Soal Kasus Kekerasan Seksual Anak, Penetapan AL Sebagai Tersangka Diduga Rekayasa

  • Bagikan
Ilustrasi

Kuasa Hukum Siap Ajukan Praperadilan

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Remaja berinisial AL (19) ditetapkan tersangka dugaan tindak pidana kekerasan seksual anak di bawah umur terhadap dua adik kandungnya, sebut saja Bunga (9) dan Mawar (4). Penetapan tersangka itu diprotes kuasa hukum AL, Muh Sutri Mansyah, S.H., M.H. Sang kuasa hukum akan menempuh upaya hukum.

"Kami akan mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan AL sebagai tersangka kasus tindak pidana kekerasan seksual anak di bawah umur," ujarnya kepada Kendari Pos, Rabu (8/1/2023).

Sutri Mansyah, MH mengatakan penetapan AL sebagai tersangka seolah dipaksakan oleh penyidik Polres Baubau. “Saat saya temui, anak ini (AL) menangis dan mengaku bukan dia pelakunya. Pada saat kejadian, dia berada di pasar bersama ibunya. Tidak ada bukti kuat yang mengarah kepada AL sebagai pelaku. Sehingga kami akan menggugat praperadilan,” ungkapnya.

Penetapan AL Sebagai Tersangka Diduga Rekayasa

Pengamat Hukum Pidana Sultra, Ramadhan Tabiu, S.H., LL.M, menjelaskan penetapan AL sebagai tersangka diduga hanya rekayasa. Salah satu indikatornya, adalah kesaksian korban yang seolah diabaikan penyidik.

“Pertanyaannya, kenapa bisa AL ditetapkan sebagai tersangka? Padahal tidak sesuai dengan pengakuan korban. Jadi, dalam hal ini kepolisian telah mengabaikan keterangan dari korban. Penetapan AL sebagai tersangka tidak masuk akal menurut saya,” ujar Ramadhan kepada Kendari Pos, Kamis (9/2/2023).

Pada 30 Desember 2022, ibu korban SN, melaporkan dugaan kekerasan seksual yang dialami dua putrinya, Bunga dan Mawar ke Polres Baubau. Kedua korban menyampaikan ciri-ciri pelaku sesungguhnya yang beraktivitas tak jauh dari kontrakan mereka di BTN.

Berbekal keterangan SN dan kedua korban, penyidik memeriksa saksi-saksi. Lalu, pada 26 Januari dan 28 Januari penyidik memeriksa AL yang juga kakak kedua korban. Setelah pemeriksaan kedua itu, AL ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rutan Polres Baubau.

Ramadhan Tabiu menjelaskan, penetapan tersangka dilakukan jika penyidik memiliki minimal dua alat bukti yang kuat. Dalam KUHAP, alat bukti bisa berupa keterangan saksi, surat, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan alat bukti dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( UU TPKS), selain dalam KUHAP juga diatur alat bukti lain. Di antaranya keterangan korban ditambah bukti lain berupa surat keterangan psikolog klinis atau piskiater.

“Itu sudah cukup sebagai alat bukti untuk menetapkan tersangka pelaku tindak pidana kekerasan seksual,” ungkap Ramadhan Tabiu.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) itu mengingatkan penyidik harus bertindak profesional menyelesaikan kasus ini. Undang-undang TPKS tidak hanya mengatur tentang sembilan jenis kekerasan seksual. Ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual.

Dalam pasal 19 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

“Itu hukumannya jelas. Saya heran jika ada pihak-pihak yang bermain terhadap penegakan hukum tindak pidana kekerasan seksual. Apalagi korbannya adalah anak,” kata Ramadhan.

Sementara itu, Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (10/2/2023) mengatakan, penyidik telah mengantongi alat bukti yang kuat sebagai dasar penetapan AL sebagai tersangka. Namun dia enggan menyebutkan apa saja kedua alat bukti yang dimaksud. Dia hanya meminta wartawan bersabar menunggu rilis kepolisian.

"Yang pasti lebih dari dua alat bukti. Tunggu saja rilisnya hari Senin," tuturnya.

Mengenai adanya dugaan penetapan AL sebagai tersangka yang seolah dipaksakan, AKBP Bungin menegaskan bahwa penyidik telah melakukan gelar perkara dan mengumpulkan cukup bukti. Adapun jika kuasa hukum tersangka ingin menggugat praperadilan, menurutnya itu hak tersangka.

"Sudah mencukupi dua alat bukti bahkan lebih. Kalau mau praperadilan, silakan. Semua diatur. Anda tidak terima, silakan," pungkasnya.

Pengakuan Korban

Dua anak SN yang menjadi korban kekerasan seksual saat diwawancara menjelaskan dengan cukup detail dugaan kekerasan seksual yang mereka alami pada 24 Desember 2022. Saat itu, korban Bunga, Mawar (bungsu), dan anak lelaki SN lainnya yang berusia tujuh tahun berada di BTN. Sedangkan SN dan AL berjualan sayur di pasar.

