Pemilu merupakan instrumen pelaksanaan demokrasi dan sebagai tolak ukur setiap negara yang menunjukkan sistem politik demokrasi hidup. Pemilu menjadi mekanisme penyeleksian dan pendelegasian daulat rakyat kepada orang atau partai politik. Hal itu diatur dalam UUD Negara Repubik Indonesia 1945 termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Repbulik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka Pemilu berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara. Pemilu tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat karena karena merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip Demokrasi yang pada prinsipnya setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.
Pemilihan Umum merupakan sarana berdemokrasi bagi warga negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, yaitu hak kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keculinya” dan “setiap warga negara berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” serta prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).
Dalam konteks Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari Pasal 22E UUD 1945. Nilai praksis Pasal 22E adalah realisasi nilai instrumental dalam suatu pengamalan yang bersifat nyata di kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wujud dari nilai praksis dari 22E tersebut diwujudkan dalam Pemilihan Umum beserta aturan dan prinsipnya.
Pasal 22E UUD Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa Pelaksanaan Pemilihan Umum yakni untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRRI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dari sisi regulasi kepemiluan setelah reformasi konstitusi sejak Pemilu 2004 hingga saat ini, setidaknya terdapat tujuh Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum, yaitu: UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2003, UU Nomor 22 Tahun 2007, UU Nomor 10 Tahun 2008, UU Nomor 42 Tahun 2008, UU Nomor 8 Tahun 2012 dan terakhir Undang-Undang Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota Legislatif dan Penyelenggara Pemilu yang digabung dalam satu Undang-Undang yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017. Kesemua Undang-Undang tersebut tak luput dari pengujian (Judicial review) pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Tak kurang dari setahun, agenda Pemilu Indonesia Kembali dilaksanakan pada Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jaminan perlindungan hak pilih warga negara yang memenuhi syarat pada pemilu 2024 mendatang? Hal ini sangatlah penting karena hak pilih merupakan prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern, karena hak pilih merupakan hak konstitusional yang tidak boleh dihambat oleh berbagai ketentuan dan prosedur admnistratif.
Hilangnya hak pilih sebagian besar warga negara, secara tidak langsung negara telah melanggar hak asasi manusia yang selama ini digencar-gencarkan oleh sebagian besar negara-negara didunia berupa hak untuk dipilih dan hak untuk memilih.
Syarat Penggunaan Hak Pilih
Salah satu standar internasional terkait pemilu adalah adanya jaminan terhadap hak memberikan suara yang sama bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat. Pengakuan konstitusional terhadap hak pilih merupakan hal umum bagi negara-negara demokrasi, sehingga kerangka hukum Pemilu harus mampu memastikan semua warga negara yang memenuhi persyaratan dijamin haknya memberikan suara secara universal dan adil serta tanpa diskriminasi.
Jaminan hak pilih tidak secara eksplisit disebut dalam konstitusi atau UUD Negara Republik Indonesia 1945, namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Meskipun secara eksplisit diatur dalam Undang-undang, tidak menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD NRI 1945. Sebab Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu menegaskan bahwa Hak Konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to br candidate) adalah hak yang dijamin Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi menafsirkan hak pilih merupakan bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana disebutkan Pasal 27 (1) UUD 1945. Atas jaminan yuridis tersebut menegaskan kedudukan hak konstitusional in casu hak pilih warga negara yang fundamental mesti dijamin dan dilindungi oleh negara.
