Penulis : ROSMAWATI RASYID - Pengurus KAHMI Sultra/Mantan Timsel KPU Wilayah Sultra
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Pemilu 2024 kini banyak memunculkan catatan maupun pendapat kritis dari beragam kalangan. Dinamika itu sudah berkembang di kalangan pengamat, pelaku politik hingga simpatisan, bahkan masyarakat umum dengan segala keterbatasan pun ikut melempar cuitan atau komentar kritis.
Di balik hingar bingar perbincangan seputar pemilu, masih cukup relevan kiranya untuk tidak melupakan bargaining position kaum perempuan dalam konteks pergulatan pemikiran konsepsi politik. Pasalnya bicara wilayah itu semisal rana demokrasi, kewarganegaraan dan nasionalisme sering dipandang sebatas konsep yang netral. Padahal bila jauh ditelusuri konsep politik tersebut berimplikasi pada bias gender.
Pada tahun-tahun terakhir ini, isu-isu tentang keterwakilan dan partisipasi politik perempuan menjadi semakin signifikan. Kendati beragam langkah mobilisasi dan advokasi telah ditingkatkan, namun perspektif sebagian politisi soal isu partisipasi perempuan masih rendah atau boleh jadi tidak memiliki pemahaman sama sekali.
Memasuki tahun politik, Pemilu 2024 kembali menjadi palagan kontestasi politik bagi kaum perempuan. Tak bisa dipungkiri, sebagian perempuan mampu memegang posisi strategis dalam kancah politik. Hanya saja muncul kekhawatiran, indikasi penurunan keterwakilan perempuan di parlemen produk Pemilu 2024.
Kondisi itu bisa diidentifikasi dengan berbagai fakta. Pertama, peningkatan keterwakilan perempuan dengan produk kebijakan yang mengafirmasi perempuan ternyata tidak linier. Jadi partisipasi dan keterpilihan meningkat, tetapi minim gebrakan dalam proses pengambilan kebijakan. Pemicunya karena tidak mendapat ruang cukup atau memang terbatas dalam sumber daya manusia.
Kedua, sorotan menarik datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yaitu sistem rekrutmen calon anggota parlemen dari kalangan perempuan oleh partai politik kerap sebatas formalitas. Takaran pragmatisnya, hanya karena berafiliasi dalam circle kekuasaan (anak, istri atau kerabat kekuasaan), atau sekadar menjadi obyek pelengkap guna mencukupkan kebutuhan jumlah kursi dalam satu daerah pemilihan.
Ketiga, perdebatan dalam ruang publik seputar pemilu sering berujung upaya mendiskreditkan atau melemahkan posisi sebuah parpol di mata khalayak. Dampaknya, pemilih perempuan belum tentu bisa memberi ruang pada calon dari kalangan perempuan akibat kuatnya sentimen negatif terhadap parpol tertentu.
Dan Keempat, kontroversi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Dalam Pasal 8 Ayat 1 dinyatakan partai politik wajib mengajukan daftar bakal caleg dengan komposisi minimal 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil). Pasal 8 Ayat 2 menyatakan, hasil penghitung kuota 30 persen dibulatkan ke bawah apabila berupa pecahan dengan dua angka di belakang koma tak mencapai 50.
Umpamanya, di sebuah dapil terdapat empat kursi anggota dewan dan partai politik mengajukan empat bakal caleg. Dengan ketentuan kuota 30 persen, berarti secara matematis partai politik harus mengajukan 1, 20 orang caleg perempuan. Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan satu caleg perempuan.
Aturan itu dinilai bertentangan dengan UU Pemilu yang mensyaratkan daftar caleg memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan kuota keterwakilan perempuan hanya tersisa 25 persen akibat aturan pembulatan desimal ke bawah tadi.
Hal ini sangat berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang jelas dan tegas penghitungan 30 persen di setiap dapil menghasilkan pecahan dilakukan pembulatan ke atas. Dalam regulasi pemilu juga jelas, Pasal 248 UU No 7/2017 mengenai verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Dengan adanya aturan pembulatan ke bawah, memang parpol yang diuntungkan karena tidak perlu repot dan terbebani dengan mencari bacaleg perempuan.
Ketimpangan regulasi yang diduga ada upaya sistematis atau dengan sengaja diakal-akali ini berisiko merugikan bacaleg perempuan sehingga mengecilkan kemungkinan calon legislatif perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif (Jurnal Perempuan, 2003). Pemilu inklusif yang kerapkali digaungkan hanya sebatas simbol belaka. Fakta yang terjadi justru melanggar hak politik perempuan yang hendak maju menjadi bacaleg.
Menghadapi situasi tersebut, para aktivis perempuan tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan tidak tinggal diam. Kelompok civil society ini menggelar aksi pada 8 Mei 2023 untuk menolak Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 dan menuntut Bawaslu sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan rekomendasi kepada KPU agar merevisi PKPU Pencalonan dan meminta KPU kembali kepada konstitusi.