Korban Mawar yang sedang bermain di rumah tetangga, dibawa ke sebuah ruangan kosong. Di ruangan itu dia ditampar, disuntik, lalu dicabuli oleh tiga lelaki dewasa. “Dua orang kasih masuk alat kelaminnya. Orang satunya pakai tangan,” kata Mawar sambil memeragakan aksi tersebut.

Saat ditanya mengapa tidak melaporkan kejadian itu kepada ibunya, dia mengaku takut karena telah diancam. “Kalau kamu kasih tahu mamamu, aku bunuh mamamu. Kalau kamu kasih tahu mamamu, aku bunuh kakakmu dua-duanya,” tutur korban Mawar menirukan perkataan pelaku.

Sementara itu, korban Bunga bercerita pada hari kejadian, sekira pukul 14.30 Wita dia mencari adik perempuannya, Mawar. Dia sempat mendengar suara tangisan Mawar di sebuah rumah kosong dekat rumahnya namun ketika dipanggil, adiknya tidak menyahut. Karena tak menemukan Mawar, sang kakak Bunga pun kembali ke rumah dan untuk makan bersama adik laki-lakinya sekira pukul 15.00 Wita.

Tidak lama kemudian, Mawar pulang ke rumah dengan mata sembab seperti habis menangis.
“Saya tanya, “kamu dari mana?” Dia tidak jawab. Mukanya seperti habis menangis. Saya kira dia jatuh karena dia luka bagian pahanya. Seperti tergores,” ujar Bunga.

Usai makan, mereka bertiga tidur di kamar yang sama yang posisi pintunya menghadap ke dapur. Beberapa saat kemudian, Bunga melihat ada sosok pria di dapur. Tak lama kemudian pria itu pergi. Lalu datang dua pria lainnya. Saat Bunga hendak berteriak, salah satu pria menyumpal mulutnya dengan kain sedangkan pria lainnya memencet botol yang mengeluarkan asap yang menyebabkannya tak sadarkan diri.

Saat terbangun, Bunga merasa badannya kesakitan termasuk lengan dan leher bagian belakang, sedangkan kemaluannya terasa kram. Bunga mengaku mengenal kedua pria itu. “Saya kenal. Itu orang di BTN,” kata dia.

Bunga menuturkan, pada saat kejadian, kakaknya AL sedang berjualan di pasar bersama ibunya, SN. Bunga baru bertemu AL sekira pukul 20.00 Wita. “Hari itu kakak AL pulang bersamaan dengan mamaku dari pasar. Mereka pergi dari pagi, nanti malam baru pulang,” tegasnya.

Ibu korban, SN mengonfirmasi terduga pelaku yang disebutkan kedua putrinya. Mereka adalah tukang bangunan BTN tempat SN menyewa, penghuni BTN, menantu pemilik BTN dan pemilik BTN itu sendiri. "Saya percaya, anak saya AL hanya dijadikan kambing hitam dalam kasus ini," ujar SN.

Korban Harus Didampingi Psikolog Klinis

Terpisah, kuasa hukum korban, Dr.Safrin Salam, S.H., M.H menyayangkan penanganan kasus kliennya yang dinilai cacat prosedur dan melanggar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Menurutnya, dalam proses pemeriksaan, anak sebagai korban jika merujuk pada pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur bahwa dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijelaskan dalam pasal 54 ayat 1 bahwa pendamping yang dimaksud adalah psikolog klinis. Dalam proses penyelidikan, penyidik harusnya tunduk pada UU Nomor 12 Tahun 2022, yang mana dalam proses pemeriksaan terhadap anak sebagai korban, sebelum dilakukan pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan dan penyidikan menurut UU tersebut, penyidik harus mendapatkan rekomendasi dari pendamping (Psikolog Klinis) terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan kepada anak.

"Jika hal ini diabaikan oleh penyidik maka penyidik telah melanggar prinsip kepentingan terbaik bagi anak pada saat anak berhadapan dengan hukum. Pada perkara yang dimaksud, korban tidak mendapatkan hak-haknya, sehingga pemeriksaan adalah cacat prosedur," ujar Dr Safrin kepada Kendari Pos, kemarin.

Di sisi lain, Dr Safrin selaku kuasa hukum korban menerangkan bahwa dalam laporan pengaduan yang diajukan ke Polres Baubau dan keterangan awal dari korban yang disampaikan kepadanya, pelaku bukanlah AL namun ada terduga pelaku lain yang sampai saat ini masih berkeliaran.

Selaku kuasa hukum korban, Dr.Safrin mengharapkan agar penyidik PPA Polres Baubau profesional dalam menangani perkara a quo dan bersikap adil dan berpihak kepentingan terbaik bagi anak. “Karena keterangan anak-anak ini (baca: korban), itu bukan menunjuk ke kakaknya melainkan pelaku lain,” tandasnya. (uli)

  • Bagikan

Exit mobile version