KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Wacana penundaan pelaksanaan tahapan Pemilu Tahun 2024 akibat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2 Maret 2023 dinilai janggal.
Dimana dalam putusan itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang dilayangkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 8 Desember 2022 dengan Nomor Register 757/Pdt.G/2022 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal inipun berdampak kegaduhan di tengah masyarakat. Pasalnya imbas dikabulkannya gugatan Partai Prima, semua tahapan Pemilu tahun 2024 yang tengah dilaksanakan KPU dinyatakan harus ditunda.
Terkait dengan putusan PN Jakpus tersebut, pakar hukum Sultra, La Ode Muhram Naadu angkat bicara. Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) ini patut dicermati bahwa gugatan yang dilakukan oleh Partai Prima adalah persoalan perdata. karakteristik putusan perdata itu hanya berlaku untuk para pihak yang berperkara saja. "Ini Ranah privat. Kesesatan pikir yang terjadi adalah amat putusan yang menyentuh ranah publik yakni perosalan menunda pemilu, " ungkapnya.
Dikatakan, Undang-undang (UUD) Pemilu telah expressive verbis diatur dalam Pasal 431 sampai Pasal 433 bahwa pemilu hanya bisa ditunda karena adanya “kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan” tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Tentu saja berhadapan dengan norma ini sifat putusan aquo akan menjadi non executable atau tidak dapat dilaksanakan, " katanya.
Secara substansi, sambung pakar hukum Sultra tersebut, gugatan yang dilakukan oleh partai Prima sebenarnya lebih cocok pada sengketa proses. Pasal 466 sampai Pasal 471 UU Pemilu secara limitatif memberikan atribusi bahwa yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus adalah Bawaslu RI, dan hanya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Jadi PN Jakarta Pusat yang memutus perkara ini melanggar kompetensi absolut sebuah peradilan. Sebuah proses peradilan sudah ditentukan substansi permasalahannya. Dalam menerapkan hukum ada hukumnya, "bebernya.
Ditambahkan, meskipun gugatannya adalah keperdataan dan menjadi kompetensi absolutnya, seharusnya putusannya tetap fokus ke bidang keperdataan.
"Putusannya tidak boleh berlaku umum (erga omnes) sebagaimana suatu putusan tata negara dalam hal pemilu. Putusannya patut fokus pada hak keperdataan penggugat dan tergugat, " tandasnya.(kam)