Oleh: Baharuddin Yusuf
--MAHASISWA PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) UNIVERSITY SEKALIGUS WAKIL BENDAHARA UMUM BADAN KOORDINASI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) SULAWESI TENGGARA.
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Pada tahun 1979, dalam dunia psikologi sosial, dua konsep utama muncul yang akan membentuk dasar pemahaman tentang bagaimana manusia berhubungan dengan kelompok sosial mereka. Konsep pertama adalah Teori Identitas Sosial, yang pertama kali dikembangkan oleh Tajfel dan Turner melalui risetnya yang berjudul Teori Identitas Sosial tentang perilaku kelompok.
Teori ini menjelaskan tentang motivasi dan asal-usul dari identitas sosial. Teori ini memberikan kita suatu kerangka kerja yang mendalam tentang bagaimana individu mengenali diri mereka sendiri dalam konteks kelompok sosial tertentu. Kelompok-kelompok ini bisa berdasarkan agama, etnisitas, nasionalitas, atau bahkan kelompok sosial lainnya.
Konsep utama di balik teori ini adalah bahwa individu cenderung membandingkan diri mereka dengan anggota kelompok yang serupa. Tujuannya menciptakan identitas sosial yang positif bagi diri mereka sendiri. Dalam perjalanan ini, mereka dapat merasa lebih terhubung dengan kelompok mereka, dan sekaligus memisahkan diri dari kelompok lain. Teori ini membantu kita memahami bagaimana konsep diri kita tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik individu, tetapi juga oleh interaksi kompleks dengan lingkungan sosial. Teori Identitas Sosial adalah alat penting dalam memahami cara individu membangun dan memelihara identitas sosial mereka, serta bagaimana hal ini memengaruhi cara kita berinteraksi dalam masyarakat.
Di tahun 1987, dunia psikologi sosial diperkenalkan pada konsep baru yang menggugah pikiran, yaitu Teori Kategorisasi Diri yang juga dikembangkan oleh Turner dan timnya melalui risetnya dengan judul “Teori Kategorisasi Diri,” dalam menemukan kembali kelompok sosial. Teori ini menempatkan perhatian utama pada sisi kognitif dalam proses pembentukan identitas sosial. Di tengah hiruk-pikuk pemikiran kompleks, Teori Kategorisasi Diri mengajarkan kita tentang bagaimana individu mengolah informasi dan konsep-konsep kognitif yang berkaitan dengan identitas sosial mereka. Ini bukan hanya soal perasaan dan pengalaman emosional; teori ini membawa kita ke dalam ranah pemrosesan informasi dan pemahaman konsep.
Dalam kisah ini, kita menyadari bahwa identitas sosial adalah hasil dari bagaimana kita menyusun dan mengelola informasi mengenai diri kita sendiri sebagai bagian dari kelompok tertentu. Dalam setiap langkah yang diambil oleh individu, pemrosesan informasi dan organisasi konsep memegang peran penting dalam membentuk dan merasakan identitas sosial. Teori Kategorisasi Diri membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas identitas sosial manusia, menjauhkan pandangan konvensional yang hanya berfokus pada aspek emosional semata.
Di dunia pemikiran dan politik, ada akar yang dalam dari apa yang disebut sebagai politik identitas. Akar ini muncul dari pemikiran-pemikiran brilian Michel Foucault tentang politik tubuh, konsep biopolitik, sejarah seksualitas, dan jaringan relasi kekuasaan yang melingkupinya. Dalam perjalanan waktu, terbentuklah apa yang disebut sebagai diaspora politik identitas. Ini adalah hasil dari keruntuhan masyarakat ilmiah yang pernah mencoba mengendalikan demografi dengan tujuan mencerahkan individu. Ini adalah upaya yang meskipun terhenti, meninggalkan bekas dalam bentuk perdebatan tentang kehidupan sehari-hari yang sangat berfokus pada perbedaan.
Di tengah perjalanan ini, kita menyaksikan dinamika yang menggetarkan, dan pertarungan antara berbagai identitas yang berbeda. Namun, pemikiran Foucault hanyalah salah satu aliran dalam sungai pemikiran. Agnes Heller dan Sonja Punsher juga menyumbangkan pandangan mereka, yang memfokuskan perhatian pada perbedaan. Di dasar pemikiran ini terdapat gagasan utama: hubungan erat antara identitas dan partisipasi dalam aksi politik. Politik identitas adalah cerita tentang kehidupan sehari-hari yang menjadi medan pertarungan untuk berbagai identitas yang berbeda. Ini adalah pusat dinamika sosial, tempat perbedaan menjadi sumber perdebatan, dan identitas menjadi mata rantai yang menghubungkan individu dengan aksi politik yang mereka ambil.
