Penulis: La Oge (Mahasiswa Program Doktor pada Program Studi S3 Ilmu Pertanian UHO 2022)
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini mempunyai peran yang besar dalam pembentukan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun dalam hal penyerapan tenaga kerja. Salah satu sub sektor pertanian yang memiliki potensi besar adalah sub sektor perkebunan. Potensi pengembangan komoditas perkebunan yang merupakan alasan utama untuk menjadikan sub sektor perkebunan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi bagi sektor pertanian saat ini. Salah satu komoditas unggulan perkebunan adalah kakao.
Kakao (Theobroma Cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao atau yang lebih familiar disebut coklat merupakan salah satu tanaman komoditas perkebunan yang menjadi primadona khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu, tanaman yang pada awalnya berasal dari benua Amerika ini menawarkan peluang agribisnis yang menggiurkan apalagi didukung oleh faktor geografis setempat yaitu tanah yang tidak keras dan kaya akan unsur hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, serta faktor iklim dan cuaca yang bersahabat.
Budidaya Kakao diperkuat oleh Visi Pemerintah Daerah yang tertuang ke dalam visi Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara yakni Kekayaan Perkebunan dan Hortikultura secara berkelanjutan untuk mewujudkan Sulawesi Tenggara yang mandiri, sejahtera dan berdaya saing. Untuk itu diperlukan peningkatan Sumberdaya Manusia guna mewujudkan sistem pengembangan kakao yang efektif, efisien dan berwawasan lingkungan serta meningkatkan produksi dan produktvitas dan mutu biji kakao yang berdaya saing dan berkelanjutan guna menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong terwujudnya kemitraan usaha yang sehat, jujur dan berkeadilan antara petani dan pembeli.
Tanaman Kakao sebagai bagian dari statistik perkebunan menunjukkan peran yang tidak sedikit dalam pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan Struktur PDRB Sulawesi Tenggara Tahun 2018, sektor pertanian berkontribusi sebesar 23,95 persen terhadap total nilai PDRB atau boleh dikatakan merupakan yang paling dominan.
Menurut Publikasi Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2016-2018 , produksi kakao menunjukkan trend yang fluktuatif dalam empat tahun terakhir. Selama periode tersebut, produksi terbesar berada ditahun 2016 yaitu 142.470 ton. Kemudian, dua tahun berikutnya terjadi penurunan produksi kakao karena disebabkan oleh usia tanaman yang sudah tua sehingga diperlukan peremajaan kebun kakao atau teknik replanting.
Hal ini diperkuat oleh data Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) bulanan subsektor perkebunan tahun 2018 yang digunakan untuk melihat tingkat/kemampuan daya beli petani di pedesaan. Data Indeks NTP bulan desember 2018 menunjukkan angka 87,12 atau dibawah 100 yang berarti daya beli petani masih rendah akibat kenaikan biaya produksi yang melebihi output yang diterima dari hasil perkebunan.
Dalam perkembangan waktu yang sangat dinamis, permintaan kakao memberikan peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Hal ini tertuang dalam statistik perdagangan luar negeri yang menunjukkan nilai ekspor kakao ke luar negeri mencapai 100 ton di tahun 2018 dengan nilai mencapai 659.997 us dollar atau sekitar 7,02 persen dari total produksi keseluruhan di tahun tersebut. Melihat prospek bisinis kakao memberikan gambaran yang sangat ideal dalam membentuk peningkatan kesejahteraan utamanya masyarakat kecil yang secara tidak langsung akan memberikan dampak positif dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Budidaya tanaman kakao tentu saja tidak lepas dari permasalahan di lapangan. Dalam agribisnis kakao ada beberapa kendala yang dihadapi, khususnya dalam peningkatan produktivitas dan kualitas yang dihasilkan antara lain adalah petani masih mempergunakan teknologi yang tradisional dengan bahan tanaman yang tidak berasal dari biji atau klon yang terpilih dan dengan budidaya yang kurang memadai, serta serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) berupa hama dan penyakit.
Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi saat ini terdapat tuntutan terhadap kualitas produk yang dihasilkan harus memenuhi standar yang tinggi dan proses produksi ramah lingkungan. Fakta di lapang menunjukkan bahwa pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih terbatas pada penggunaan pestisida saja, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada persyaratan lingkungan yang diakui oleh WTO (ISO 14000) dan Codex Alimentarius (adanya ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu pestisida dan bahan pencemar lainnya).
Artinya, apabila kakao Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara ingin bersaing di pasar global maka mau tak mau harus memenuhi persyaratan tersebut.
Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah melalui pengembangan agroindustri dan pengembangan usahatani kakao. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usahatani kakao adalah pelaku usahatani kakao relatif masih kurang menerapkan sistem agribisnis secara utuh dalam pengelolaan. Terutama pada sub sistem prosesing dan pengolahan hasil kakao (off-farm) yang mampu memberikan nilai tambah (added value) serta daya saing mutu kakao di pasaran dunia.
Padahal kualitas kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia bila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai citarasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan perekonomian dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
Salah satu wilayah di Indonesia yang menjadikan kakao sebagai produk unggulan adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, akan tetapi yang menjadi permasalahan kakao di Sulawesi Tenggara sampai saat ini adalah mutu kakao yang masih rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertaniantahun 2009 menunjukkan bahwa petani kakao sebagian besar mengolah buah kakao menjadi biji kering dengan alat dan cara tradisional serta biji kakao masih dalam bentuk non fermentasi.
