Disuplai dari Wakatobi, Jadi Sup Mewah Orang-orang Penting
Kelezatan ikan napoleon masyhur dikalangan penikmatnya di Kota Baubau. Penikmatnya, tentu saja kalangan berduit, berkantong tebal. Mereka tahu, Napoleon dilindungi, namun tetap saja diolah menjadi sup mewah.
REPORTER : YULI, BAUBAU
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Di suatu pagi awal September 2022, pasar Wameo ramai. Sebagian pedagang mulai melayani pembeli. Sebagian lainnya baru menggelar dagangan di lapaknya. Mendekati bangunan beratap tanpa dinding dengan tiang biru, tercium bau amis ikan. Makin dekat, kian pekat aromanya.
Bangunan itu tempat penjualan khusus ikan. Masih lengang. Tak jauh dari pintu masuk, seorang pria menjajakan berbagai ikan karang segar berukuran besar. Tenggiri, sunu merah, bobara, katamba, dan barakuda.
Di antara tenggiri dan sunu merah, tampak dua ekor ikan yang menarik perhatian. Model dahinya jenong, bibirnya dower. Tubuhnya diselimuti lendir dengan garis horizontal putus-putus. Keduanya berukuran lebih dari setengah meter.
“Ini ikan napoleon. Dua ekor ini, lebih 10 kg. Saya beli Rp700 ribu. Masih segar. Masih berlendir. Enak sekali ini. Paling cocok diparende (baca: metode pengolahan ikan di Buton),” kata si penjual. Namanya sebut saja Aba.
Ikan napoleon itu didatangkan sehari sebelumnya dari Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi. Aba membelinya per kotak gabus (styrofoam box). Napoleon didistribusikan lewat kapal penumpang reguler rute Wakatobi-Baubau (jembatan Batu). Napoleon juga didatangkan dari Pulau Batu Atas, Kabupaten Buton. Aba merupakan pedagang ikan yang aktivitasnya dipantau tim kolaborasi Harian Kendari Pos, Mongabay, dan Harian Rakyat Sultra sejak pertengahan tahun 2022.
Kami pertama kali bertemu Aba pada bulan Juni. Napoleon yang dijualnya mulai dari 1 kg-50 kg. Harga jual per kilogram rata-rata Rp70 ribu-Rp80 ribu. Jika dijual per ekor, harganya lebih murah. Dibanderol Rp700 ribu untuk ukuran 10 kilogram. Aba hanya membeli napoleon jika sudah ada pesanan. Aba pernah menghubungi kami dan menawarkan napoleon segar seberat 20 kg. Ikan itu segera dilepas ke pembeli lain yang merupakan pemilik rumah makan parende, sesaat setelah kami menolak membeli.
“Kalau tidak ada yang tanyakan, saya tidak berani menjual. Kalau ada barangnya berarti sudah ada yang pesan,” Aba bercerita.
Aba sempat memberitahu bahwa ada dua rumah makan penjual menu utama sup ikan karang di sekitar pasar Wameo yang kerap membeli ikan napoleon darinya. Berbekal petunjuk Aba, tim liputan kolaborasi mendatangi dua rumah makan yang bangunannya bersebelahan. Mencoba untuk memesan menu sup ikan napoleon.
Karyawan di dua rumah makan itu mengaku terakhir menjual sup ikan napoleon beberapa tahun lalu. Mereka berhenti menyajikan napoleon setelah mengetahui ikan itu dilindungi dan dilarang peredarannya. Meski demikian, salah satu karyawan rumah makan mengaku masih melayani permintaan mengolah ikan napoleon menjadi sajian siap santap.
"Kalau ada yang pesan, saya carikan. Untuk 10 orang atau 20 orang. Tapi jarang yang pesan begitu. Biasa dari oknum polisi. Dia bawa sendiri ikannya,” kata karyawan yang tak ingin disebutkan namanya.
Ia mencontohkan pada Mei 2022 beberapa orang berseragam datang membawa ikan napoleon segar untuk dimasak. Katanya, menu itu untuk bahan santap bersama.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Baubau, AKP Najamudin, ketika dimintai keterangan soal ini menjamin bahwa tidak ada anggota Polres Baubau yang pernah membeli napoleon untuk dikonsumsi. "Kita belum pernah lihat. Saya terus terang belum pernah lihat orang jual (napoleon) di pasar," kata Najamudin saat ditemui di halaman kantornya awal Agustus lalu.
Setahunya, ikan napoleon tidak hidup di laut Baubau. Menurutnya, napoloen yang telah jadi bangkai bisa dikonsumsi. “Pernah lihat dijual di Pasar Wameo? Kenapa tidak sampaikan kepada kita ini supaya kita beli juga. Supaya kita makan. Itu kan sudah (menjadi) bangkai. Kalau tidak dikonsumsi, terus mau diapakan?” tambahnya.
19 Oktober 2022, Kapolres Baubau AKBP Erwin Pratomo (saat ini telah bertugas di Polda Sultra) yang dihubungi menegaskan selama sembilan bulan bertugas di Baubau, ia tak pernah menyaksikan pesta napoleon di kantornya. Ia sendiri mengaku belum pernah mengonsumsi napoleon.
“Di Kepton (baca: Kepulauan Buton) ini kan banyak Polres. Mungkin saja mereka mengatasnamakan Polres Baubau. Kan begitu. Namanya oknum anggota,” AKBP Erwin menjelaskan melalui sambungan telepon.
Kata AKBP Erwin, selama ini Polres Baubau hanya menggunakan dua jasa catering. Yaitu catering Bhayangkari dan catering milik salah satu anggota Polres Buton. Dalam setiap kegiatan resmi, menu konsumsi mesti atas persetujuannya.
“Menunya apa, harus dilaporkan sama saya. Selama ini kita tidak pernah mengonsumsi ikan napoleon. Karena apa? Saya sendiri tidak suka ikan napoleon. Saya tidak begitu suka ikan,” tuturnya.
AKBP Erwin juga mengaku belum pernah melihat ikan napoleon secara langsung, namun tahu seperti apa bentuknya. Ia yakin bisa membedakan mana hidangan yang merupakan daging napoleon dan mana yang bukan.
“Tahu. Mau dimakan saja mukanya sedih. Napoleon itu, kita mau makan saja tidak tega. Coba perhatikan mukanya, muka sedih. Kalau sup ikan itu kan masih ada kepalanya. Saya bisa membayangkan dari Google sampai dihidangkan. Cukup dibayangkan, diantisipasi, oh ini ikan napoleon. Besar-besar ikannya. Ada yang sampai 2 meter,” ujarnya.
Lain halnya dengan Ardin Nadimin, Bendahara Sekretariat Kota Baubau yang mengaku penyuka ikan napoleon. Ia membeli napoleon di Pasar Wameo. Harganya Rp200 ribu-an. Ardin mengaku mengonsumsi ikan napoleon yang dipindang sebulan sekali.
“Kebetulan yang kecil-kecil harga 200 ribuan. Ukuran 10 jari orang dewasa. Untuk dikonsumsi saja. Biasanya beli sendiri,” ujarya.
Ardin mengaku terakhir mengkonsumsi napoleon sejak Mei 2022. Bukan karena statusnya yang dilindungi, melainkan karena merasa bosan saja. “Katanya begitu (dilindungi). Tapi itu kan sudah lama sekali. Saya belinya sudah dipotong-potong. Sudah dibagi dua,” tambahnya.