Pakar Hukum Pertambangan: PT. Vale akan Bermasalah Hukum Jika Perpanjang Izin Saat Ini

  • Bagikan

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Pakar Hukum Pertambangan, Ahmad Redi menilai, bila izin perpanjangan PT Vale diberikan saat ini, maka akan bermasalah hukum. Sebab, belum tuntas mendivestasikan (menjual) sahamnya kepada Indonesia.

Kewajiban dan ketentuan divestasi tersebut, sesuai amanah Undang-Undang No.3 tahun 2020, tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang memerintahkan pemegang Kontrak Karya (KK), dalam hal ini PT Vale Indonesia, harus mendivestasikan sahamnya sampai 51% kepada Indonesia.

Kontrak Karya (KK) PT Vale akan berakhir 28 Desember 2025. Perpanjangan operasional tambang PT Vale menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) belakangan ini, menimbulkan kontroversi karena kewajiban divestasi, luas lahan, tenaga kerja, dan infrastruktur.

Menurut Redi, seharusnya PT Vale Indonesia mendivestasikan saham terlebih dahulu, sebelum diberikan perpanjangan izin untuk melanjutkan operasional tambangnya di Indonesia.

Kepemilikan saham di Indonesia bisa termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau BUMD, maupun badan usaha swasta milik nasional.

"Sesuai ketentuan UU Minerba, maka PT Vale harus divestasi sahamnya sebanyak 51% ke peserta Indonesia yaitu Pemerintah, Pemda, BUMN, BUMD, badan usaha swasta nasional," kata Redi dalam keterangan tertulis yang diterima KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID, Rabu (22/2/2023).

Menurut pria kelahiran Ogan Ilir, Sumatera Selatan ini, jika Vale tidak mendivestasikan sahamnya kepada Indonesia, maka ini bisa menjadi kendala hukum untuk memperpanjang operasional tambangnya, menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Artinya masih tersisa saham untuk didivestasikan ke peserta Indonesia. Bila kewajiban divestasi saham ini belum terlaksana, maka KK-nya ada kendala hukum untuk menjadi IUPK," jelasnya.

Redi menilai, skema divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa diterapkan di PT Vale Indonesia. Menurutnya, ini perlu dilakukan agar nantinya sumber daya alam di Indonesia bisa dioptimalkan untuk kepentingan negara. Hal itu juga sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) RI tahun 1945 dan juga UU Minerba.

"Skema divestasi saham Freeport sebaiknya diterapkan juga ke PT Vale agar kepentingan nasional kita dalam penguasaan sumber daya alam bisa lebih optimal sesuai dengan Pasal 33 UUD RI 1945 dan UU Minerba," tandas alumnus Universitas Diponegoro ini.

Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Intitute lebih jauh mengatakan bahwa bila kepemilikan saham PT Vale didominasi oleh Indonesia, artinya nanti pihak Indonesia bisa menjadi pengendali, bukan lagi pihak asing. Selain itu, ada peralihan manfaat ekonomi bagi Indonesia.

"Melalui divestasi saham, ada dua manfaat bagi Indonesia, yaitu peralihan kendali dari asing ke Indonesia dan ada peralihan manfaat ekonomi yang optimal bagi kepentingan Indonesia, misal melalui deviden," terangnya.

Hingga sekarang komposisi saham PT Vale Indonnesia mayoritas masih dimiliki asing, yakni Vale Canada Limited (VCL) 44,3%, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15%, MIND ID 20%, dan publik 20,7%

Adapun saham murni Indonesia "hanya" 20% yakni dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID, sementara 20,7% merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga belum tentu murni dimiliki Indonesia.

EVALUASI


Pakar Sosiolog Dr. Sawedi Muhammad mengemukakan bahwa sejak dulu harusnya PT. Vale di evaluasi.

Sebab, kata dia, sudah setengah abad lebih menguasai kandungan nikel tanah air indonesia, dan terlilit dengan berbagai masalah lingkungan serta tidak ada transfer pengetahuan dan teknologi pertambangan terhadap sumber daya manusia lokal.

Hingga saat ini masyarakat sekitar pertambangan juga masih hidup dalam taraf kehidupan yang masih kurang layak termasuk infrastruktur dan kebutuhan hidup masyarakat.

“Belum lagi konflik lahan, maksimalisasi program CSR, pencemaran lingkungan, pemberdayaan kontraktor lokal, dan perekrutan tenaga kerja,” bebernya.

