Perang Buton versus Belanda dalam ingatan kolektif masyarakat Buton disebut dengan Zamani Kaheruna Walanda atau Zaman huru-hara Belanda. Peristiwa itu digambarkan oleh sastrawan keraton Buton, La Ode Abdul Ganiyu (Kanepulu Bula), dalam karyanya Ajonga Inda Malusa (dalam Zuhdi 1999)
Peristiwa di atas bagi Belanda adalah satu oorlog (perang), sedangkan Buton memandangnya zaman kekacauan (kaheruna) yang mengandung kesan paling traumatik dalam sejarah Buton.
Pusat pertahanan terakhir Himayatuddin adalah puncak Gunung Siontapina (kampung Wasuamba). Sejak tahun 1755, tidak lama setelah perang Buton versus Belanda, Himayatuddin tinggal menetap di Siontapina sampai akhir hayatnya tahun 1776. Menurut riwayat, pasukan Belanda berupa menyerang Himayatuddin hingga kaki gunung Siontapina, tetapi sulit untuk mencapai puncak gunung tersebut sehingga harus mengundurkan diri dan kembali ke induk pasukan di kapalnya yang berlabuh di sekitar Kampung Kamaru.
Sultan Himayatuddin dimakamkan di puncak Gunung Siontapina. Setiap tahun, penduduk Wasuamba dan sekitarnya, merayakan upacara setelah panen di kuburan dan bekas istananya.
Sultan Himayatuddin sebagaimana kalangan aristokrasi Keraton Wolio-Buton umumnya memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandaskan islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan Keraton Buton, yang mengajarkan baca-tulis Alquran, Aksara Buri-Wolio, dan beladiri. Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau.
Melalui kajian akademik dikemukakan bahwa jenazahnya dimakamkan di Kompleks Keraton Wolio, tidak jauh dari Bukit Lelemangura (tempat makam Sultan Murhum), meskipun forklor (cerita rakyat) menyebutkan kuburan Oputa Yi Koo juga terdapat di puncak Gunung Siontapina (menurut memori atau kesadaran kolektif masyarakat wasuamba dan labuandari).
Memiliki histori kepahlawanan yang cukup tinggi dan mengalahkan sejumlah tokoh pahlawan nasional lainnya di nusantara, tidak heran jika Sultan Himayatuddin Muhammad Saydi dinobatkan sebagai pahlawan nasional, melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 120/tk/2019 tanggal 7 November 2019. (ags/b)