Perjuangkan Tekan Stunting di Sultra

  • Bagikan
Kepala Bappeda Sultra J.Robert Maturbongs
Kepala Bappeda Sultra J.Robert Maturbongs

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Polemik stunting di Sulawesi Tenggara, masih menjadi momok yang mengintai generasi masa depan bangsa. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sultra mencatat, tahun 2022 angka stunting di Sultra menyentuh 27.7 persen, menempati posisi di atas rata-rata nasional 21.6 persen. Bappeda Sultra berupaya menelurkan berbagai program untuk terus menekan angka stunting di Bumi Anoa.

Kepala Bappeda Sultra Robert J. Maturbongs mengatakan, masalah stunting merupakan program prioritas nasional dengan target prevalensi stunting sampai 14 persen di tahun 2024 mendatang. Pada tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih tercatat sekitar 21.6 persen.

Ki-ka: Kepala Perwakilan BKKBN Sultra Drs. Asmar.,M.Si, Kepala Bappeda Sultra J. Robert.,ST.,MT, Sekda Sultra, Drs. Asrun Lio

Prevalensi stunting di Sultra telah berhasil turun sebesar 3.7 persen sejak tahun 2019 menjadi 27.7 persen di tahun 2022. Meski demikian prevalensi stunting di Sultra masih di atas rata-rata nasional.

Persoalan stunting bukan persoalan bangsa di masa sekarang saja, melainkan menyangkut masa depan bangsa, karena anak-anak saat ini adalah generasi penerus, mereka masa depan daerah dan bangsa untuk mencapai visi indonesia emas tahun 2045 dengan sumber daya manusia yang berdaya saing global.

“Tidak ada negara yang maju tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, maka investasi terbesar bagi kita berada di tangan anak-anak indonesia, dengan begitu dapat kita bayangkan pentingnya pemenuhan hak anak-anak untuk mendapatkan standar kesehatan, air bersih, makanan bergizi dan lingkungan tinggal yang bersih dan aman. Dengan begitu kesehatan fisik anak dan jaminan tumbuh kembang anak yang berkualitas serta terbebas dari stunting merupahan hak dasar anak yang juga merupakan hak asasi manusia,”ujar Robert.

Kepala Bidang Pembangunan Manusia dan Masyarakat Bappeda Aultra, Ir. La Ode Muh Alwi., M.Si (tengah) sebagai narasumber.

Katanya, kerangka intervensi, penanganan stunting secara garis besar dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitive yang difokuskan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Intervensi gizi spesifik adalah intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan, sementara intervensi gizi sensitive adalah intervensi pendukung seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.

“Menurut berbagai literatur,intervensi gizi sensitive ini memiliki kontribusi lebih besar yakni 70 persen dalam upaya penurunan stunting,” urai Robert. Robert menjelaskan, penyelenggaraan intervensi sensitif dan spesifik akan berdampak signifikan terhadap penurunan stunting jika terwujud keterpaduan/ integrasi pada lokasi dan kelompok sasaran prioritas. Oleh kartena itu, pemerintah pusat telah memberikan petunjuk percepatan penurunan stunting dilakukan melalui 8 aksi konvergensi percepatan penurunan stunting.

“Konvergensi adalah kata yang mudah diucapkan,tetapi seringkali tidak mudah untuk diwujudkan. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya keras dari kita semua. Setiap Lembaga yang terlibat diminta untuk menghilangkan ego sektoral, karena konvergensi membutuhkan kerja kolaborasi antar berbagai pihak,” jelasnya.

Foto bersama kegiatan Rakor percepatan penurunan stunting.

Tantangan dalam penanganan stunting adalah bagaimana memastikan seluruh program yang alokasi anggarannya berasal dari berbagai kementerian/ lembaga, pemerintah daerah, maupun dari sumbersumber lainnya, dapat secara konvergen sampai diwilayah dan diterima oleh rumah tangga sasaran.

“Komitmen bersama, kerja kita akan semakin maksimal dengan menghilangkan ego sektoral, karena konvergensi membutuhkan kerjasama antar pihak untuk target 14 persen angka stunting di tahun 2024,” tandas Robert. (ali/adv)

  • Bagikan

Exit mobile version