Pembuktian Perkara 9 Januari

  • Bagikan
Asintel Kejati Sultra Ade Hermawan, MH
Asintel Kejati Sultra Ade Hermawan, MH

--Eksepsi 8 Terdakwa Dugaan Korupsi Tambang di Konut Ditolak Hakim

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - 8 terdakwa dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara berjuang untuk bebas dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra. Perjuangan mereka kandas di tangan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Para terdakwa harus menelan pil pahit lantaran eksepsi (sanggahan) yang diajukan ditolak majelis hakim. Selanjutnya, sidang pembuktian perkara digelar 9 Januari 2024.

8 terdakwa "pulang kampung" dan mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. “Eksepsi 8 terdakwa dugaan korupsi pertambangan di Blok Mandiodo, Konut ditolak hakim Tipikor Jakarta,” kata Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Sultra Ade Hermawan, MH kepada Kendari Pos, Jumat (5/1/2024).

Asintel Ade Hermawan, mengatakan terdakwa yang eksepsinya ditolak, yakni mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto, dan mantan pejabat Subkoordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Mineral Kementerian ESDM Henry Julianto.

"Selain itu, mantan Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM Yuli Bintoro, dan mantan evaluator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM Eric Viktor Tambunan," ujar Asintel Ade Hermawan.

Dari kelompok terdakwa pengusaha tambang yang eksepsinya ditolak hakim adalah, pemegang saham/ pemilik PT Lawu Agung Mining (LAM) Windu Aji Sutanto, Dirut PT. LAM Ofan Sofwan, dan Pelaksana Lapangan PT. LAM Glenn Ario Sudarto.

Terpisah, Ketua Tim JPU Kejati Sultra, Herya Sakti Saad menuturkan, oleh karena eksepsi para terdakwa ditolak, maka sidang dilanjutkan dengan agenda pembuktian perkara. "Sidang berikutnya bakal digelar 9 Januari 2024 dengan agenda pembuktian. Nantinya kami akan menghadirkan 5 orang saksi dalam kasus ini,” kata Herya Sakti Saad.

Selain 8 terdakwa, terdapat 4 terdakwa lainnya dalam perkara yang sama, dugaan korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Kabupaten Konut. 4 terdakwa lainnya mengikuti persidangan di Pengadilan Tipikor Kendari. Mereka adalah mantan GM PT. Antam UBPN Konut Hendra Wijayanto, Direktur PT. Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Adriansyah, Kuasa Direktur PT. Cinta Jaya inisial Agus Salim dan Direktur PT Tristaco Mineral Makmur Rudi Candra.

"Sidang 4 terdakwa tersebut rencananya digelar 8 Januari 2024 di Pengadilan Tipikor Kendari dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi," sebut Herya Sakti Saad.

Sebagai informasi, kasus ini bermula pada awal tahun 2021 Kerja Sama Operasional (KSO) di wilayah IUP PT Antam UBPN Konut terbentuk. PT Antam UBPN Konut bekerja sama dan memberikan kepercayaan kepada PT Lawu Agung Mining (LAM) sebagai kontraktor mining dan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Sultra berperan selaku Ketua KSO.

PT. LAM dan Perumda Sultra diberikan tanggung jawab menggarap 22 hektare lahan milik PT Antam UBPN di Blok Mandiodo, Konawe Utara (Konut). Setelah itu, PT.LAM merekrut 39 perusahaan atau kontraktor mining untuk menambang bijih nikel di area IUP PT Antam UBPN Konut. Namun dalam perjalanannya, ternyata tidak sesuai kesepakatan yang dimuat dalam kontrak kerja sama.

Justru para penambang ini memperluas jangkauan penggalian hingga menerobos kawasan hutan lindung sekira 157 hektare. Padahal luasan yang hanya boleh digarap berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) PT Antam UBPN Konut adalah seluas 40 hektare.

Kemudian, bijih nikel yang sudah ditambang PT. LAM melalui perusahaan kontraktor mining seharusnya dijual ke PT Antam UBPN Konut, namun kenyataannya hanya sebagian kecil dari hasil penambangan diserahkan ke PT Antam UBPN Konut dan selebihnya dijual ke perusahaan smelter.

Motif penambangan ilegal ini, PT LAM mengakalinya dengan memakai atau menggunakan dokumen PT KKP dan beberapa perusahaan untuk menjual ore nikel, seolah-olah ore nikel tersebut berasal dari IUP perusahaan tersebut.

Kemudian sisanya dijual ke perusahaan smelter lain dengan menggunakan dokumen palsu atau "dokumen terbang (dokter)" milik PT KPP dan beberapa perusahaan tambang lainnya. (ali/b)

  • Bagikan