Menguji Konstitusionalitas Proporsional Terbuka, Oleh: Muhammad Sam Almunawi, SH

  • Bagikan

“Salah satu alasan rakyat membenci politik ialah karena kebenaran jarang menjadi tujuan seorang politikus. Tujuannya adalah pemilihan umum dan kekuasaan” (John calvin “cal” Thomas seorang pengarang dan komentator politik).

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Nampaknya sulit dibantah, perubahan konstitusi dan pemenuhan kepentingan berdampak pada sistem Pemilihan Umum (Pemilu). Sistem Pemilu pada masa transisi demokrasi dan pemerintahan, menerapkan sistem proporsional stelsel daftar atau proporsional tertutup di mana daftar calon anggota legislatif diumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sedangkan Sistem Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka untuk memilih anggota DPR dan DPRD serta sistem distrik berwakil banyak untuk pemilu anggota DPD, hal mana diatur dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2003.

Mekanisme pembagian kursi dilakukan menggunakan metode kuota hare, berdasarkan angka bilangan pembagi pemilih (BPP), di mana penentuan calon terpilih, dilakukan berdasarkan capaian suara calon terhadap angka BPP. Terhadap calon yang mencapai angka BPP, akan ditetapkan sebagai calon terpilih dan memperoleh kursi di DPR atau DPRD. Namun demikian, ketika tidak ada yang mencapai angka bilangan pembagi calon terpilih, ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon.

Sistem proporsional semi terbuka dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, mengalami perubahan setelah terbitnya Undang-undang 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD yakni berkaitan dengan modifikasi terhadap penentuan calon terpilih. Calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP namun apabila tidak ada yang mencapai 30 persen angka bilang pembagi maka calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut (Vide Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e). Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan prinsip daulat rakyat sehingga keabsahan norma aquo dilakukan uji materi (Judcial Review) pada Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang diajukan oleh Muhammad Sholeh, S.H., yang pada pokoknya menyatakan bahwa penetapan calon terpilih anggota legislatif adalah berdasarkan suara terbanyak.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi spirit bagi warga negara yang hendak mengabdikan diri melalui jalur politik karena metode penentuan calon terpilih didasarkan pada suara terbanyak. Selain itu, menyebabkan terjadinya perubahan varian proporsional terbuka terbatas menjadi proporsional terbuka murni. Tidak lagi menghitung angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), sistem proporsional terbuka secara resmi diterapkan pada pemilu 2014 dan pemilu 2019 yang masing-masing dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 7/2017.

Muhammad Sam Almunawi,SH

Ketentuan UU No 7 Tahun 2017 metode konversi suara diubah dari Kuato Hare menjadi menjadi metode Divisor Saintelague, yang membedakan antara dua metode tersebut adalah jika menggunakan sistem kuota hare nominal BPP untuk membagi kursi dicari dengan rumusan jumlah suara sah partai politik disatu daerah pemilihan dibagi dengan jumlah kursi. Sedangkan metode Divisor Saintelague proses konversi suara menjadi kursi disetiap daerah pemilihan dilakukan dengan cara membagi total suara partai politik dengan bilangan ganjil. Sistem pemilu proporsional terbuka sesungguhnya berkaitan dengan hak pilih universal yang sejatihnya hal pilih dimaksud tidak hanya sebatas hak untuk memilih dalam pemilu namun lebih jauh adalah hak untuk terwakili dilembaga perwakilan.

Menggugat Keabsahan Sistem Proporsional Terbuka

Pemberlakuan sistem proporsional terbuka sejatihnya telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung dan menentukan siapa-siapa yang akan menjadi wakilnya di parlemen. Sebelum berlakunya Sistem proporsional terbuka kedudukan rakyat hanyalah sebagai objek pelengkap dan penonton dalam Pemilihan Umum. Namun demikian, setelah berlakunya sistem proporsional terbuka cara pandang partai politik menganggap rakyat sebagai partisipan atau peserta aktif dalam pemilu karena sukses dan tidaknya Pemilu bergantung pada partisipasi aktif dari masyarakat.

Secara eksplisit, sistem proporsional terbuka diatur secara detail dalam norma pasal 168 ayat (2) Undang-undang 7 Tahun 2017 yakni : “(2) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem Proporsional terbuka”. Pada prinsipnya sistem proporsional terbuka sebagaimana dijabarkan dalam ketentuan norma diatas, memberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon-calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Ringkasnya, rakyat secara bebas menentukan siapa yang berhak terpilih yang mendapatkan suara terbanyak atau dukungan rakyat yang paling banyak.

