“Siapa yang menguasai informasi, maka dia menguasai dunia” (Jhon Naisbit)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Seperti yang kita ketahui bersama, jika Pemilu serentak baru akan dilaksanakan tahun 2024. Namun, aroma politik telah mulai tercium. Terlihat jelas yang terpampang di
ruang publik saat ini, pada sudut jalan telah dipenuhi wajah-wajah kandidat, yang kemungkinan akan ikut serta dalam kontestasi politik. Walaupun terkadang, iklan politik tersebut mengganggu keindahan kota dan tata ruang publik.
Begitu juga pada media konvensional
maupun media baru (new media), telah digempur iklan-iklan politik dalam bentuk aktualisasi diri maupun partai. Iklan politik telah dipandang sebagai senjata yang ampuh, untuk memperkenalkan partai maupun calon. Efek iklan politik, bukan hanya memperkenalkan, tapi juga memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku (behavior) pemilih untuk memilih calon kandidat.
Maraknya political marketing, guna memasarkan partai maupun calon kandidat di ruang publik, tentunya juga semestinya partai dan kader bisa memikirkan cara pandang atau situasi
pikiran (mindset) yang akan ditimbulkan dari pesan yang disampaikan pada iklan politik tersebut. Penentuan isi pesan iklan (content message) menjadi guidance untuk menarik perhatian publik, dalam hal menjatuhkan pilihan politiknya. Ingar-bingar political marketing
dan gencaran sosialisasi untuk menambah pundi suara namun partai dan kader cenderung lupa mengedukasi para pemilih pemula dalam memberikan pemahaman bagaimana berpolitik dengan benar.
Belajar dari pemilu 2019, dimana pesta demokrasi seperti identik akan konflik. Dimana ruang publik dan media sosial penuh dengan negative campaign (kampanye negatif) dan propaganda yang berdampak menjadi konflik pada publik. Hal ini tentunya menjadi perhatian
khusus, agar mengedepankan pendidikan etika politik agar mengedukasi para partai, calon kandidat dan pemilih.
Khususnya pemilih pemula yang latar belakangnya belum memiliki pandangan politik jelas, dalam menentukan suaranya, mereka cenderung mencari-cari partai atau tokoh yang cocok atau sesuai dengan jiwanya (Hasrullah, 2014). Jika dilihat dari temuan tersebut, bisa disimpulkan jika para pemilih pemula cenderung mudah terpengaruh oleh pesan-pesan politik, baik itu negative campaign maupun propaganda para elite politik.
Pemilih Pemula dan Politik di Media Sosial
Pemilih pemula cenderung melihat dan mencari informasi tentang politik di media sosial. Dalam hal pencarian partai dan kandidat yang akan dipilihnya, mereka memanfaatkan media sosial pribadinya untuk mencari informasi terkait. Sehingga, perlu menjadi catatan para partai maupun elite politik, agar cerdas melakukan political marketing di media sosial, jika ingin mempengaruhi atau menambah pundi suara di kalangan pemilih pemula.
Persoalannya, para elite politik maupun partai belum sensitif akan hal itu. Mereka cenderung hanya memanfaatkan political advertising di ruang publik, dimana para kelompok pemilih pemula cenderung tidak tertarik melihat iklan-iklan politik di jalanan. Karena politisi cerdas akan
mengoptimalkan saluran informasi komunikasi untuk mendapatkan kekuasaan. Begitu juga sebaliknya, politisi kurang cerdas adalah kandidat yang kurang mampu menggunakan saluran informasi komunikasi untuk meraih kekuasaan. Seperti kata Jhon Naisbit “Siapa yang menguasai informasi, maka dia menguasai dunia”.
Rendahnya Literasi Politik pada Kelompok Pemilih Pemula
Kebanyakan pemilih pemula adalah mereka yang masih SMA atau Mahasiswa yang pemahaman politiknya masih kurang. Mereka berpartisipasi dalam pesta demokrasi sangat rentan terhadap pesan-pesan propaganda, ujaran kebencian, money politik, politik identitas,
dan negative campaign. Rendahnya pendidikan politik pada kelompok pemilih pemula ini, sangat rentan juga terhadap mobilisasi kepentingan tertentu.
Seperti yang terjadi pada 2019 silam, para pemilih muda menggunakan media sosialnya untuk berkomentar tidak baik
tentang politik tanpa pemahaman mendalam. Sebab, mereka harus merespon atau berkomentar tidak etis dan menjelekan calon atau partai yang bukan pilihannya. Mereka sering diarahkan oleh partai atau salah satu calon, untuk membuat jargon-jargon tertentu atau melalui perang iklan politik maupun di media sosial.
Peran Media, Pemerintah, dan Elite Politik
Potret pesta demokrasi kita di masa lalu, bisa menjadi pelajaran berharga agar tidak terjadi di masa mendatang. Edukasi tentang berpolitik yang benar, baik secara langsung di ruang publik maupun media sosial. Karena efek dari politik yang tidak baik, akan menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Relasi antara media, pemerintah, dan juga elite politik untuk mengedukasi dan memberikan pendidikan politik terhadap publik, maupun khususnya pemilih pemula yang rentan menjadi korban terhadap egoisme kekuasaan.
Pemerintah atau stakeholder yang terkait bisa berperan dalam memberikan pemahaman tentang politik yang baik dan benar, agar publik bisa memahami dan sadar jika melihat konten atau isi pesan di media sosial yang memprovokasi terjadinya konflik karena politik.
Littlejohn dan foss (2005), mengemukakan jika penguasa memiliki hubungan Power relation antara media massa dan penguasa salah satunya yang diungkapkan Littlejohn yakni “Sumber kekuatan kekuasan besar dengan sumber kekuatan media kecil” (High-power Source, low-power media).
Dalam hal ini, kekuatan penguasa sangat dominan dalam mempengaruhi isi media. Sehingga, kemungkinan penguasa atau kelompok elite akan melakukan tekanan terhadap media, yaitu menggunakan media untuk mencapai tujuannya.
Pemerintah memiliki power, dalam hal memberikan pendidikan politik untuk pemilih pemula. Pemerintah bisa memanfaat media, baik konvensional maupun media baru untuk memuat
informasi atau memberikan pemahaman tentang politik. Pemerintah juga bisa
memanfaatkan para tenaga pendidik di kampus-kampus, untuk menekankan pentingnya pendidikan politik terhadap kelompok pemilih pemula.
Para elite politik, dalam hal untuk mencapai kekuasaan, tentunya perlu kesadaran agar berpolitik secara baik. Tidak dalam memburu kekuasaan, segala cara dilakukan demi memuaskan nafsu politiknya. Yakni bersaing dengan kandidat lawan politik lainnya dengan
cara menjelekan atau melakukan negative campaign. Karena perlu diingat, dampak dari kampanye negatif sangat berpotensi menimbulkan konflik. Sehingga perlu kesadaran besar ara elite maupun partai politik akan hal ini. Masyarakat atau publik juga, harus peka terhadap kampanye negatif ini, agar tidak menjadi pelaku atau korban kampanye negatif. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Kendari