--Ada Fenomena Politik Penjara
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Jusuf Kalla (JK) terus mengamati dinamika Pemilu 2024. Bahkan, mantan ketua umum Partai Golkar itu mengungkapkan, dari pengalamannya tiga kali ikut pilpres, pemilihan kali ini terbilang paling rumit. Dia pun menekankan pentingnya semangat politik yang beradab.
’’Saya tiga kali ikut pemilu (pilpres). Dua kali menang, satu kali kalah. Tidak ada yang serumit ini,’’ ujarnya seusai menghadiri wisuda perdana Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), kemarin. Mantan Wapres itu hadir dengan kapasitas sebagai ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UIII.
JK memang sudah tiga kali mengikuti kontestasi pilpres. Yakni, Pilpres 2004 sebagai cawapres berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (menang). Kemudian, Pilpres 2009, JK menjadi capres berdampingan dengan Wiranto sebagai cawapres (kalah). Dan, Pilpres 2014, JK berpasangan dengan Joko Widodo (menang).
JK tak banyak menjelaskan kenapa Pilpres 2024 disebut paling rumit. Dia hanya menyebut, dari sisi peta koalisi sekarang ini, parpol belum bisa bersatu. Padahal, sudah beberapa bulan berjalan. Tarik-ulur antara poros koalisi yang satu dengan poros koalisi lainnya masih terjadi.
Menurut JK, poros koalisi yang belum bisa bersatu atau belum terlalu solid itu dipicu tiga hal yang berpengaruh kuat pada perpolitikan di Indonesia. Faktor pertama, money politics (politik uang). Semuanya bisa dibayar dengan uang.
’’Kedua, politik penjara,’’ ujarnya. Maksud dia, ketika orang ada salah, kemudian tidak mau ikut kelompok tertentu, maka bisa dijebloskan ke penjara.
Untuk mengatasi dua faktor tersebut, lanjut JK, diperlukan politik beradab atau politik demokratis. Dengan begitu, proses Pilpres 2024 ini bisa berjalan. Setiap poros koalisi bisa segera mantap mengumumkan pasangan capres dan cawapres masing-masing.
Sementara itu, dalam lawatannya ke Korea Selatan, Menko Polhukam Mahfud MD mendorong WNI di luar negeri untuk berpartisipasi dalam pemilu serentak tahun depan. Para WNI diimbau datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak suaranya. Sebab, upaya negara untuk menghadirkan TPS di luar negeri tidak murah.
Mahfud mencontohkan, untuk memfasilitasi dan memastikan hak para WNI terpenuhi, negara harus mengeluarkan dana Rp 500 juta hanya untuk 18 suara. ’’Apalagi di Korsel yang suaranya mencapai 26 ribu lebih, seperti kata Pak Dubes (duta besar, Red),’’ ucapnya dalam keterangan tertulis kemarin.
Karena itu, Mahfud berharap WNI yang sudah memiliki hak suara dan kini berada di Korsel serta negara lainnya berpartisipasi di Pemilu 2014. Dikatakan, pemilu bukan untuk mencari pemimpin yang sempurna, melainkan mencari pemimpin terbaik di antara para calon atau peserta pemilu. ’’Pemilu juga sejatinya untuk menghindari orang jahat menjadi pemimpin,’’ tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Suara dari para pemilik hak suara, lanjut dia, sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa. ’’Karena itu, Anda tidak boleh golput,’’ imbuhnya. (jpg)