Pemilih dapat mengetahui secara pasti rekam jejak wakilnya di DPR dan DPRD yang nantinya dapat memperjuangkan aspirasi selama menjadi wakil rakyat. Dengan sistem seperti ini, rakyat dapat mengontrol secara langsung wakilnya yang duduk dilegislatif, jika melenceng dan mengabaikan aspirasi rakyat maka pada periode selanjutnya akan menjadi catatan untuk tidak dipilih kembali.
Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilihan Umum sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memiliki derajat keterwakilan yang baik. Dalam konteks Pemilu, otoritas pemegang daulat adalah rakyat yang memenuhi syarat. Oleh karena sebagai pemegang daulat tertinggi dalam Pemilu maka kewenangan menentukan wakil yang kredibel, kapabel, berintegritas dan bermoral sepenuhnya menjadi preoregatif rakyat dalam memberi mandat kepada calon legislatif yang dipilihnya.

Terbaru, norma Pasal 168 ayat (2) berkait dengan sistem proporsional terbuka kembali digugat untuk menguji konstitusionalitasnya. Sesungguhnya ada beberapa pasal yang dilakukan uji materi bersamaan dengan pasal 168 ayat (2), diantaranya pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, pasal 424 ayat (2) dan pasal 426 ayat (3). Hal mana dapat ditilik dalam registrasi perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022. Namun demikian, Penulis lebih konsen pada norma pasal 168 ayat (2). Para pemohon dalam perkara tersebut menyatakan bahwa Pasal 168 ayat (2) terkait dengan sitem proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Jika mencermati Permohonan Para Pemohon, setidaknya ada beberapa poin yang dijadikan dalil keberatan Para Pemohon, diantaranya :

  • Sistem proporsional dengan basis suara terbanyak cenderung dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular tanpa ada ikatan ideologis dengan Partai politik.
  • Sistem Proporsional Terbuka akan menimbulkan individualism para politisi sehingga berdampak pada konflik internal.
  • Sistem proporsional terbuka dinilai akan melahirkan liberalism politik dan persaingan bebas dengan penempatan kemenangan individual.
  • Sistem proporsional terbuka akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian .
  • Anggota legislatif yang terpilih dengan Sistem proporsional terbuka tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati Lembaga kepartaian.
  • Sistem proporsional terbuka menjadikan pemilu biaya sangat mahal sehingga menjadikan kompetisi caleg menjadi tidak sehat karena cenderung curang.

Pada uraian Petitumnya Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “Terbuka” pada pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan frasa "Proporsional" pada Pasal 168 ayat (2) Para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sistem Proporsional Tertutup”. Ringkasnya, Para Pemohon dalam perkara aquo menghendaki Sistem Pemilu dengan mekanisme sistem proporsional tertutup atau dengan kata lain sistem memilih partai bukan memilih orang sebagai perwakilan di Parlemen.

Menguji Konsistensi Mahkamah Konstitusi

Sistem Proporsional Terbuka lahir berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Ihwal putusan Mahkamah Konstitusi aquo berawal dari permohonan uji materi terhadap beberapa, namun yang menyita perhatian adalah pengujian Pasal 214 yang mengatur penetapan calon terpilih tidak disarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan berdasarkan pada nomor urut caleg, sehingga norma tersebut dinilai bertentangan dan melanggar hak konstitusional.

Putusan Mahkmah Konstitusi sebagaimana disebutkan menyatakan bahwa Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI 1945 seraya menyatakan bahwa Pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah Konstitusi pun menyatakan penetapan calon terpilih Anggota Legislatif adalah berdasarkan suara terbanyak. Dari sinilah cikal bakal lahirnya sistem pemilu dengan basis suara terbanyak yang mana sistem tersebut telah dilaksanakan pada pemilu tahun 2014 dan pemilu 2019.

Berikut akan diuraikan beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang melegitimasi kedudukan sistem Proporsional Terbuka akan diuraikan dibawah ini, yakni :

“Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan”.

Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya 104 ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata.

Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai politik peserta Pemilu, karena kemenangan seseorang calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai politik peserta Pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon tersebut. Dengan demikian, konflik internal partai politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada masyarakat dapat dikurangi, yang semuanya sesuai dengan prinsipprinsip Pemilu yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.

Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi sinyal bahwa kedaulatan rakyat mesti diwujudkan melalui pemilihan umum yang menggunakan sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Hal yang bertentangan dengan daulat rakyat jika calon legislatif ditentukan dengan nomor urut. Sistem proporsional terbuka yang diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 merupakan perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Sistem Proporsional dengan basis suara terbanyak memberi ruang kepada rakyat untuk memilih orang yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dengan harapan agar wakil yang terpilih tersebut tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik semata tetapi lebih jauh mampu membawa aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Dengan sistem pemilu seperti ini, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak duduk sebagai wakilnya, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

Munculnya permohonan uji materi terhadap norma Pasal 168 ayat (2) Undang-undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Registrasi perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022, Para Pemohon dalam perkara aquo menguji konstitusionalitas sistem proporsional terbuka yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Para Pemohon menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 168 ayat (2) adalah bertentangan dengan konstitusi (Inkonstitusional).

Permohonan uji materi tersebut seolah menguji Konsistensi Mahkamah Konstitusi terhadap putusannya. Putusan Mahkmah terdahulu telah menetapkan calon terpilih berdasarkan pada perolehan suara terbanyak adalah konstitusional. Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar pemilu berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan demikian legitimasi konstitusi tentang sistem proporsional terbuka telah menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat.

Apakah Mahkamah akan konsisten dengan Sistem Proporsional terbuka sebagaimana Putusannya terdahulu, ataukah akan mengabulkan Permohonan Para Pemohon dengan menyatakan sitem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 168 ayat (2) selanjutnya mengembalikan sistem pemilu dengan Proporsional Tertutup? Konklusinya ada pada ujung tinta Hakim Mahkamah Konstitusi. Saat ini perkara tersebut masih dalam proses siding dengan agenda mendengarkan keterangan Para Pihak.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka dan Sistem Proporsional Tertutup.

Pro dan kontra Munculnya perdebatan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup dilatari oleh adanya uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Baik Sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun demikian, terlepas dari kelebihan dan kekurangan diantara kedua sistem proporsional tersebut, yang paling utama adalah daulat rakyat tidak terdistorsi oleh kepentingan elit politik. Setidaknya ada beberapa poin krusial terkait dengan kelebihan dan kekurangan sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam Pemilu yaitu sebagai berikut :

Kelebihan Sistem Proporsional Terbuka

  • Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak
  • Pemilih dapat memastikan dan mengetahui rekam jejak orang yang akan dipilih.
  • Pemilih dapat memilih langsung wakilnya yang akan duduk diparlemen
  • Tercipta kedekatan emosional antara pemilih dan kandidat yang akan dipilih
  • Partisipasi politik pemilih dalam Pemilu cenderung mengalami peningkatan
  • Terciptanya dinamika persaingan antar kandidat di internal partai.

Kelebihan Sistem Proporsional Tertutup

  • Kemudahan Pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena penentunya adalah partai
  • Mampu meminimalisir politik uang
  • Parpol memiliki peran dalam proses regenerasi kader

Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka

  • Membutuhkan modal politik yang cukup besar
  • Penghitungan hasil suara cenderung rumit
  • Proses regenerasi kader tidak berjalan maksimal
  • Sulit menerapkan kuota gender karena perolehan suara berdasarkan suara terbanyak

Kekurangan Sistem Proporsional Tertutup

  • Penetapan calon terpilih dikembalikan ke Partai politik
  • Pemilih hanya memilih partai politik
  • Pemilih tidak memiliki peran dalam menentukan kandidat dalam pemilu
  • Hubungan antara Pemilih dan kandidat terlampau jauh setelah pemilu
  • Potensial melanggengkan oligarki karena penentunya adalah partai politik
  • Politik uang di internal partai tidak terhindarkan dengan jual beli nomor urut (NPWP) atau dalam bahasa jawa dikenal dengan slogan Nomer Piro Wani Piro.
  • Kandidat yang terpilih tidak responsive terhadap kepentingan rakyat

Penutup
Secara Prinsipil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dibentuk dengan dasar menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan tiga Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang digabungkan dalam satu naskah yaitu UU Pemilu. Sebaiknya seluruh pihak, baik elite politik maupun mereka yang telah mempersiapkan diri sebagai wakil rakyat perlu mempelajari lebih lanjut mengenai tata cara dan sistematika penghitungan suara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada akhirnya, bagaimanapun metode penghitungan suara yang digunakan, wakil-wakil rakyat yang terpilih harus selalu setia bekerja dan mewakili aspirasi rakyat dalam berbagai dinamika yang ada selama masa jabatannya, karena sesungguhnya jabatan tersebut kelak akan di pertanggung jawabkan kehadapan Allah Subhanahu wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Wallahu a’lam bish-shawabi

*Penulis adalah Praktisi Hukum/Alumni UHO

  • Bagikan