Dekan Fakultas Hukum Unhas : Laporan Arusani Berpotensi “Bumerang”

  • Bagikan
Prof.Hamzah Halim

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Laporan mantan Bupati Buton Selatan (Busel), La Ode Arusani dan Penjabat (Pj) Bupati Busel, La Ode Budiman atas dugaan pemerasan oknum jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari Buton) terhadap pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Busel, menuai sorotan.

Pasalnya, laporan tersebut dilayangkan ketika Kejari Buton tengah menyelidiki dugaan korupsi belanja jasa konsultasi penyusunan dokumen studi kelayakan bandar udara kargo dan pariwisata senilai Rp1,8 miliar di Dinas Perhubungan (Dishub) Busel tahun anggaran 2020.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Profesor Hamzah Halim mengatakan laporan mantan Bupati Busel, La Ode Arusani berpotensi menjadi "bumerang" baginya.

"Dalam kasus mantan Bupati Busel La Ode Arusani yang melaporkan Kejari Buton berpotensi besar menjadi 'bumerang'. Alasannya, sampai saat ini belum ada bukti dari pelapor bahwa pihak Kejari Buton diduga melakukan pemerasaan," ujarnya kepada Kendari Pos melalui sambungan telepon seluler, Minggu (21/5), kemarin.

Prof.Hamzah Halim menjelaskan, ketika yang bersangkutan merasa tertekan karena hanya akibat diperiksa kemudian melapor, maka dasar hukumnya mengada-ngada. Melapor adalah hak setiap warga negara, namun kewajibannya pelapor harus membuktikannya.

Sebaliknya, jika tidak bisa dibuktikan, maka bisa menjadi "bumerang" sebagai konsekuensi logis hukum. Bahwa pelapor diduga telah memfitnah orang, mencemarkan nama baik institusi, menghalang-halangi penyelidikan dan penegakan hukum dengan cara mengada-ngada.

Prof. Hamzah Halim mengatakan, soal lapor dan melapor adalah hak bagi seluruh bagi warga negara Indonesia. Hal itu dijamin oleh Undang-Undang. Namun yang perlu dilihat yakni substansi dari laporan, apakah bisa membuktikannya secara fakta atau hanya sekedar upaya pembelaan diri yang terperiksa.

"Bicara hukum berarti berbicara soal pembuktian. Jadi ketika ada laporan bahwa ada dugaan pemerasan oleh oknum Kejaksaan, tidak lantas dapat dipercaya dan mesti melalui pembuktian fakta," kata Prof. Hamzah Halim.

Jika pelapor (La Ode Arusani) kata dia, merasa tidak bersalah, lalu mengapa merasa tertekan? Mestinya dijalani prosesnya dan jika perlu pelapor meminta kasusnya dipercepat, dilimpah ke pengadilan agar segera masuk ke pembuktian.

"Kan jelas dan terang benderang serta berkepastian hukum. Tidak perlu mereka beropini di media dan lapor kiri kanan. Itu malah akan memperlambat upaya mempercepat adanya kepastian hukum bagi mereka," ujarnya.

Prof.Hamzah Halim menduga, upaya laporan eks Bupati Busel La Ode Arusani hanya upaya membangun opini untuk mencoba melemahkan penegakan hukum pemberantasan korupsi. "Ini kebangkitan para koruptor, dalam persepsi saya untuk skala nasional. Karena saat ini sedang marak upaya pelemahan pemberantasan korupsi," imbuhnya.

Prof.Hamzah Halim menjelaskan, harus dicermati, tidak sedikit para koruptor atau pelaku tindak kejahatan korupsi belakangan ini sangat kuat melakukan perlawanan. Misalnya, dengan upaya mendesak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melucuti kewenangan lembaga anti rasuah itu, sehingga lahirlah Dewas atau Dewan Pengawas. Hal ini bagian upaya perlawanan.

"Terakhir, fenomena yang menarik yakni ada salah satu pengacara terdakwa korupsi Plt. Bupati Mimika, Provinsi Papua, yang sedang mengajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara korupsi. Meminta supaya kewenangan penanganan kasus korupsi tidak lagi diberikan kepada Kejaksaan. Ini adalah logika terbalik yang diadopsi," jelas Prof.Hamzah Halim.