Terdaftar sebagai pemilih adalah salah satu syarat yang pernah diterapkan dalam Pemilu di Indonesia. Syarat tersebut merupakan syarat administratif yang diterapkan sejak pemilu tahun 1955 hingga pemilu tahun 2009. Syarat terdaftar sebagai pemilih menjadi syarat mutlak bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Artinya, jika tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) maka secara otomatis maka tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
Ketentuan dan prosedur administratif bagi seorang warga negara dalam menggunakan hak pilihnya diperlukan untuk mencegah terjadinya kekacauan dalam pemilihan umum. Akan tetapi prosedur tersebut tidak boleh menghilangkan hak yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih pemimpin negaranya. Terlebih, pendaftaran pemilih merupakan kewajiban dari penyelenggara pemilu, dan bukan kewajiban warga negara untuk mendaftarkan dirinya, sehingga semestinya warga negara memperoleh kemudahan, transparansi serta pelayanan terbaik agar dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009, tertanggal 6 Juli 2009 menentukan bahwa warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan dientitas kependudukan, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Paspor. Artinya, MK membatalkan legitimasi syarat penggunaan hak memilih haruslah yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Selain itu, Mahkamah Konstitusi pula membatalkan norma tersebut dan membuka ruang bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap untuk dapat memilih dalam pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi diatas dianggap sebagai sebuah terobosan hukum yang cemerlang karena menyelamatkan hak-hak konstitusional warga negara yang kehilangan hak pilihnya pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta sangat menyentuh rasa keadilan ditengah masyarakat.
Upaya Penyelamatan Hak Pilih
“Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebanaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebanaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang (Satjipto Rahardjo)”.
Kutipan pernyataan “Satjipto Rahardjo” diatas, memiliki korelasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009 yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dapat dibayangkan jika sekiranya penggunaan hak memilih hanya berdasarkan pada daftar pemilih tetap (DPT), akan ada ribuan bahkan jutaan Hak Konstitusional warga negara yang akan dilanggar. Peranan Mahkamah Konstitusi dalam penyelamatan dan perlindungan hak konstitusional warga negara tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VI/2009 tertanggal 6 Juli 2009.
Terobosan MK dalam pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 42 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2008 diatur bahwa sala satu syarat untuk dapat memilih adalah terdaftar sebagai pemilih. Adapun masing-masing norma tersebut adalah berbunyi :
Pasal 28
“untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai pemilih”
Pasal 111 Ayat (1)
Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi :
d. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap pada TPS yang bersangkutan; dan
e. pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan.
Ketentuan diatas, menjelaskan terdaftar sebagai pemilih merupakan syarat wajib yang mesti dipenuhi untuk dapat menggunakan hak memilih. Akibatnya, seorang warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih akan kehilangan hak memilihnya. Konsekuensi hilangnya hak memilih karena tidak terdaftar sebagai pemilih adalah tidak adil, sebab hak memilih merupakan hak yang dijamin konstitusi. Lebih dari itu, ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) telah menghilangkan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945.
Pertimbangan dan argumentasi hukum yang dikemukakan MK dalam permohonan pengujian norma Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1), Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal tersebut adalah KOnstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan lima syarat dan cara :
- Selain warga negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, warga negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri;
- Warga negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
- Penggunaan hak pilih bagi warga negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya;
- Warga negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
- Warga negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
Secara substansial, MK memutuskan demikian didasarkan pada eksistensi hak pilih sebagai hak asasi menusia sekaligus hak konstitusional warga negara. Ketentuan yang mengharuskan terdaftar sebagai pemilih tidak boleh menegasikan hak pilih warga negara. Dalam arti, prosedur administratif berupa terdaftar sebagai pemilih tidak boleh menegasikan hak pilih. Dengan demikian warga negara Indonesia tidak perlu khawatir akan kehilangan hak pilihnya dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pewakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak terdaftar dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilihnya sepanjang memenuhi syarat sebagaimana diuraikan diatas.