Pada tahun 1970-an, sebuah pergeseran penting terjadi dalam dunia ilmu sosial yang akan membentuk landasan bagi perdebatan penting tentang politik identitas. Semua dimulai melalui karya-karya ilmuwan sosial pada saat itu. Ahmad Syafii Maarif dan rekan-rekannya, yang memaparkan pandangan mereka dalam buku berjudul “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita”. Dalam buku tersebut, Amerika Serikat menjadi panggung utama dari perkembangan ini. Masyarakat di sana dihadapkan pada tantangan yang semakin mendesak dari berbagai kelompok minoritas yang merasa terpinggirkan dan terdiskriminasi.
Isu-isu seperti kesetaraan gender, gerakan feminisme, perbedaan ras, etnisitas, serta berbagai kelompok sosial lainnya mulai muncul dengan keras. Seiring berjalannya waktu, politik identitas ini meluas dan tumbuh menjadi perdebatan yang semakin kompleks. Isu-isu agama, kepercayaan, dan aspek-aspek budaya yang memiliki dimensi keagamaan juga menjadi bagian integral dari percakapan ini. Sehingga para ilmuwan sosial membuka jendela menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas politik identitas. Mereka memicu perdebatan penting tentang bagaimana masyarakat dapat mengatasi tantangan identitas ini, dan pada saat yang sama, merangkul pluralisme yang semakin berkembang dalam masyarakat modern.
Dalam sorotan ini, kita menyaksikan perjalanan panjang dari tahun 1970-an hingga saat ini, di mana politik identitas terus menjadi salah satu topik paling penting dalam pembicaraan sosial dan politik. Melalui sejarah yang panjang dan penuh gejolak, kita dapat melihat bagaimana konflik dan pertikaian telah mengakar dalam berbagai sudut dunia. Kasus seperti perjuangan Kurdi, Kosovo, dan kelompok pejuang Bosnia sebelum Perang Dunia I menjadi cerminan tragis dari pertikaian yang melanda banyak wilayah.
Namun, pertikaian juga berlangsung jauh lebih dekat dari yang mungkin kita kira. Di Skotlandia, terdapat ketegangan yang bertahan antara kelompok Katolik dan Protestan, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pertikaian di wilayah Britania Raya. Di Amerika
Serikat, perang saudara merobek bangsa itu sendiri, membagi warganya menjadi dua kubu yang saling bermusuhan. Jauh di Semenanjung Malaya, konflik tumbuh subur antara komunitas pribumi dan non-pribumi. Yugoslavia merasakan getaran pecah belah yang menghancurkan, sementara Suriah dan Afghanistan dilanda oleh pertikaian berlarut-larut. Tidak hanya itu, politik anti-Semitisme dan radikalisme menyebar ke berbagai negara, menciptakan ketidakstabilan yang mengkhawatirkan.
Bahkan dalam masa kini, masalah identitas politik terus menghantui dunia. Dan yang masih hangat dipikiran yaitu penindasan terhadap komunitas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, dan penderitaan kaum Rohingya di Myanmar menjadi contoh- contoh nyata tentang bagaimana isu identitas bisa memicu konflik yang merenggut nyawa.
Semua contoh ini tidak hanya berdiri sendiri; mereka memiliki ikatan yang kuat dengan identitas dan memiliki dampak yang mengguncang politik negara-negara yang terlibat. Mereka adalah pengingat tentang betapa pentingnya pemahaman dan penyelesaian masalah identitas dalam mewujudkan perdamaian dan stabilitas dunia yang lebih besar. Indonesia, setelah jatuhnya pemerintahan Suharto dan dimulainya era reformasi yang menandai perubahan besar di Indonesia, munculnya agenda pemekaran wilayah menjadi sorotan utama.
Agenda ini didasarkan pada asumsi-asumsi etnis yang lebih spesifik, seperti Banten, Papua, dan Riau. Namun, seperti halnya dengan banyak perubahan besar, ada dampak yang meluas dan kompleks. Pemekaran wilayah ini tidak hanya menciptakan pembagian administratif baru tetapi juga memicu ketegangan etnis yang meruncing. Ketidaksetaraan ekonomi di beberapa daerah, termasuk Sambas, Aceh, Atambua (yang dihuni oleh pengungsi eks Timor Timur), dan bahkan Papua, memperdalam jurang di antara berbagai kelompok masyarakat. Selain masalah pemekaran wilayah, fenomena politik identitas juga memainkan peran kunci dalam menciptakan ketegangan politik di kanca Nasional.
