“Learning Loss”, Kegelisahan Para Orang Tua

  • Bagikan
Hanna

CERDAS (Cerita Edukasi dan LiteraSi)
Oleh : Hanna

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Dalam perjalanan saya ke Makassar, di belakang tempat duduk saya terjadi diskusi panjang antara 2 orang ibu. Yang satu kemungkinan guru dan yang satu kemungkinan ibu dari salah seorang murid ibu guru tadi. Kenapa saya katakan guru karena ia banyak menceritakan kondisi salah seorang anak didiknya di sekolah. Kesimpulan dari cerita yang memakan hampir 40 menit itu adalah rendahnya motivasi anak, khususnya pasca pandemi Covid-19.

Setelah saya mengamati ternyata pembicaraan itu adalah terjadinya learning loss yang Menurut Donnelly & Patrinos, 2021; suatu peritiwa psikology menurunnya pengetahuan dan keterampilan siswa secara akademis sebagai akibat dari pembelajaran di rumah yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Learning loss dalam konsep Indonesia, dapat terjadi karena beberapa hal semisal liburan sekolah, tidak masuk sekolah, pengajaran yang tidak efektif hingga putus sekolah, namun dapat juga dipahami sebagai bentuk penurunan daya kemampuan siswa akibat adanya pandemi Covid-19.

Mengutip Yuniarso Amirudin pada Harian Radar Tegal, 4 Februari 2021, mengatakan belum adanya kepastian kapan situasi pandemi covid-19 ini berakhir memunculkan kekhawatiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan terjadinya learning loss pada peserta didik.

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada hasil survei Kemendikbud pada 13 November hingga 17 Desember 2020 yang menyimpulkan 68% dari 11.306 guru sebagai responden survei itu menyatakan bahwa 50% atau lebih siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

“Learning loss tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun ini baru merupakan persepsi atau hasil analisis guru berdasarkan asesmen diagnostiknya”, kata Kabalitbang dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno.

Tidak dapat dipungkiri dibeberapa sekolah gejala ini ada, namun oleh beberapa orang menganggap peristiwa semacam ini hanya kebiasaan yang terjadi akibat kelelahan saja, sebagaimana kebiasaan lainnya. Namun yang perlu dipahami gejala seperti ini sangat membahayakan nasib anak didik Indonesia.

Jika gejala stunting, dan pandemi yang baru saja melanda dunia bisa diatasi dengan baik karena memang semua unsur turun tangan membasmi dan mengontrol musibah itu, tetapi yang sangat disayangkan gejala learning loss ini tidak menjadi perhatian serius, yang mestinya dipikirkan karena menyangkut masa depan pendidikan dan anak itu sendiri.

Ada beberapa kesulitan belajar yang dialami anak didik. Pertama, learning disfunction (ketidakfungsian belajar) yaitu siswa yang menunjukkan gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat indera atau gangguan-gangguan psikologis lainnya.

Kedua, learning disorder yang disebabkan terjadinya anak sulit belajar karena adanya respons yang bertentangan dalam diri anak. Sehingga, hasil belajar yang dicapainya jadi lebih rendah dari potensi yang dimiliki. Contoh, anak yang sudah terbiasa dengan olahraga keras, seperti karate dan tinju.

Learning loss adalah fenomena dimana sebuah generasi kehilangan kesempatan menambah ilmu karena ada penundaan proses belajar mengajar. Secara rinci, guru yang menyatakan sebagian besar siswa memenuhi standar kompetensi hanya 31,9%. Selanjutnya 7,6% guru menyatakan 50% siswa memenuhi standar kompetensi. Dan sebesar 20,6% guru menyatakan hanya sebagian kecil siswa memenuhi standar kompetensi. Yang 20% inilah yang diduga mengalami learning loss paling besar. Hanya 20% yang memenuhi standar kompetensi, artinya 80% diduga tidak mencapai capaian pembelajaran yang diharapkan

Memang mungkin diantara para guru termasuk orang tua belum mengenal tanda-tanda yang dialami oleh anak yang mengalami learning loss. Saya membaca buku yang ditulis Budi, S., Utami, 2021, memberikan sinyal bahwa tanda-tanda yang dapat dilihat ketika anak mengalami learning loss yaitu menurunnya intelektual dan keterampilan, mundurnya prestasi belajar, tumbuh kembang anak yang terganggu, anak mengalami tekanan psikologis dan psikososial dan kesenjangan akses belajar.

Jika hal itu terjadi maka dampak yang diakibatkan oleh learning loss ini sangat negatif. Dapat berupa putus sekolah, penurunan prestasi akademis, dan terpengaruhnya kesehatan mental serta psikis anak-anak. Hal tersebut tentu dapat terbawa hingga mereka dewasa sebagai trauma tersendiri. Itu artinya anak yang mengalami Learning loss sama halnya dengan kita tidak banyak berharap masa depan dari mereka. Pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah, apakah kita ikhlas anak-anak kita hilang masa depannya akibat learning Loss?

Trauma psikologis adalah kondisi yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa buruk yang menimpa diri seseorang. Kejadian yang tidak menyenangkan ini membuat orang yang mengalaminya merasa tidak aman dan tidak berdaya menghadapi dunia yang penuh bahaya.

Perlu dipahami jika seseorang mengalami trauma, penderita akan tersiksa dengan emosi, ingatan, dan kecemasan yang mengingatkan kepada peristiwa tersebut, hingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan, kemungkinan penederita juga menjadi tidak bisa percaya lagi kepada orang lain.

Trauma dapat disebabkan beberapa hal, terutama yang mengancam nyawa. Namun, situasi yang membuat penderita kewalahan terhadap perasaan tertentu (overwhelmed) atau justru merasa terpinggirkan juga dapat menyebabkan trauma. Hanya saja, perasaan trauma tidak bisa diukur dari kejadian yang dialami, tapi bagaimana anda menerima atau menanggapi peristiwa tersebut. Artinya, dua orang yang berbeda bisa saja mengalami kejadian yang sama tapi hanya salah satu saja yang merasa trauma.

Kondisi kesehatan fisik dan mental, dukungan dari orang terdekat, dan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi situasi tersebut dapat memengaruhi respons Anda terhadap kejadian traumatis. Kekhawatiran saya pada gejala learning loss ini tidak diantisiapasi dari awal maka kekhawatiran Menteri akan terbukti. Menurut Nadiem ada 3 dampak negatif dari kegiatan PJJ.

Pertama, putus sekolah. Hal ini disebabkan ada beberapa anak yang harus bekerja membantu orang tua karena pandemi covid-19. PJJ tak optimal akhirnya siswa putus sekolah. Persepsi orang tua juga berubah, sehingga ancaman putus sekolah ini menjadi riil dan bisa berdampak seumur hidup.

Kedua, adalah penurunan capaian belajar. Hal itu disebabkan karena kesenjangan kualitas kepemilikan akses teknologi. Selain itu ada risiko learning loss karena PJJ tak efektif. Ketiga adalah risiko kekerasan pada anak dan risiko stres di dalam rumah karena tak bertemu teman dan lain-lain. (*)

  • Bagikan