--Hasil Pemetaan Bawaslu Jelang Pemilu 2024
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Sudah menjadi rahasia umum, jika oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap “dikerahkan” atau bertindak sendiri mendukung caleg di Pemilu atau pasangan calon di Pilkada. Muaranya sudah jelas, untuk mendapatkan posisi jabatan. Soal netralitas ASN pada Pemilu 2024 menjadi perhatian penting Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Bawaslu Sultra. Berdasarkan hasil pemetaan Bawaslu, terdapat 3 daerah di Sultra yang memiliki kerawanan netralitas ASN pada Pemilu.
Ketua Bawaslu Sultra, Iwan Rompo mengungkapkan, 3 daerah di Sultra yang tingkat kerawanan tinggi netralitas ASN yakni Kabupaten Wakatobi, Konawe Selatan (Konsel), dan Konawe Utara (Konut). “Bahkan di Wakatobi itu tertinggi kedua secara nasional,” ujarnya kepada Kendari Pos, baru-baru ini.
Sebagai bentuk pencegahan, Bawaslu Sultra telah mengirimkan imbauan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra dan pemerintah kabupaten/kota agar selalu mengingatkan jajarannya untuk netral dalam pemilu. “Dalam setiap kesempatan kita juga selalu ingatkan (pemerintah),” kata Iwan Rompo.
Mantan komisioner KPU Sultra itu membeberkan, kerawanan netralitas ASN didominasi pelanggaran yang dibuat di media sosial (medsos). “Pelanggarannya kebanyakan di medsos, minta di like, share dan sebagainya,” ungkap Iwan Rompo.
Terkait pelanggaran itu, Bawaslu Sultra memeriksa, mengkaji dan menyampaikan rekomendasi hasil temuan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk ditindak.
“Perlu diingat yang terkait netralitas ini adalah pelanggaran hukum lainnya sehingga bukan menjadi kewenangan Bawaslu untuk menindak. Kalau ada laporan, Bawaslu mengkaji, memproses, terpenuhi unsurnya pengkajian Bawaslu, kemudian Bawaslu menyampaikan rekomendasi ke KASN untuk ditindak,” kata Iwan Rompo.
Terpisah, pengamat politik Sultra, Dr.Muh.Najib Husain, S.Sos., M.Si mengatakan, netralitas ASN sangat penting pada Pemilu 2024. Menurutnya, ASN tidak boleh berpihak kepada salah satu partai politik (Parpol) atau calon karena salah satu tugas ASN adalah sebagai pelayanan publik.
“Dan ketika dia sudah tidak netral maka tugas, pokok dan fungsi (tupoksi)- nya sebagai aparatur negara akan terganggu karena yang dia layani adalah pemilik kepentingan,” ujar Dr.Najib Husain.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo (Fisip UHO) itu menambhakan selain diawasi Bawaslu dan pejabat pembinanya (gubernur, bupati/wali kota), masyarakat juga berperan mengawasi oknum ASN.
“Bukan hanya tugas lembaga Bawaslu untuk mengawasi tetapi komponen masyarakat dari kabupaten sampai tingkat desa untuk membantu melakukan pengawasan,” kata Dr.Najib Husain.
Sebelumnya, Bawaslu RI merilis 10 provinsi yang berpotensi memiliki kerawanan netralitas ASN di Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Selain di tingkat provinsi, Bawaslu juga mengungkap potensi kerawanan di kabupaten/kota.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu RI, Lolly Suhenty memaparkan netralitas ASN menjadi salah satu isu yang paling rawan di tingkat provinsi.
“Berdasarkan hasil pengindeksan kerawanan yang dilakukan, ternyata inilah potraitnya, netralitas ASN menjadi salah satu isu yang paling rawan di tingkat provinsi,” kata Lolly.
Kerawanan netralitas ASN, kata Lolly, berpotensi terjadi 22 provinsi. Selain soal provinsi yang memiliki skor 100 kerawanan tertinggi dalam konteks isu netralitas ASN, Bawaslu juga merilis daftar provinsi dengan kerawanan tertinggi isu netralitas ASN berdasarkan agregasi kabupaten/kota.
Dijelaskan Lolly, daftar tersebut berdasarkan situasi isu netralitas yang masif terjadi di tingkat kabupaten/kota. “10 provinsi kerawanan tertinggi berdasarkan agregat kabupaten/kota. Kalau yang tadi tertingginya berdasarkan peristiwa riil di provinsi, kalau yang ini adalah provinsi rawan tinggi berdasarkan situasi yang masif di kabupaten/ kota,” katanya.
Maluku Utara menjadi yang tertinggi dengan tingkat kerawanan 18,85. Menyusul setelahnya Sulawesi Utara (16,60), Sulawesi Selatan (13,86), Sulawesi Barat (13,46), Sulawesi Tenggara (12,56), Sulawesi Tengah (10,02), Nusa Tenggara Barat (7,98), Papua Selatan (6,73), Banten (6,43), dan Kalimantan Utara (5,96).
Dijelaskan Lolly, pola ketidaknetralan ASN paling banyak terjadi dalam pelaksanaan Pilkada. Beberapa pola yang sering terjadi, di antaranya mempromosikan calon tertentu dan pernyataan dukungan secara terbuka di media sosial maupun media lainnya.
Selanjutnya, menggunakan fasilitas negara untuk mendukung petahana; teridentifikasi dukungan dalam bentuk WhatsApp grup; dan terlibat secara aktif maupun pasif dalam kampanye calon. (ags/b/jpg)