Oleh : Syamsul Anam, SE., M.Ec.Dev Dosen FEB UHO
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Inflasi menjadi "hantu" bagi pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah daerah (pemda). Betapa pemerintah dari pusat hingga daerah lintang pukang berkoordinasi untuk mengatasi lonjakan harga-harga dan dibentuklah tim pengendali diseluruh daerah oleh pemerintah pusat.
Pihak yang terpapar parah dari kenaikan harga-harga adalah rumah tangga. Jejak keparahannya mengambil paksa pendapatan warga tanpa aturan. Sayangnya rumah tangga tidak memiliki banyak pilihan menghadapi anomali harga-harga.
Menghadapi gejala kenaikan harga saja warga cenderung permisiv, sebuah sikap yang boleh dibilang "pasrah" dan masa bodoh. Sebut saja menghadapi soal antrian yang mengular disetiap SPBU untuk mengisi BBM di Kota Kendari atau harga LPG subsidi yang berbeda antara aturan dan yang diterima konsumen atau minyak goreng yang timbul tenggelam.
Penting untuk dipahami model pengukuran fluktuasi harga oleh pemerintah yang menggunakan angka indeks (IHK) dengan puluhan hingga ratusan barang dan jasa dalam gelas ukurnya, cara ini punya sejumlah bilik gelap berkaitan dengan konsep rata-rata serta pengukuran deviasinya ditambah dengan soal metodologi yang tidak selalu bisa cocok untuk kondisi daerah.
Dari konsep tersebut kita segera mafhum, bahwa apa yang dihitung dan diumumkan oleh BPS secara rutin tentang fluktuasi harga dapat saja berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Ini berarti apa yang diumumkan perihal inflasi sebenarnya hanya sebatas "titik kisar" atau kenaikan harga aktual di pasar dapat jauh lebih tinggi dibanding laporan BPS atau juga sebaliknya.
Problem kedua adalah, masing-masing barang dan jasa memiliki gejala sendiri-sendiri dengan keunikan masing-masing. Gejala dan keunikan ini tidak saja bersumber dari sifat barang dan jasa tersebut namun juga bersumber dari luar barang dan jasa tersebut, misal tataniaga yang buruk, aturan yang tidak jelas hingga motif berburu laba (rentseeking) oleh spekulan dan perilaku redistributive combines oleh pemerintah dan bank sentral (Desoto,1992) dan (Stigler,1971).
Problem ketiga, pendekatan penyelesaian yang tidak lagi bisa menjawab masalah secara prediktif dan presisi. Kalau kita periksa respons pemerintah, pemda dan BI atas upaya penyelesaian inflasi masih melingkar-lingkar pada aksi kuratif prosedural dan belum dapat menyebrang pada sisi preventif substansial. Sementara kualitas anomali harga makin hari makin sophisticated.
Wali Inflasi
Kita selalu bertanya, gerangan siapa wali amanat atas soal inflasi di Indonesia termasuk didaerah-daerah, dipuncak piramida perwalian kita dapat menunjuk Bank Indonesia selaku otoritas yang gawean utamanya memang mengendalikan harga. Silakan baca Taylor (1993) atau McCallum (1988). Sayangnya Bank Sentral Indonesia ini punya hak eksklusif berbasis independensi mereka dalam palagan kebijakan khususnya moneter.
Pada saat yang sama, sudah jadi pengetahuan umum bahwa amplifikasi kebijakan moneter itu juga mencakup agregasi output dan harga-harga umum, sayangnya kebijakan moneter ini punya sisi gelapnya sendiri. Pertama, instrumentasi kebijakan moneter ini umumnya dieksekusi kantor pusat (sentralistik) dengan tipikal onesizefitsall yang secara teoritik sebenarnya sudah usang sebagaimana diklaim Carlino dan DeFina(1998).
