Oleh : Hazamuddin, S.Sos. M.H (Ketua Bawaslu Kabupaten Buton Utara)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan politik besar, pemilu nasional pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan juga Pilkada serentak pada tahun 2024. Agenda besar pemilu serentak ini tentu saja bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Banyak hal yang akan menjadi potensi masalah dan tantangan yang meliputi, aspek teknis, hukum, hingga persoalan legitimasi hasil pemilu.
Proses persiapan penyelenggaraan sendiri telah ditetapkan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak 14 Juni 2022 dengan melakukan penyusunan berbagai peraturan KPU. Penetapan 17 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Provinsi Aceh yang akan mengikuti kontestasi pemilu 2024 juga telah dilakukan oleh KPU. Dengan ditetapkan jumlah partai politik kontestan pemilu, maka dapat dilihat bahwa jumlah partai yang mengikuti pemilu 2024 terlihat lebih banyak dibanding dengan pemilu yang dilakukan sebelumnya.
Kesulitan dari sisi teknis pelaksanaan pemilu ini tentu saja, akan berkaitan tentang jarak waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada yang saling berimpitan. Tahapan pemilu dan pilkada dengan jarak waktu yang dekat menciptakan kerumitan tersendiri di dalam pelaksanaannya. Keserentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah tahun 2024 berkonsekuensi pada kompleksitas teknis dan aplikasi di di lapangan.
Meskipun pelaksanaan pilkada serentak dilaksanakan pada hari yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan agenda pilkada akan berbenturan dengan jadwal tahapan pemilu lainnya. Dengan kondisi tersebut maka, pelaksanaannya akan menimbulkan kesulitan jika tidak dapat diantisipasi dengan konsep mitigasi yang baik.
Apalagi dengan desain pemilu nasional serentak, hal tersebut berpotensi menciptakan beban kerja yang berat bagi petugas pemilu. Tugas yang menumpuk dan tekanan mental pemilih yang kuat menyebabkan efek tekanan yang berakibat buruk pada petugas pemilu. Keruwetan dan permasalahan yang dialami oleh penyelenggara mulai dari TPS hingga penyelenggara pusat dapat menjadi kendala besar.
Dalam sejarah kepemiluan, Indonesia memiliki cerita hitam. Cerita miris tentang musibah kemanusiaan petugas penyelenggara pemilu di tahun 2019. Berdasarkan data dari kementerian kesehatan pada 16 Mei 2019, petugas KPPS yang sakit mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa. Desain pemilu yang rumit yang menyebabkan adanya penumpukan lima surat suara pada waktu yang bersamaan ditambah dengan sistem proposional terbuka dengan 16 (enam belas) Partai Politik Peserta Pemilu membuat banyak petugas kewalahan hingga akhirnya meninggal.
Pemilu serentak 5 Kotak pada tahun 2019 merupakan penyelenggaraan pemilu paling rumit dan telah menciptakan beban yang berat bagi penyelenggara dan juga bagi pemilih. Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi pemilih dengan adanya jumlah kertas yang banyak ditambah dengan belum meratanya sosialisasi kepada masyarakat. Secara signifikan hal tersebut berpengaruh langsung terhadap partisipasi pemilih dalam pemilu.
Berdasarkan hasil data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), partipasi jumlah pemilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden di pemilu serentak 2019 sebesar 81,97 persen sedangkan pada pemilihan Legislatif partisipasi pemilih mencapai 81,67%. Jika dibandingkan dengan jumlah partisipasi pada pemilu-pemilu sebelumya yaitu tahun 2014 70% untuk Pemilihan Presiden dan 75% dalam Pemilihan Legislatif, maka dapat dikatakan bahwa pemilu serentak memberikan efek tersendiri pada jumlah pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.