Namun hasil konsultasi KPU dengan Komisi II DPR RI menghasilkan keputusan KPU tetap konsisten menjalankan aturan PKPU yang baru itu. Versi DPR RI, aturan PKPU yang baru tidak terlalu menimbulkan kekhawatiran serius. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi II dari 18 partai politik, keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif sudah mencapai angka 37,6 persen atau di atas angka afirmatif 30 persen.
--Perempuan Penyelenggara
Potret ironi lainnya adalah rendahnya keterwakilan perempuan ada di tingkat penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Bisa ditilik dari proses seleksi penyelenggara pemilu 2022- 2027, masing-masing hanya menghasilkan satu orang keterwakilan perempuan di KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kalau lembaga DPR RI punya komitmen kuat terhadap semangat Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di situ mengatur ketentuan afirmatif 30 persen, maka satu lembaga minimal dua perempuan. Setali tiga uang, rendahnya keterwakilan perempuan di tingkat pusat, ternyata memiliki dampak serius hingga ke KPU dan Bawaslu provinsi serta kabupaten/kota.
Seleksi gelombang pertama di 20 KPU provinsi juga tidak jauh berbeda. Hanya enam provinsi yang tim seleksinya memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen. Masih minimnya perempuan yang menjadi tim seleksi, baik secara kuantitas maupun kualitas, menyebabkan kemungkinan perempuan untuk duduk di lembaga penyelenggara pemilu daerah semakin kecil.
Memang keikutsertaan perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ruang untuk perempuan menjadi lokus untuk menciptakan sosial inklusivitas. Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 yang dirilis World Economic Forum, tingkat kesetaraan secara global baru 68,6 persen. Partisipasi perempuan dalam politik di dunia menempati kesenjangan terbesar dengan skor 24,7 persen. Indonesia berada di posisi ke-85 dari 153 negara. Potret ini menunjukkan masih ada problem serius dalam praktik politik elektoral di Indonesia.
Padahal merujuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang dirilis Komisi Pemilu Umum (KPU) terungkap dari total pemilih 204.807.222 pemilih, sebanyak 102.588.719 orang adalah pemilih perempuan. Sisanya pemilih laki-laki berjumlah 102.218.503 orang. Berarti ada selisih 370.216 suara pemilih yang dimiliki perempuan. Ini mengisyaratkan kaum perempuan ikut berperan menentukan wajah kepemimpinan Indonesia ke depan di tingkat unsur penyelenggara pemerintah baik legislatif maupun eksekutif.
--Terjebak Stigma
Seyogyanya posisi perempuan tidak harus menjadi obyek semata dalam kontestasi lima tahunan, porsi 30 persen dalam representasi perempuan di berbagai tingkatan parlemen bukan cuma jadi ‘obat tidur’ dalam ruang konstitusi. Secara statistik memang ada peningkatan jumlah perempuan yang duduk di kursi DPR RI Periode 2019-2024. Dari 575 anggota DPR RI, sebanyak 120 orang adalah perempuan atau mencapai persentase 20,87 persen dari total anggota DPR RI.
Tren kenaikkan populasi legislator perempuan sudah berlangsung pada Pemilu 2004 dan 2009. Tetapi sebagian pengamat sedikit pesimis angka persentase itu bisa bertahan dengan berbagai indikator problematika yang diulas sebelumnya. Terlebih ada keterbatasan masyarakat dan Bawaslu untuk bisa mengakses Sistem Teknologi Informasi Pencalonan (SILON). Padahal bila keran itu dibuka justru bisa meningkatkan kualitas pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada SILON.
Apapun wujudnya, sistem kuota telah menjadi sebuah mekanisme yang penting untuk meraih peningkatkan keterwakilan perempuan di dalam proses-proses politik, serta sebagai sebuah sarana untuk menjamin agar kepentingan-kepentingan politik perempuan tetap disuarakan dan diwakili. Pemberlakuan kuota atau strategi_strategi langkah afirmatif merupakan bagian tak terpisahkan dari serunya perdebatan mengenai pengembangan sebuah sistem politik yang demokratis dan dibangun di atas azas utama kesetaraan gender.
Tuntutan pemberlakuan kuota adalah bagian integral dari tuntutan yang lebih besar mengenai hak_hak bagi perempuan di dunia politik. Mengapa isu-isu politik begitu penting bagi perempuan? Itu tak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/ mayoritas dari negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapatkan perhatian yang selayaknya, disamping mereka terus-menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan.
Kita pun sepakat menginginkan keterwakilan perempuan di zona pemilu dan berbagai aktivitas lainnya tidak dipojokkan dalam situasi anomali, didukung konstitusi tetapi dalam prakteknya dijebak dalam stigma ‘Yang Penting Ada’, ‘Asal terpenuhi dan sebagainya. Ada kesan belum mau memberikan pendidikan politik dan penguatan paradigma inklusivitas yang kongkrit pada perempuan. Bahwa, pemilu dan demokrasi Indonesia telah dikelola secara beradab berdasar prinsip adil dan setara gender. Salam Demokrasi. (*)