Laode Syarif: 3 Rancangan PKPU Tidak Sah

  • Bagikan
Laode M.Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan
Laode M.Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan

--Disusun Setelah Melewati Batas Waktu Pembuatan Regulasi

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuai sorotan. Kali ini datang dari Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M.Syarif. Mantan Wakil Ketua KPK itu menyoroti penyusunan 3 rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Laode M.Syarif menilai uji publik 3 rancangan PKPU itu terkesan terburu-buru.

Menurut Laode Syarif, KPU baru membagikan dokumen rancangan PKPU setebal 80 halaman, 2 hari sebelum dibahas bersama dengan partai dan elemen masyarakat sipil. Yang lebih mengkhawatirkan, ketiga rancangan PKPU ini disusun setelah melewati batas waktu pembuatan regulasi untuk Pemilu 2024, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Beleid tersebut menetapkan waktu terakhir pembuatan PKPU yakni pada Kamis(14/12/2023).

"Oleh karena itu, rancangan peraturan dan konsultasi ketiga PKPU ini bisa dinyatakan tidak sah dan bermasalah secara hukum. Untuk itu, sebaiknya KPU tak melanjutkan penyusunan ketiga rancangan PKPU tersebut lantaran berpotensi melanggar ketentuan hukum yang telah mereka tetapkan,” ujar Laode Syarif dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kendari Pos, Senin (15/1/2024).

Laode Syarif menyebut ketiga rancangan PKPU itu adalah, pertama : rancangan PKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Kedua, rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih. Ketiga rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024

"Pemilu yang demokratis sudah semestinya menerapkan prinsip keterbukaan. Karena itu, keterlibatan publik dalam memantau prosesnya harus dibuka lebar. Namun nampaknya kali ini KPU selaku penyelenggara Pemilu mulai melupakan ruh keterbukaan tersebut," kata Laode Syarif.

Indikator pertama, dalam rancangan PKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu, peran saksi dari nonpartai tak diakui secara tegas kedudukannya dalam proses rekapitulasi berjenjang dari kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Sebabnya, mereka tak diberikan otoritas yang sah.

Hal tersebut sama saja dengan mengurangi peran check and balances dari elemen masyarakat sipil dalam proses rekapitulasi karena hanya saksi dari partai yang diakui. "Semestinya saksi dari nonpartai juga diberikan otoritas yang sama seperti saksi dari partai. Sehingga mekanisme check and balances bisa berjalan optimal,” tutur Laode Syarif.

Kemudian, KPU menggunakan formulir C1 yang diunggah ke situs Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) sebagai pembanding proses rekapitulasi manual berjenjang. Namun KPU belum menjelaskan mekanisme yang menjamin formulir C1 yang belum terunggah ke Sirekap karena ketiadaan internet tidak disalahgunakan.

Menurut Laode Syarif, hal tersebut berpotensi menjadi celah terjadinya kecurangan. Ditambah pula, rancangan PKPU ini belum menyertakan hak publik secara spesifik untuk mengakses Sirekap guna memantau formulir C1 yang telah diunggah. “Ini menjadi penting untuk diperbaiki karena keterlibatan publik dalam proses rekapitulasi suara sangat penting untuk meminimalisasi kecurangan,” tegasnya.

Indikator kedua, dalam rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, tak diatur sanksi bagi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang tak menyertakan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Namun di sisi lain, partai politik yang tidak menyerahkan LPPDK dikenakan sanksi dengan tak dihitung perolehan suara mereka di Pemilu legislatif. Akibatnya, suara calon anggota legislatif (caleg) dari partai tersebut dianggap hangus dan partai tersebut tak mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

“Pertanyaanya, mengapa kandidat capres dan cawapres tidak dikenakan sanksi bila tak menyerahkan LPPDK. Padahal keterbukaan dana kampanye sangat penting sebagai filter awal untuk menghindari terjadinya politik uang,” tutur Laode Syarif.

Indikator ketiga, pada rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, KPU diperbolehkan mengubah PKPU hingga tanggal 18 November 2024. "Padahal hari pemungutan suara dilangsungkan pada 27 November 2024, yakni hanya berjeda 9 hari. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi partai politik, kandidat kepala daerah, dan pemilih," tanda Laode Syarif. (rls/ali)

  • Bagikan