Kedua, sudah menjadi tabiat kebijakan baik fiskal maupun moneter yang selalu butuh waktu untuk bisa dirasakan manfaatnya, bahkan untuk kebijakan moneter sendiri kelambanan waktu-nya (timelag) dapat lebih panjang dan lama serta berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Havraneka dan Rusnak,2013). Dari sisi ini kita segera mafhum bahwa kebijakan moneter tidak selalu dapat diandalkan untuk mengatasi masalah inflasi pada tingkat regional atau wilayah.
Lalu pada hirarki kedua kita bisa menunjuk kementerian dan lembaga terkait (K/L), sebut saja kementrian perdagangan, koperasi UMKM, perindustrian dan kalau sudah genting semua kementerian harusnya punya hot-list berkaitan dengan soal anomali harga. Kita pernah mendengar Kementerian Perdagangan memiliki command centre untuk early warning system gejolak harga yang nasibnya kini kita tidak tahu lagi.
Dihirarki selanjutnya ada pemerintah daerah, didaerah anomali harga tidak menjadi perhatian serius bahkan nyaris tidak terekam dalam dokumen perencanaan daerah. Bahkan beredar bisik-bisik perihal insentif bagi daerah yang berhasil menekan harga-harga secara aktif tanpa peduli bahwa daerah penyanggah juga memiliki peran penting bagi beberapa daerah dalam program aksi penanganan inflasi di daerah.
Pengukuran inflasi juga tidak mampu merekam denyut harga pada semua daerah, keterbatasan sumberdaya menyebabkan gejolak harga tidak mampu direkam lengkap secara spasial, sebut saja di Sultra, pengukuran hanya dilakukan pada Kota Kendari dan Kota Baubau, ini sekaligus mengonfirmasi betapa rentannya kebijakan penanganan yang diambil untuk mengatasi anomali harga dengan hanya mengandalkan data dua daerah.
Mengurai Solusi
Soal inflasi, pemerintah Indonesia bersama Bank Indonesia sebenarnya telah 18 tahun menerapkan kerangka kerja target inflasi atau inflation targeting framework (ITF). Sayangnya keandalan strategi ITF ini terutama pada level regional patut disoal. Beberapa studi bahkan ragu ITF memiliki kemampuan untuk dapat secara presisi mengurangi gap antara inflasi ideal dan target output bagi perekonomian nasional dan daerah.
Meski demikian pemerintah dan BI patut mempertimbangkan keadaan regional dengan mengembangkan semacam regional ITF, yang memasukkan faktor-faktor dinamik khas daerah dalam pengukuran anomali harga di tengah makin kompleksnya faktor laten pencetus inflasi, misalnya pasar komoditi yang makin terintegrasi, inovasi pasar keuangan yang makin ringkas dan cepat serta faktor kelembagaan yang tidak mampu disentuh oleh pemerintah daerah dan BI pada level regional.
Inflasi nasional sendiri merupakan representasi dari gejolak harga secara tertimbang pada tingkat daerah berikut keragamannnya masing-masing. Penentuan target secara nasional dapat menyulitkan penyesuaian atas capaian target tersebut terutama pada daerah-daerah yang gejolak harganya bersifat persisten baik yang disebabkan oleh inflasi inti maupun administered price.
Lebih jauh keberadaan Tim Pengendali Inflasi sudah tidak memadai lagi dalam menyelesaikan anomali harga di daerah, keberadaan tim ini sudah perlu upscaling agar solusi anomali harga tidak melulu kuratif-prosedural namun padu padan dengan aksi preventif-substansial berbasis kerangka kerja penargetan inflasi secara regional tersebut.
Pemda pada semua tingkatan perlu melakukan aksi afirmasi atas problem anomali harga agar dapat dengan cepat menyesuaikan dalam kerangka penangan gejolak harga baik regional maupun secara nasional. Dengan cara ini kita dapat mengikis platform onesizefitsall dalam kebijakan penangan inflasi bagi daerah dan warga kita tidak kehilangan pendapatan dengan cara yang tidak sah.(*)