KPK dibentuk berbasis Komisi, maka sifatnya tidak permanen. Jadi filosofi atau sejarah dibentuk KPK adalah untuk mentrigger lembaga-lembaga penegak hukum yang memberantas korupsi agar bisa bangkit dan optimal dalam memberantas korupsi. Namun kenyatannya saat ini ada upaya-upaya mempertahankan itu agar menjadi lembaga permanen. "Jika menginginkan permanen, maka jangan menggunakan komisi. Karena di seluruh dunia penggunaan komisi bersifat tidak permanen," bebernya.

Soal mantan Bupati Busel yang tertekan dalam proses pemeriksaan Kejari Buton, hal ini adalah hal lumrah dalam upaya pemeriksaan. Karena ketika seseorang diperiksa oleh penegak hukum, pasti perasaannya tertekan. Namun tidak serta merta dikatakan bahwa melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau sejenisnya.

"Tentu tidak seperti itu. Bahkan tembak matipun jika itu perintah hukum, maka bukan pelanggaran HAM. Orang ditahan di sel pasti tertekan, tetapi itulah prosedur hukum yang dianut negara ini," tutur Prof.Hamzah Halim.

Jika Kejari Buton melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi, hal itu adalah bagian tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi). Justru salah, jika Kajari Buton dan anak buahnya jika tidak mengusut tuntas dugaan korupsi tersebut.

"Jika dikatakan, bahwa Jaksa mencari-cari, ya tugasnya adalah mencari-cari agar menemukan fakta seterang-terangnya. Kalau kemudian ada yang merasa keberatan bahwa hal itu salah, maka orang tersebut harus belajar hukum kembali," tegas Prof. Hamzah Halim.

Prof.Hamzah Halim menambahkan, dengan adanya laporan mantan Bupati Busel, La Ode Arusani, maka Kejari Buton sebaiknya tidak menghiraukan laporan tersebut dan fokus pada perkara yang sedang ditangani. "Selanjutnya jika alat bukti cukup, agar segera bisa dilimpahkan ke pengadilan," tandasnya.

Sebelumnya, Kepala Kejari (Kajari) Buton, Ledrik Victor Mesak Takaendengan melalui Kepala Seksi (Kasi) Intelijen, Azer J.Orno menuturkan, pagu anggaran sekira Rp1,8 miliar untuk ukuran studi kelayakan dinilai terlalu besar. "Dari proses penyelidikan, dugaan kerugian negara sekira Rp1,6 miliar lebih," kata Azer J.Orno dalam keterangannya kepada Kendari Pos, baru-baru ini.

Azer J.Orno menjelaskan modus dugaan korupsi di Dinas Perhubungan Busel. “Di duga mulai dari proses perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan terdapat perbuatan melawan hukum yang berdampak pada perbuatan dugaan tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Tim penyidik menduga tidak ada proses perencanaan jasa konsultasi seperti penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB), Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan pengusulan program dalam rencana kerja Dishub Busel. "Lebih dari itu, nama paketnya pun tidak tertera pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas Perhubungan tahun anggaran 2020," jelas Azer J.Orno.

Pelaksanaan pekerjaan kata dia, tidak sesuai dengan metode pelaksanaan sehingga pembuatan laporan pelaksana pekerjaan dibuat tidak sesuai dengan fakta-fakta kajian di lapangan. "Diduga menggunakan dokumen tidak benar dan dilampirkan dalam laporan akhir kegiatan. Membuat kesimpulan laporan yang tidak benar dalam laporan akhir kegiatan. Membuat Laporan Pertanggungjawaban keuangan yang tidak benar," urai Azer.

Dalam proses penyelidikan perkara ini, kata Azer J.Orno, penyelidik Kejari Buton telah memanggil 41 orang saksi. Baik dari pihak PT.Tatwa Jagatnata selaku konsultan pelaksana, Dinas Perhubungan Busel, para pihak di lingkungan Pemkab Busel hingga pihak terkait lainnya. "Dari 41 saksi itu, sekira 31 saksi memenuhi panggilan pemeriksaan. Sedangkan 10 saksi lainnya terkesan abai," ungkapnya. (ali/lyn/b)

  • Bagikan