Oleh : Fika Pramawati (Mahasiswa Magister Administrasi Pembangunan, UHO)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- “Dari pada ribet”, kata ini sering kali kita dengar dari masyarakat saat akan mengurus sesuatu urusan (dokumen, perkara, jasa, dll) pada suatu lembaga pelayanan publik. Kebiasaan memberikan sesuatu “tambahan” pada petugas pelayanan publik seolah-olah adalah hal yang normal bagi masyarakat. Tambahan yang dimaksud tersebut adalah berupa uang atau barang berharga lainnya yang tidak termasuk dalam persyaratan-persyaratan suatu urusan pelayanan publik tersebut. Dikemudian hari istilah ini dikenal luas sebagai Pungli atau pungutan liar.
Penyebab terjadinya Pungli tersebut tidak selalu dimulai dari masyarakat, tetapi seringkali dimulai oleh oknum petugas pelayanan publik, dimana biasa kita mendengar istilah “kalau mau cepat”. Tentunya kata-kata “sihir” ini seperti gayung bersambut bagi masyarakat yang punya kelebihan uang, dan tidak mau ribet dengan aturan-aturan yang dipersyaratkan dalam pengurusan disuatu lembaga pelayanan publik. Baik dari oknum petugas nakal maupun dari masyarakat pemberi Pungli akan merasa tidak bersalah apa-apa dengan perbuatan yang mereka lakukan, sebab mereka berlindung pada istilah “suka sama suka, butuh sama butuh”.
Fenomena perilaku Pungli ini pada akhirnya berakar kuat di kehidupan sosial bermasyarakat dan seakan-akan sudah menjadi budaya masyarakat yang dimaklumi keberadaanya. Dimana walaupun kedua belah pihak menyadari bahwa pungli yang dilakukan tersebut telah menyalahi aturan-aturan, akan tetapi karena terjadinya “simbiosis mutualisme”, maka hal tersebut menjadi perbuatan yang “sah”. Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya dan serius melakukan pemberantasan pengutan liar (pungli) sampai ke akar-akarnya. Pungli telah memberi dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir disetiap institusi dan instansi tingkat pusat maupun daerah ada saja oknum nakal dan tidak bertanggung jawab yang melakukan Pungli. Menimbang kondisi demikian sangat wajar jika negara Indonesia dalam status berada diambang batas darurat Pungli.
Memberantas Pungli diberbagai instansi publik pemerintah khususnya di Kabupaten Konawe masih sangat susah, salah satu contohnya pada kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Konawe padahal instansi pemerintah tersebut yang notabene milik negara dan segala pengurusan administratifnya baik itu berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, Akte kematian, Kartu Identitas Anak, Mutasi Penduduk,dan lain sebagainya tertulis jelas GRATIS tapi pada kenyataannya dan praktek di lapangan hal tersebut jauh berbanding terbalik apabila masyarakat ingin mengurus masih saja ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melakukan Pungli yang mana tanpa adanya uang pelicin atau yg lebih dikenal di daerah kita khususnya di Kabupaten Konawe “Oti-oti” maka pengurusan surat-surat administratif masyarakat tidak akan berjalan lancar dan selesai tepat waktu jika tidak ada orang dalam instansi yang membantu masyarakat dalam proses pengurusan.
Padahal Standar Pelayanan Minimal sudah ditetapkan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang ada di kantor tersebut, di mulai dari proses pendaftaran sampai kelengkapan persyaratan berkas-berkas sudah terpenuhi tetapi masih saja ada oknum yang bermain curang memanfaatkan kebutuhan masyarakat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari kurangnya pengawasan pimpinan terhadap petugas-petugas pelayanan publik tersebut, banyaknya keluhan masyarakat tentang pungli tersebut seharusnya dijadikan evaluasi pimpinan terhadap pelayanan publik di kantornya.
Fakta-fakta seperti inilah banyak terjadi, mungkin disemua daerah, kemudian fenomena tersebut melatar-belakangi dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2016 mengenai Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), Pungli di Indonesia dirasakan seperti telah membudaya karena telah melibatkan dari semua lapisan yang tentu sangat meresahkan masyarakat dan menyulitkan masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah, dimana ketika akan berurusan disuatu lembaga pelayanan publik, masyarakat harus mempunyai uang yang lebih untuk mempercepat urusan administratifnya. Karena seringkali kita ketemukan jika masyarakat tidak mempunyai uang, urusan dan dokumennya akan lama terbitnya. Lalu jika sudah seperti ini masyarakat harus melapor kemana?.
Dengan fenomena Pungli ini yang mencoreng nama baik suatu lembaga pelayanan publik, tentu menjadi konsen kita bersama sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang menginginkan suatu pelayanan publik yang bersih dari Pungli, transparan dan menjangkau semua lapisan masyarakat. Tentunya tidak semua petugas pelayanan publik ikut dalam praktek-praktek Pungli tersebut, masih banyak dari aparatur-aparatur tersebut yang bersih.
Dengan beralihnya trend pelayanan publik menuju era digital, diharapkan praktek-praktek korupsi seperti Pungli tersebut dapat dikurangi sekecil-kecilnya, seperti yang telah diberlakukan saat ini di Institusi Polri, yaitu Tilang Elektronik, dimana tidak ada lagi oknum Petugas yang mencoba pungli tilang terhadap masyarakat, karena semua pembayaran pelanggaran dilakukan secara digital. Diharapkan inovasi seperti ini dapat juga diterapkan di lembaga-lembaga pelayanan publik yang lain, sehingga “penyakit-penyakit” sosial seperti pungli dapat hilang, minimal jumlahnya sangat sedikit. Selain faktor sistem pelayanan yang perlu dibenahi, tentu masih banyak faktor di pelayanan publik yang perlu dibenahi, misalnya saja kesejahteraan petugas pelayanan tersebut.
Mungkin saja praktek Pungli yang dilakukan seorang oknum petugas, adalah dari timbal balik kurang sejahteranya penghasilan yang diterimanya. Faktor lain, mungkin saja dari memang masih ribetnya persyaratan-persyaratan yang ada, sehingga hal tersebut juga perlu dibenahi kemudian. Untuk itu jika fenomena Pungli ini hanyalah suatu penyakit sosial, tentu kita semua bisa mencari mencegah hal itu terjadi, atau kita harus mencari obat yang tepat. Atau jika fenomena Pungli ini sudah menjadi budaya bangsa, maka pekerjaan yang tidak mudah tentunya untuk menghilangkannya, sebab budaya adalah sesuatu yang sudah mengakar kuat dan telah menjadi sesuatu yang sah di masyarakat, semoga tidak seperti itu. Wallahu a’lam Bishawab. (*)