Penulis: Hj. Arniaty DK, SP., M. Si., Kepala Bidang Pengembangan Perpustakaan dan pembudayaan Minat Baca Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Kendari.
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Perpustakaan menjadi tempat segala proses dan dinamika literasi tanpa membedakan status sosial ekonomi, fisik, dan segala hal tentang ekslusifitas kelas. Perpustakaan harus berbenah, mengejar ketertinggalan baik sumber daya pustakawan, koleksi bacaan fisik-non fisik (e-book), internet pintar, dan fasilitas penunjang lainnya yang memungkinkan setiap orang bisa mengaksesnya dengan mudah dimanapun dan kapanpun.
Sudah saatnya perpustakaan kita bertransformasi dari dominasi eksklusifitas ke inklusifitas sosial. Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial merupakan wujud perpustakaan sebagai hak pembelajaran. Perpustakaan bukan hanya sebagai pusat sumber informasi tetapi tempat berkegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Perpustakaan merupakan hak inklusif masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan bahwa perpustakaan mengatur hak dan kewajiban masyarakat: masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan; masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus; masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masingmasing. Hal yang mendasari munculnya program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial adalah SDGs (Sustainable Development Goals). SDGs merupakan program untuk perubahan-perubahan menuju pembangunan berkelanjutan dengan berdasarkan hak asasi manusia melalui pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan lingkungan dan pembangunan hukum dan tata kelola. Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial fokus membantu untuk mencapai tujuan SDGs dalam penanganan menghapus kemiskinan dengan meningkatkan wawasan masyarakat melalui layanan di perpustakaan dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial yang akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Dalam RPJMN 2020-2024 (ditetapkan melalui Perpres No18 Tahun 2020) bahwa pembangunan literasi dan peningkatan budaya gemar membaca masyarakat berkolerasi terhadap peningkatan daya saing daerah dan menentukan kemajuan suatu bangsa dan kualitas sumber daya manusianya.
Transformasi Perpustakaan di Kota Kendari
Dalam rangka menjadikan sumber daya manusia unggul Kota Kendari sebagaimana Visi Indonesia Maju, maka pembudayaan literasi secara inklusif sebagai gerakan transformasi perpustakaan menjadi keharusan. Disini para pihak terutama Dinas terkait dan penggerak perpustakaan untuk adaptif pada “literasi baru” yang meliputi: literasi manusia: kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan inovatif.
Ini dapat ditempuh dengan peningkatan layanan informasi melalui koleksi bahan pustaka, komputer, dan internet; literasi data: kemampuan membaca, menulis, menganalisa dan menggunakan informasi digital.
Upaya untuk sampai ke citacita tersebut memerlukan kesanggupan untuk mengevaluasi, menyusun ulang peta jalan, dan mengkreasikan kebijakan integrative lintas stakeholder dengan dukungan institusional yang kuat-demokratis-humanis.
Lebih teknis, perpustkaan di Kota Kendari haru mulai mendorong literasi teknologi digital: membaca cara kerja mesin aplikasi teknologi seperti artificial intelligence, programing, dan lainnya). Dapat ditempuh dengan advokasi dan kemitraan untuk membangun dukungan dan mendorong keberlanjutan program.
Lebih dari itu gerakan pembenahan ini harus dimulai dari perubahan paradigma literasi yaitu literasi inklusif-partisipatif dimana urusan literasi bukan sekedar membaca dan menulis, namun lebih luas, mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk cetak, digital, visual tanmpa membeda- bedakan manusia. Selanjutnya diperlukan ruang lingkup holistik-integratif; hulu-hilir. Terakhir, tata kelola penguatan kelembagaan; sinergi-kolaborasi- koordinasi (Sumber: Direktorat Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, Bappenas).
Sudah saatnya pula perpusatkaan tidak hanya mengandalkan analog, mengingat literasi informasi berbasi digital dibanyak negara maju sudah beralih ke digital. Selain lebih memudahkan publik untuk akses, perpustakaan digital juga mengurangi biaya pengeluaran terutama perawatan dan tenaga manusia.
Contoh paling terdampak adalah bagaimana buku cetak dengan era digital yang dimudahkan dengan kecanggihan teknologi orang dapat membaca buku dalam bentuk e-book yang bisa dibaca dimana saja melalui smartphone, mendengarkan kuliah atau ceramah melalui youtube, dan ragam bentuk lain yang memudahkan kita untuk belajar.
Transformasi perpustakaan berbasis inklusif sosial bahwa perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat kegiatan, dan pusat budaya; perpustakaan memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki; perpustakaan dirancang lebih berdaya guna untuk masyarakat; dan perpustakaan menjadi wadah untuk menemukan solusi dari permasalahan kehidupan masyarakat.
Fokus program transformasi perpustakaan berbasis inklusif sosial tahun 2023 adalah keberlanjutan program 2018-saat ini yaitu capacity building dimana penguatan kapabilitas untuk transformasi layanan perpustakaan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan desa/kelurahan; dan gerakan bersama untuk mendorong keberlanjutan program, mendorong kolaborasi dan sinergi untuk penguatan literasi masyarakat.
Secara umum tujuan program adalah terciptanya masyarakat sejahtera melalui transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial sedangkan secara khusus untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan; meningkatkan penggunaan layanan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan membangun komitmen dan dukungan stakeholder untuk transformasi perpustakaan yang berkelanjutan.
Strategi yang dapat ditempuh adalah: pertama, peningkatan kualitas layanan informasi melalui koleksi bahan pustaka, computer, dan internet; kedua, memfasilitasi kegiatan (pelibatan masyarakat) sesuai kebutuhan masyarakat; dan ketiga, melakukan advokasi dan kemitraan untuk membangun dukungan dan mendorong keberlanjutan program termasuk menjalin kolaborasi.
Selain itu, penting juga memahami prinsip dalam gerakan literasi inklusif yaitu: terbuka bagi siapapun termasuk kelompok disabilitas, lansia, perempuan, dan kelompok rentan lainnya yang belum pernah dijangkau; menghargai keragaman; dilaksanakan secara berimbang; menggunakan berbagai ragam teks-visual-audio dan memperhatikan kebutuhan masyarakat yang bisa jadi setiap tempat dan waktu berbeda; berlangsung secara terintegrasi dan holistik; dilakukan secara berkelanjutan; dan sebagainya.
Diperlukan parameter pembangunan perpustakaan berbasis inklusif sosial sehingga akan terlihat sejauh mana komitmen Pemerintah dalam mendorong penguatan literasi, inovasi dan kreatifitas sehingga tercipta kesejahteraan masyarakat. Pertama, pemerataan layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial di masyarakat; kemudahan akses informasi dan pengetahuan bagi masyarakat. Kedua, tenaga perpustakaan yang kompeten, kreatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ketiga, transformasi pengetahuan berbasis koleksi dan program perpustakaan untuk masyarakat; dan komitmen dan dukungan stakeholders untuk transformasi perpustakaan berkelanjutan.
Strateginya dengan merancang perpustakaan dan koleksinya untuk dimanfaatkan masyarakat seoptimal mungkin. Baru kemudian dilakukan aksi yang meliputi ruang berbagi pengalaman; ruang belajar yang kontekstual; dan ruang berlatih keterampilan kerja. Berhasil atau tidaknya transformasi ini dapat di ukur dengan indikator: peningkatan kunjungan pemustaka ke perpustakaan; peningkatan pelibatan masyarakat dalam kegiatan perpustakaan; peningkatan ekspos media terhadap kegiatan perpustakaan; dan peningkatan jumlah kemitraan perpustakaan dengan berbagai lembaga. (***)