Oleh: Irma Irayanti, S.HI., M. Pd
Dosen IAIN Kendari dan Cand. Doctor PKN
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Acara perpisahan dan penamatan sekolah, telah menjadi fenomena baru saat ini. Mulai dari tingkatan TK hingga SMA, anak-anak dikondisikan merasakan momen "wisuda". Namun, dibalik perayaan ini, sekolah-sekolah tanpa disadari, mengajarkan anak-anak untuk hidup hedonis dan memberatkan orang tua.
Banyak orang tua yang mengeluhkan, kesulitan dalam mengikuti kegiatan perpisahan ini. Keterbatasan dana menjadi alasan utama, karena mereka memiliki kebutuhan mendesak lain yang harus dipenuhi. Ironisnya, ada cerita tentang orang tua, yang bahkan tidak mendapatkan bagian makanan, dalam acara perpisahan setelah membayar mahal.
Fenomena ini, mengungkap pergeseran pola pikir dan pola hidup di sekolah-sekolah kita. Bukankah karakter itu, juga berasal dari keteladanan, yang bukan hanya di dapat di rumah, namun juga di sekolah dan masyarakat. Jangan sampai tanpa disadari, kita lah yang merubah anak-anak kita menjadi "tidak lebih baik".
Colby dan Damon (1992) mengungkap, bahwa komitmen terhadap nilai dan prinsip moral, mampu menginspirasi orang lain, untuk melakukan tindakan moral. Hal ini akan berbahaya, jika berlangsung secara terus menerus dan konsisten, sehingga menjadi budaya. Sekolah-sekolah tampaknya, berlomba-lomba untuk tampil lebih hebat dan lebih baik daripada sekolah lainnya, dengan menjadikan perpisahan dan penamatan, sebagai ajang kehebohan dan kemewahan.
Namun, apakah tidak lebih baik jika anggaran yang dikumpulkan pihak sekolah, digunakan untuk melatih kebajikan bagi anak-anak. Terutama, mereka yang masih berada di tingkat PAUD dan sekolah dasar, untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya? Menanam pohon, memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, atau melakukan kegiatan bersih lingkungan, akan membentuk karakter anak-anak sedari dini.
Pilihan ini jauh lebih bermanfaat, daripada menyuguhkan gaya hidup hedonis, yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis dan mental mereka. Meskipun hal ini terlihat sederhana, namun jika dilakukan secara berkelanjutan dan menjadi keharusan, akan menambah beban bagi orang tua, yang seharusnya mendapatkan pendidikan gratis, namun hanyalah sebuah harapan tanpa kenyataan.
Lebih lanjut, gaya hidup perpisahan yang membutuhkan kemampuan finansial, juga akan menciptakan kesenjangan di antara siswa. Baik dari segi ekonomi maupun rasa percaya diri. Anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, akan merasa rendah diri karena tidak dapat membeli atau menyewa pakaian sesuai kriteria yang ditetapkan sekolah. Upaya maksimal yang dilakukan orang tua, untuk memenuhi tuntutan ini, bahkan dengan berhutang, jauh dari prinsip hidup sederhana yang seharusnya diajarkan dan diterapkan.
Sekolah seharusnya, menjadi salah satu tiang pembentuk karakter moral siswa. Karakter moral tidak hanya ditentukan oleh keluarga dan masyarakat, tapi juga oleh sekolah. Jika sekolah mengajarkan anak-anak untuk hidup mewah dan hedonis, maka perilaku siswa di masa depan, akan terbentuk sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, perlu ada refleksi terhadap fenomena perpisahan yang terjadi saat ini.
Pada masa lalu, perpisahan sekolah dilakukan secara sederhana, dengan membawa makanan yang dimasak ibunda tercinta atau nasi kuning yang dibeli pada tetangga ke sekolah, atau bahkan diadakan di tempat wisata sebagai ajang silaturahmi antara orang tua, anak, dan guru. Namun, saat ini, fenomena baru muncul, terutama di Kota Kendari, di mana perpisahan dilakukan di hotel dengan nuansa glamor dan hedonis.
Lain lagi dengan acara di tingkat SMP dan SMA, yang diadakan dalam bentuk Prom Night yang jelas di adopsi dari budaya luar. Hal ini memberikan nostalgia bagi mereka yang mampu. Namun, menjadi "nostalgila" bagi mereka, yang tidak memiliki dana cukup untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Sekaranglah saatnya kita mengubah paradigma. Kita perlu lebih empati terhadap mereka yang jauh dari gaya hidup hedonis.
Pendidikan harus menjadi landasan, dalam membentuk karakter moral anak-anak kita. Biaya dikeluarkan untuk perpisahan, sebaiknya digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Seperti membantu siswa yang membutuhkan seragam sekolah atau perlengkapan lainnya, atau bahkan membantu mereka dalam memasuki sekolah baru. Kita harus mengajarkan anak-anak untuk hidup sederhana, menghargai lingkungan, dan memiliki rasa kepedulian sosial serta semangat gotong royong.
Dalam menghadapi perkembangan zaman, kita harus menjadi penentu arah yang akan dibawa anak-anak dan menentukan masa depan karakter mereka. Saatnya menghentikan tren gaya hidup hedonis dalam perpisahan sekolah, dan memprioritaskan nilai-nilai yang lebih penting, bagi pembentukan karakter moral yang kuat dan berdaya.
Melalui tulisan ini, saya berharap fenomena perpisahan dan penamatan sekolah saat ini, dapat menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Mari kita perbaiki arah pendidikan di Indonesia dan menumbuhkan anak-anak yang memiliki karakter moral yang kokoh, peduli terhadap lingkungan, dan mampu berempati terhadap sesama. (*)