Tidak hanya di Sulawesi Tenggara, sebanyak 85% biji kakao produksi nasional juga dalam bentuk non fermentasi. Karena tidak difermentasi, menyebabkan rendahnya mutu kakao yang dihasilkan sehingga berdampak pada kualitas produk kakao olahan yang rendah pula. Sedangkan data Departemen Perindustrian 2009 menunjukkan fenomena yang menyebabkan harga biji kakao Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga produk yang sama dari negara produsen lain, karena adanya penerapan diskon terhadap kakao Indonesia di pasar internasional yaitu sebesar USD 300/ton.
Faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya mutu kakao adalah minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu serta penerapan teknologi pada seluruh tahapan proses pengolahan biji kakao rakyat yang tidak berorientasi pada mutu. Selain itu, kurangnya ketertarikan serta minat para petani untuk menghasilkan kakao fermentasi disebabkan karena kurangnya insentif yang diberikan oleh pembeli terhadap biji kakao hasil fermentasi.
Masih rendahnya kualitas kakao, yang dihasilkan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan produk unggulan kakao olahan. Sebagai salah satu negara produsen kakao terbesar dunia, sampai saat ini Indonesia masih terus mengandalkan biji kakao, padahal pasaran Eropa lebih banyak membutuhkan produk olahan setengah jadi seperti cocoa paste, cocoa butter dan cocoa powder.
Pengguna terbesar biji kakao adalah industri makanan dan minuman yang makin bertambah akibat penerapan bea keluar. Kedua industri ini menetapkan berbagai syarat yang ketat dari aspek citarasa, keamanan pangan, rendemen hasil pengolahan dan kemudahan proses produksi (process ability). Persyaratan tersebut sudah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI (Standar Nasional Indonesia) No : 2323-2008. Namun demikian, standar tersebut belum diimplementasikan secara baik dan massal, sehingga industri kakao nasional harus mengimpor biji kakao fermentasi.
Pembangunan ekonomi era otonomi daerah, menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan isu globalisasi, berimplikasi pada percepatan pembangunan ekonomi daerah, yang terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya. Paradigma pembangunan wilayah saat ini, perlu memperhatikan kekhususan wilayah yang dapat meningkatkan potensi wilayah tersebut.
Upaya pembangunan ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian, merupakan sub sektor yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing, serta optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Sektor perkebunan masih menjadi andalan bagi kontribusi peningkatan pendapatan asli daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Oleh sebab itu, sentuhan kebijakan bagi pengembangan pembangunan pertanian wilayah masih diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Titik berat pembangunan ekonomi, harus bergeser dari pertanian ke sektor industri. Industri yang mengolah hasil-hasil pertanian primer menjadi produk olahan yaitu agroindustri.
Agroindustri merupakan sarana meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, memperluas pasar bagi produk pertanian dan menunjang usaha peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. Karakteristik agroindustri bersifat resourses based industry, arah strategi pengembangannya harus didasarkan pendekatan wilayah potensi sumberdaya dengan tetap berpijak pada konsep keunggulan komparatif. Dengan demikian, sentuhan kebijakan bagi pengembangan pertanian wilayah masih sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Pada tahun 2015, Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki areal perkebunan mencapai 514.657 ha. Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara yang berdasarkan data pada tahun 2015 luas areal perkebunan telah mencapai 55.459 ha yang terdiri atas 17 komoditi. Kabupaten Kolaka berdasarkan data pada 2015 areal perkebunan komoditas kakaonya seluas 29.570,44 ha (data BPS, tahun 2016). Namun di sisi lain peningkatan luas areal dan produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Kolaka, dinilai masih kurang dalam menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak. Disebabkan produksi tanaman perkebunan masih sedikit yang diolah pada tingkat lebih lanjut.
Hasil tanaman perkebunan diperdagangkan para petani, rata-rata masih terbatas pada tingkat on farm agribusiness dengan nilai tambah bagi petani yang masih terlalu kecil. Sehingga pendapatan petani belum memadai. Peran sektor agroindustri dapat meningkatkan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga. Pengembangan agroindustri perkebunan seharusnya mengacu pendekatan komoditas unggulan. Sampai saat ini belum ada suatu acuan yang akurat bagi Pemerintah provinsi maupun Kabupaten untuk menentukan kebijakan industri yang sesuai dengan komoditas kakao yang memberikan nilai tambah memadai dan memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Diversifikasi produksi belum berkembang dan hasil ikutannya belum dimanfaatkan. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan dan keterampilan petani masih rendah, terbatasnya sarana dan prasarana pengolahan serta modal usaha yang relatif kecil.
Dengan demikian, maka dalam pemilihan produk kakao sebagai produk olahan unggulan, secara ekonomi mampu memberikan nilai tambah komoditas lebih besar, ketersediaan SDM yang terampil di desa atau ditingkat petani kakao, ketersediaan bahan baku, kemudahan akses teknologi, serta jaminan pasar dari pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan harga bagi produk yang dihasilkan petani dan industri pengolah kakao yang ada di Sulawesi Tenggara. (*)