“Bahkan berdasarkan data BPS, Kabupaten Luwu Timur masuk 5 besar daerah miskin di Sulsel,” jelasSawedi ke awak media.

BERAKHIR PADA 2025

Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang nikel asal Kanada, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), akan segera berakhir pada 2025 mendatang, tepatnya 28 Desember 2025.
Vale sendiri telah beroperasi di Indonesia sejak 1968 lalu dengan luas lahan 118.000 HA. Artinya, sudah 55 tahun lamanya Vale menambang nikel di Indonesia. Namun sayangnya, mayoritas sahamnya hingga kini masih dikuasai asing.

Lantas, apakah nasib Vale akan sama seperti PT Freeport Indonesia di mana ketika ingin memperpanjang masa operasional tambangnya di Tanah Air harus menjual sejumlah saham asingnya kepada Indonesia terlebih dahulu?

Seperti diketahui, mayoritas saham PT Freeport Indonesia akhirnya resmi dimiliki oleh Indonesia pada 2018 ketika akan memperpanjang masa operasional tambang menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Kontrak Karya Freeport sebenarnya berakhir pada 2021, namun akhirnya resmi mendapatkan perpanjangan menjadi IUPK setelah melakukan divestasi dan akhirnya mayoritas saham yakni 51,23% dikuasai Indonesia, dalam hal ini melalui Holding BUMN Pertambangan MIND ID. Freeport pun mengantongi IUPK 2 x 10 tahun hingga 2041 mendatang.

Lantas apakah kepemilikan saham yang masih didominasi oleh asing itu akan berpindah menjadi milik Indonesia seperti pada kasus mirip sebelumnya yang terjadi pada PT Freeport Indonesia (PTFI)? Yang mana, saham PTFI yang didominasi oleh asing namun sekarang sudah didominasi oleh Indonesia sebanyak 51%.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif angkat suara perihal Kontrak Kerja (KK) PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang akan segera berakhir pada 2025.

Arifin menyebutkan bahwa perpanjangan KK PT Vale ini masih dalam proses diskusi. Dia menegaskan bahwa PT Vale Indonesia masih punya kewajiban untuk mendivestasi kepemilikan saham asingnya sebesar 11% kepada MIND ID selaku Holding BUMN Tambang.

"Kontrak Vale sedang dalam proses, karena Vale punya kewajiban untuk mendivestasi lagi sebanyak 11 persen," ungkap Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/2/2023).

Tak hanya itu, menurutnya Vale juga masih memiliki PR terkait pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).

"Kemudian Vale juga sekarang mempunyai program untuk melakukan hilirisasi. Ada beberapa kerja sama di sana untuk memproduksi komponen baterai sesuai amanah," tambahnya.

Perlu diketahui, sudah sekitar satu dekade lamanya Vale berkutat dengan rencana pembangunan smelter nikel baru. Bahkan, setidaknya tiga proyek smelter baru dengan perkiraan nilai investasi sekitar Rp 140 triliun yang digadang-gadang akan dibangun. Namun sayangnya, hingga kini belum satu pun dari tiga proyek tersebut beroperasi.

Tiga proyek tersebut di antaranya proyek Sorowako senilai US$ 2 miliar, proyek Bahodopi senilai US$ 2,5 miliar, dan proyek Pomalaa senilai US$ 4,5 miliar.

Direktur Utama PT Vale Indonesia Febriany Eddy sempat mengatakan perusahaan saat ini masih fokus untuk merampungkan beberapa pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan.

"Saat ini kan ada tiga program investasi ya, sampai Rp 140 triliun, tiga pabrik baru kami akan komitmen lakukan itu semua karena menurut kami negara ini kan sangat butuh investasi," kata dia saat ditemui di Gedung DPR RI.

Perlu diketahui, Kontrak Karya Vale Indonesia akan berakhir pada 28 Desember 2025 mendatang, setelah terakhir dilakukan Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada Januari 1996.

Namun pada Oktober 2014 lalu PT Vale dan Pemerintah Indonesia sepakat setelah renegosiasi KK dan ada beberapa ketentuan yang berubah, termasuk area tambang berubah menjadi 118.435 hektar.

Kontrak Karya pertama Vale sebenarnya telah ditandatangani sejak 1968 lalu. Artinya, sudah 55 tahun Vale menambang nikel di Indonesia. (*/rls)

  • Bagikan

Exit mobile version