Salah satu momen paling kontroversial adalah pernyataan Ahok mengenai surat Al-Maidah ayat 51, yang dianggap sebagai penistaan agama oleh sebagian orang. Reaksi keras dari berbagai kelompok yang merasa identitas keagamaan mereka terancam terwujud dalam aksi demonstrasi monumental pada tanggal 2 Desember 2016, yang dikenal sebagai Gerakan 212. Demonstrasi ini mengadvokasi tuntutan agar pemerintah menindak Ahok sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Saat kita menjelajahi gelombang pemilihan umum tahun 2019, kita bisa merasakan betapa kuatnya penekanan pada politik identitas, yang akhirnya menciptakan istilah yang terkenal, “Kecebong versus Kampret”. Istilah ini menjadi semacam bendera identitas bagi masing- masing kubu pasangan calon, yang menandai perpecahan dan persaingan yang memanas. Berbagai isu kontroversial diletupkan di permukaan, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Ada tuduhan bahwa Jokowi memiliki ikatan dengan PKI, upaya pencitraan sebagai figur yang anti-Islam, kontroversi seputar kriminalisasi ulama, teori konspirasi mengenai larangan adzan, narasi Prabowo yang dihubungkan dengan perayaan Natal, dan citra Prabowo sebagai sosok ultra nasionalis, sementara Islam Nusantara muncul sebagai alternatif yang lebih moderat.
Semua ini bukan hanya sekadar strategi politik biasa. Ini adalah bagian dari perang digital yang sengit, dengan tujuan untuk mempengaruhi opini publik secara luas dan memperkuat basis pemilih masing-masing calon. Pemilihan umum tahun 2019 menjadi contoh nyata bagaimana politik identitas telah menjadi kekuatan utama dalam dinamika politik modern, memengaruhi pemilihan, dan mengguncang lanskap politik Indonesia.
Pemilihan umum tahun 2019 adalah momen penting yang memperlihatkan bagaimana politik identitas dapat merobek kohesi sosial dan memecahbelah masyarakat. Ia menjadi alat yang memungkinkan kelompok-kelompok berkompetisi satu sama lain, sering kali dengan cara yang memprioritaskan kelompok mereka sendiri. Dalam prosesnya, ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, dengan satu kelompok memiliki keunggulan dalam bidang tertentu atau dalam mengakses sumber daya yang berharga.
Identitas, yang melekat dalam diri individu, menjadi lapisan emosional yang aktor politik bisa manfaatkan dengan cerdik. Tujuannya adalah untuk memicu kemarahan di antara pendukung pasangan calon yang bersangkutan. Ide ini sejalan dengan pandangan Antoine J. Banks melalui risetnya yang berjudul Kemarahan dan Politik Rasial: Landasan Emosional Sikap Rasial di Amerika, yang mengakui bahwa kemarahan memiliki potensi untuk memupuk prasangka dan memengaruhi sikap politik individu. Dengan kata lain, sentimen ini bisa dikelola secara hati- hati untuk mengungkap orientasi politik individu atau kelompok, karena dianggap sebagai alat yang sangat efektif dalam mempengaruhi pandangan politik.
Hasilnya, pemilihan umum tahun 2019 adalah sebuah cermin yang memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika politik identitas. Ini juga menjadi pengingat tentang perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana identitas dan emosi memengaruhi proses politik dan pengambilan keputusan di tingkat individu dan kelompok. Meskipun politik identitas memiliki potensi untuk memengaruhi perubahan sosial yang positif, perlu diingat bahwa penggunaannya dalam konteks politik seringkali berdampak negatif dan tidak selalu dipertimbangkan dengan cermat. Terkadang, pendekatan semacam ini dapat mendekati strategi Machiavellian, di mana segala cara dianggap sah dalam perjuangan merebut kekuasaan.
Lebih jauh lagi, politik identitas dapat berubah menjadi elemen budaya populis, terutama dalam konteks populisme kanan radikal, yang erat kaitannya dengan konsep-konsep seperti nativisme dan politik identitas. Tren ini sering kali melibatkan penggunaan isu-isu identitas seperti agama, etnisitas, atau gender untuk memecah belah masyarakat, menciptakan persaingan antar kelompok. Dalam upaya ini, prinsip-prinsip moral atau integritas sering kali diabaikan demi mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Francis Fukuyama, bentuk baru dari politik identitas ini sering kali menjadi motor di balik fenomena populisme sayap kanan yang semakin marak.
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melihat lebih jauh dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penggunaan politik identitas dalam arena politik. Sementara politik identitas bisa menjadi alat yang kuat dalam memperjuangkan hak-hak individu atau kelompok tertentu, kita juga harus berhati-hati terhadap penyalahgunaannya yang dapat merusak kesatuan sosial dan nilai-nilai moral yang mendasar. (***)