Belajar dari pengalaman
Kerumitan dan pengalaman pahit pemilu 2019 tentu saja mesti menjadi pelajaran penting bagi lembaga penyelenggara pemilu tahun 2024. Berangkat dari pengalaman itu maka jalan yang dapat ditempuh untuk meminimalisir persoalan beban kerja oleh KPU yaitu dengan melakukan manajemen teknis penyelenggaran pemilu. Pendekatan teknis yang dapat dilakukan yaitu salah satunya dengan menerapkan sistem teknologi di dalam tahapan pemungutan dan perhitungan suara. Termasuk melakukan desain ulang surat suara yang efektif dan efisien yang dapat meringankan kerja-kerja para petugas pemilu.
Dari segi waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada 2024, penting untuk menjadi pertimbangan yaitu bagaimana mengatur tentang jeda antara pemilu dan pilkada dalam mengakomodasi pelaksanaan setiap tahapan secara substansial yang disertai dengan proses evaluasi tahapan pemilu yang matang.
Potensi masalah terbesar yang akan lahir kemudian adalah tentang proses mengusung pasangan calon di Pilkada yang mesti terlebih dahulu menunggu hasil dari pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Adanya kemungkinan keterlambatan pada penetapan hasil akhir dari pemilu tentu saja akan berakibat pada terganggunya proses tahapan pilkada 2024. Dalam proses pemilu dan pilkada juga memberikan waktu pada proses penyelesaian sengketa. Sementara itu, semua tahapan dalam pemilu maupun pilkada dapat berpotensi menciptakan sengketa ketika dari salah satu pihak ada yang mengalami kerugian.
Dengan demikian, maka untuk menyelesaikan masalah tersebut yang perlu untuk dilakukan oleh penyelenggara pemilu adalah mempercepat proses penetapan hasil pemilu sehingga hal tersebut tidak menghambat proses tahapan dari pilkada tahun 2024. Sebab itu, dibutuhkan kecepatan dan ketepatan serta keseriusan dari penyelenggara pemilu demi keberhasilan dan kelancaran pemilu serentak tahun 2024. Proses pemilu yang dimulai dari pemungutan suara, perhitungan suara hingga pada rekapitulasi suara harus dilakukan secara cepat, tepat dan terukur. Percepatan penetapan hasil pemilu adalah kunci untuk kelancaran proses dan tahapan pilkada.
Kerentananan lain pemilu 2024
Arah narasi pun belum banyak yang berubah. Tantangan yang muncul dalam menghadapi pemilu dan pilkada pun selalu tidak dapat terlepas dari arus polarisasi di dalam masyarakat yang dibentuk melalui informasi-informasi di media sosial. Peluang miss informasi atau kesalahan informasi pemilih masyarakat Indonesia masih cenderung sering terjadi.
Berdasarkan data dari hasil survei pemantauan tahun 2022 menunjukan bahwa peta narasi yang muncul menjelang pemilu 2024 memiliki kemiripan dengan narasi politik yang terjadi di tahun 2019. Peta pemilih pemilu 2024 masih seringkali melakukan personal bullying ketimbang membicarakan gagasan dan visi oleh kandidat yang diusungnya.
Jika hal ini tidak dapat diurai dengan baik maka penggunaan politik identitas kepentingan pemenangan kandidat-kandidat tertentu dalam kontestasi Pemilu 2024 masih akan terulang kembali. Dalam banyak momentum kita masih melihat adanya narasi masyarakat yang menyudutkan figur seseorang dalam sebuah pemilihan.
Atas kondisi tersebut, maka agenda setting untuk mengurangi ruang bagi politik identitas dalam pemilu 2024 merupakan salah satu tugas rumah yang harus segera dilakukan dengan baik oleh pemerintah terutama lembaga penyelenggara pemilu. Hal ini menjadi penting, terlebih untuk memastikan keberlanjutan proses demokrasi yang sehat dan adil di Indonesia.
