KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Secara harfiah, pagar dapat diartikan sebagai suatu penghalang atau pembatas. Fungsinya untuk melindungi, memisahkan, atau membatasi. Tetapi pagar sebenarnya dapat dimaknai dengan berbagai cara, tergantung konteks dan budaya.
Dalam budaya kita, pagar digunakan untuk memisahkan antara ruang publik dan ruang privat. Atau pemisah pelbagai hal yang bersifat sakral dan yang profan. Dalam konteks ini, pagar dianggap sebagai simbol pembatas antara hal-hal yang bersifat dikotomis. Seperti dalam Bahasa Qur’an, pagar dapat bermakna furqan, pembeda antara haq dan batil.
Pada masyarakat Bugis, misalnya, pagar kadang disebut sebagai ‘pallawa’, artinya pembatas. Rumah panggung tradisional orang Bugis, pada umumnya memiliki pembatas ruang antara bagian dalam dan luar. Pembatas itu disebut ‘pallawa tengnga’ yang dianggap sakral. Tetamu tidak boleh melewatinya tanpa izin empunya rumah.
Lain lagi di Republik Amnesia, sebuah negeri di dunia khayal, terdapat konsep pagar yang tak kalah unik. Pagar dimaknai sebagai sosok pelindung yang merupakan pemimpin tertinggi. ‘Sang Pagar’, begitu atribut yang dilekatkan kepadanya, dipilih secara demokratis. Sama persis dengan sistem yang berlaku di negeri kembarnya di dunia nyata, Indonesia.
Suatu waktu rakyat Amnesia resah, lantaran sang pagar tiba-tiba bertingkah aneh di ujung-ujung masa kekuasaannya. Mungkin karena terlalu enak berkuasa membuatnya enggan kehilangan kekuasaan, sehingga ingin berkuasa lebih lama. Ah, sungguh kekuasaan benar-benar nikmat paling melenakan.
Masalahnya, ambisi sang pagar terbentur oleh konstitusi yang membatasi masa jabatan hanya dua periode. Oleh karena itu, sang pagar lalu mengupayakan agar konstitusi diamandemen. Untuk itu, maka seluruh kepala dusun di Amnesia diperintahkan membuat pernyataan mendukung. Namun upaya itu gagal karena ditolak oleh partai pendukung utamanya sendiri.
Tapi sang pagar belum kehabisan akal. Ia lantas melontarkan jurus baru dengan sejumlah alasan konyol yang menggelikan, yaitu, tunda pemilu. Antara lain, pemilu perlu ditunda untuk mencegah ekonomi tak semakin memburuk. Kemudian diperkuat dengan melibatkan mega data. Katanya, lebih dari separuh rakyat Amnesia ingin pemilu di tunda. Siapa percaya? Kandas.
Harapan berkuasa lebih lama pun sirna, membuat sang pagar tampak bertingkah makin aneh. Bahkan tindakannya dianggap sudah di luar pagar kepatutan. Tak patutnya di mana? Kekuasaannya yang tersisa digunakan untuk mengatur siapa yang boleh dan siapa yang tak boleh menggantikannya.
Padahal, mestinya kekuasaan itu digunakan untuk menemukan calon-calon pemimpin terbaik, sebagai wujud pengabdian terakhirnya kepada rakyat. Selebihnya, biarkan rakyat memilih sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Tidak justeru sebaliknya. Kekuasaan digunakan untuk mengkanalisasi pilihan rakyat dengan cara meng-endorse kandidat yang diingini, dan berusaha mematikan kandidat yang tak dikehendaki. Bukankah perlakuan semacam ini, mengebiri hak rakyat? Sedangkan pemimpin yang mengebiri hak rakyat, bukan lagi bersalah, tetapi telah melakukan sebuah dosa besar.
Mengapa sang pagar sampai melakukan itu? Sebab ia tak mau jika yang dipilih oleh rakyat menggantikannya kelak, adalah sosok yang dipersepsi sebagai anti tesa dirinya. Itu sebabnya sampai ia menggunakan pelbagai cara menghentikannya. Mulai dari ide frustasi perpanjangan masa jabatan dan tunda pemilu, hingga upaya kriminalisasi terhadapnya.
Tapi sial bagi sang pagar. Sebab, semakin dicoba dikriminalisasi, semakin rakyat percaya bahwa yang bersangkutan adalah sosok bersih. Logika rakyat sederhana. Sebab sekiranya ia ditemukan melakukan korupsi, betapapun kecilnya, ia sudah lama mendekam di balik jeruji besi. Apalah lagi, sang pagar memang begitu bernafsu memenjarakan demi menghentikannya.
Sebenarnya, sang pagar juga tahu kalau sosok itu bersih dan lurus. Maklum, pernah berjuang bersama. Tetapi justeru itulah yang membuatnya ketakutan jika sosok itu benar-benar dipilih oleh rakyat. Pikirnya, begitu meninggalkan istana, keamanan diri dan keluarganya tak terjamin. Mengapa? Mungkin sang pagar menyadari terlalu banyak makan tanaman selama berkuasa.
Seorang bijak datang padaku. “Mengebiri hak rakyat untuk mendapatkan pemimpin terbaik adalah salah satu wujud pengkhianatan terhadap rakyat,” katanya kemudian menghilang. Selepas itu, saya pun terjaga di antara kumandang azan subuh. Ah, ternyata saya baru saja bermimpi berada di negeri khayal. (*)