Peran Mahkamah Konstitusi
menyelamatkan hak pilih dalam pemilu kembali dipertaruhkan dengan lahirnya Undang-Undang Pemilihan Umum yang baru. Melalui pengujian Pasal 348 ayat (9) UU 7 Tahun 2017, MK kembali mengambil peran startegis untuk mengamankan hak pilih warga negara. Menilik ketentuan Pasal 348 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa “pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi : d. penduduk yang telah memiliki hak pilih”. Namun Pasal 348 ayat (1) tersebut dipersempit oleh ketentuan Pasal 348 ayat (9) yang menyatakan bahwa “penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik”. Ketentuan tersebut kembali membatasi hak warga negara dalam pemilu, dimana KTP Elektronik menjadi satu-satunya dokumen admnistrasi kependudukan yang dapat digunakan untuk memilih dalam pemilu. Artinya, Ketika seorang warga negara yang memiliki hak pilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap pun pemilih tambahan dan tidak memiliki KTP-el maka secara hukum tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Sehingga jika diberlakukan maka Sebagian besar warga negara tidak dapat memilih karena belum memiliki KTP-el. Sehingga oleh Pemohon, MK diminta untuk menyelamatkan hak memilih warga negara dengan menafsirkan Pasal 348 ayat (9) UU 7 Tahun 2017 dengan membolehkan penggunaan identitas lain selain KTP yaitu KTP non elektronik, Surat Keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah atau identitas lainnya.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi diminta memperluas dokumen administratif yang dapat digunakan untuk memilih. Dalam putusannya MK mengabulkan permohonan tersebut namun tidak seluruhnya. Artinya MK tidak mengabulkan penggunaan identitas selain KTP-El sebagai syarat memilih. MK menegaskan bagi warga negara yang belum memiliki KTP-El dapat memilih dengan menggunakan keterangan telah melakukan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Hal ini dimuat dalam diktum putusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 348 ayat (9) UU 7 Tahun 2017 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula surat keterangan perekaman KTP-el. Oleh karena memilih sebagai hak konstitusional yang tidak boleh dibatasi, disimpangi atau dihapus oleh berbagai prosedur admnistratif, sehingga pada akhirnya MK tetap konsisten menyatakan hak pilih haruslah dijamin dan dilindungi.
Delik Menghilangkan Hak Pilih Dalam Pemilu
Pemilihan Umum selalu dibayangi dan diwarnai terjadinya berbagai macam pelanggaran dan kecurangan. Terjadinya pelanggaran dan kecurangan dimaksud tidak hanya berfokus pada penyelenggara melainkan juga dari competitor yang sengaja melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu pelanggaran yang sering terjadi adalah penyalagunaan hak pilih dalam bentuk provokasi, upaya menghalang-halangi dan ajakan Golput, baik pada dunia nyata pun media-media lain yang dilakukan oleh oknum tertentu. Dilakukan dengan sengaja agar seseorang tidak menggunakan hak pilihnya.
Pilihan untuk tidak menyalurkan hak pilih bahkan menjadi golput merupakan bagian dari hak warga negara untuk mengespresikan pikirannya yang dijamin oleh UUD Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28. Akan Tetapi, ajakan atau provokasi untuk golput bahkan menghilangkan hak pilih warga negara juga dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, hal mana diatur secara detail dalam Undang-Undang Pemilu pun Undang-undang Pilkada.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengatur secara jelas berbagai ketentuan pidana terhadap pelaku pelanggaran dan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu baik secara langsung maupun tak langsung. Berkait hilangnya hak pilih seseorang yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu diatur dalam ketentuan norma Pasal 520 Undang-undang Pemilu menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama dua (2) tahun dan denda paling banyak 24 juta”. Dan ketentuan Pasal 531 menyebutkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan menghalangi seseorang untuk memilih, membuat kegaduhan atau mencoba menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun denda paling banyak 48 juta”.
Selain itu, menghilangkan hak pilih seseorang dengan menggunakan uang atau materi lainnya yang dilakukan perorangan atau compentitor (Money Politic) juga diatur secara rinci sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 515 Undang-undang Pemilu yakni “setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilih tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36 juta.
Sedangkan Pasal 523 menyebutkan bahwa “setiap pelaksana, peserta dan/atau Tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung baik itu dalam keadaan masa tenang maupun pada hari pemungutan suara maka dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48 Juta.
Selain disebutkan dalam Undang-undang 7 Tahun 2017 Tetang Pemilu, tindakan menghilangkan hak pilih juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 182A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada menyebutkan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih dipidana dengan pidana penjara 24-72 bulan dan denda Rp 24 juta- Rp 72 juta. Oleh karena hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara yang mesti dijamin, dilindungi dan dijaga pelaksanaanya sebagai wujud dari cita-cita demokrasi dan kedaulatan rakyat. (*)
Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum UHO/Praktisi Hukum)