong maksimal seluruh lapisan masyarakat terutama penyelenggara pemilihan baik, KPU, Bawaslu, dan stakeholder lainnya.
“Kita berharap Pemilu, bukan bagian dari mengobral SDA kita terhadap para pemodal yang menyokong para paslon. Karena kalau lihat kawasan hutan kita sudah sangat menipis. Ada yang dirusak secara ilegal dan ada pula penurunan status secara legal namun bagian dari memenuhi janji atau komitmen politik antara paslon dan pemodal,” ucap Anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kisran Makati kepada Kendari Pos, Selasa (16/1/2024).
Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra itu menguraikan, jika investasi menyangkut eksplorasi SDA berjalan normal tanpa adanya kongkalikong politik, mestinya tidak ada lagi kemiskinan apalagi sampai pada level ekstrem. Justru SDA Sultra melahirkan konflik agraria hingga dikorupsi. Salah satu contohnya dugaan korupsi di pertambangan di Blok Mandiodo Konawe Utara yang duga merugikan negara sekira Rp5,7 triliun.
Kisran Makati menyebut spot-spot izin SDA di Sultra cukup banyak namun tidak ditahu persis berapa pembagian deviden khususnya yang diberikan kepada daerah. Apakah masuk di kas negara atau di kantung oknum pejabat negara?
“Ini sebuah ironisme yang menimbulkan pertanyaan, bahwa SDA daerah kita kaya namun rakyatnya miskin. Bahkan kemiskinan ekstrem terus tumbuh meningkat. Padahal Sultra menjadi buah bibir primadona, namun berbicara masyarakat Sultra kita seperti anak ayam mati di lumbung padi,” urai Kisran Makati.
Kenyataan tersebut sangat memilukan bagi masyarakat Sultra. Kekayaan alam dijarah secara membabi buta, namun masyarakat tidak sejahtera bahkan dibelenggu kemiskinan. "Yang paling bertanggungjawab atas fenomena ini adalah pemerintah pusat. Karena masih segar diingatan publik ketika pemerintah pusat menelurkan Undang-Undang Minerba nomor 3 tahun 2020 yang mengakomodir kewenangan pusat secara penuh atas pengelolaan SDA di daerah," jelas Kisran Makati.
“Terbitnya UU Minerba nomor 3 tahun 2020 memutasi kewenangan daerah. Perizinan dan pengawasan diambil alih pusat sehingga dampaknya sangat melemahkan daerah yang tidak diberi otoritas dalam mengelola SDA nya,” sambung Kisran Makati.
Ketika kewenangan izin dan pengawasan pengeloalan SDA yang diakomodir pusat, menjadikan daerah sebagai penonton. Sehingga saat pengerukan SDA, maka pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi tidak memiliki legitimasi hukum untuk mengatur atau mengintervensi lebih jauh. Dampaknya, tidak diketahui persis seperti apa aliran atau proses eksplorasi SDA baik yang dilakukan pengusaha lokal maupun asing.
“Ini sangat merugikan Sultra. Karena SDA kita habis, dan para pengeruk meninggalkan kerusakan lingkungan, masyarakat tidak menerima manfaat signifikan, dan ketika terjadi bencana seperti banjir, pihak perusahaan pun tidak peduli atau memperhatikan daerah kita,” beber Kisran Makati.
Ironi lainnya perusahaan tambang tidak memulihkan hutan yang telah digunduli. Tak hanya itu, kawasan laut pun menjadi rusak yang mengakibatkan habitat laut mati atau pergi mencari tempat baru yang lebih layak. Nelayan pun ikut merasakan dampaknya karena kesulitan menangkap ikan. “Mereka harus mencari ikan dengan jarak yang jauh dari sebelumnya. Karena kondisi dipinggir laut sudah rusak, tercemar,”tandas Kisran Makati. (ali/b)