KPU perlu mengatur dengan baik strategi sosialisasi dengan menggunakan pendekatan edutainment atau komunikasi kreatif untuk meningkatkan kesadaran pemilih dalam pemilu dalam menghindari jebakan politik identitas. Dengan begitu, sehingga semua masyarakat paham tentang bahaya politik identitas terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
Sebab pada prinsipnya, era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern seharusnya membuka jalan pada proses pemilihan umum yang terbuka dan rasional. Pemilih harus bisa secara rasional melihat makna pemilu sebagai langkah awal untuk membangun kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dan pemimpin yang dipilih adalah orang-orang yang diukur berdasarkan kualitas dan kompetensi personal secara objektif dari masyarakat.
Menyelamatkan demokrasi elektoral
Problem demokrasi elektoral secara kasat mata yang terlihat adalah berkaitan tentang biaya politik yang mahal, praktik politik uang, diskoneksi hubungan antara pemilih dan partai politik atau kandidat, dan juga kurangnya akuntabilitas representasi politik.
Dalam konteks politik uang, kontentasi pesta demokrasi justru akan menjadi bahaya besar terhadap demokrasi itu sendiri. Realitas di lapangan memperlihatkan bawa masih banyak pelanggaran yang menyumbang penurunan kualitas Pemilu yang disebabkan oleh politik uang. Ironisnya, politik uang dalam setiap pemilihan telah dianggap sebagai sebuah kelaziman.
Survei persepsi publik komisi pemberantasan korupsi (KPK) menghasilkan data sebesar 71.72 persen masyarakat Indonesia menganggap pendekatan politik uang sebagai sebuah kelumrahan.
Oleh sebab itu, model pencegahan politik uang dalam pemilihan umum harus sebisa mungkin dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan sehingga dapat menyelamatkan demokrasi elektoral di Indonesia.
Hal ini bisa dimulai dengan melakukan pembenahan sistem politik, dan memberikan pendidikan moral dan politik kepada masyarakat. Strategi dan upaya lainnya yaitu dapat dilakukan dengan memanfaatkan fungsi suprastruktur dan infrastruktur politik dalam memperbaiki budaya politik demokrasi di Indonesia.
Masalah lainnya dalam pemilihan umum yaitu tentang netralitas birokrasi yang masih menjadi persoalan. Meskipun netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), Kades hingga Perangkat Desa telah diatur dalam Pasal 280 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa Pelaksana dan/atau tim Kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan aparatur sipil Negara, kepala desa, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa, namun berkaca dari pemilu sebelumnya masih tidak menjamin terciptanya netralitas birokrasi di dalam pemilu.
Maka dari itu untuk menciptakan birokrasi yang netral selain dari perancangan kebijakan yang mengatur tentang perilaku birokratnya itu sendiri hal tersebut juga dipengaruhi oleh lemahnya sistem pengawasan dan penindakan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Sehingga peran pengawasan yang harus dilakukan sebisa mungkin bisa membatasi kecurangan yang diakibatkan oleh ketidaknetralan birokrasi ataupun perangkat desa pada pemilu.
Upaya yang dapat dilakukan selain melalui proses penegakan kebijakan tentu saja yaitu dengan mengimplementasikan sistem pengawasan digital yang masif pada pelaksanaan pemilu. Penggunaan teknologi dalam pemilu diharapkan dapat menutup potensi lahirnya election fraud atau kecurangan pemilu. Penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2024 mendatang sebaiknya memanfaatkan teknologi untuk konsolidasi demokrasi yang baik.
Dibutuhkan penerapan teknologi pemilu berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memiliki fondasi yang kokoh sehingga proses demokrasi dapat berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh semua orang yaitu terwujudnya pesta demokrasi yang melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang dapat membawa kemajuan dan memberikan kesejahteraan kepada warganya.
Jika upaya dan pendekatan tersebut dapat dilaksanakan secara optimal maka pemilu dan pilkada serentak di tahun 2024 sama akan menjadi catatan sejarah baru bagi politik demokrasi di Indonesia.(**)