Mengenang Kepahlawanan Oputa Yi Koo, Gubernur : Jangan Melupakan Sejarah

  • Bagikan
Gubernur Sultra, Ali Mazi (kanan) menerima penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Buton ke-XX (1750-1752) dan ke-XXIII (1760-1763) Sultan Himayatuddin Muhammad Saydi (Oputa Yi Koo) dari Presiden RI, Jokowi di Istana Negara, 8 November 2019

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November. Sejatinya, hari pahlawan menjadi momentum bagi seluruh insan untuk mengenang kembali para pejuang yang telah berkontribusi nyata bagi negara.

Di Sultra, Sultan Himayatuddin Muhammad Saydi (Oputa Yi Koo) menjadi sosok teladan bagi seluruh masyarakat. Perjuangannya melawan Belanda baik secara terang-terangan hingga meninggalkan singgasana untuk bergerilya di hutan menjadi gambaran gigihnya perjuangan Oputa Yi Koo dalam menentang penjajahan.

Pada momentum Hari Pahlawan ini, Gubernur Ali Mazi berharap, spirit kepahlawanan dan model kepemimpinan Oputa Yi Koo dapat menginspirasi generasi saat ini dan menjadi panutan pemimpin Sultra di masa mendatang. "Melalui Hari Pahlawan Nasional 10 November 2022 ini, saya mengajak kepada seluruh masyarakat Sultra, jangan melupakan sejarah," kata Gubernur Ali Mazi, Rabu (9/11), kemarin.

Salah satu sarananya adalah selalu mengenang kembali perjuangan Oputa Yi Koo dalam melawan penjajahan Belanda. Menurut Gubernur Ali Mazi, banyak kandungan nilai, makna filosofi, cerita, dan peristiwa sejarah yang bisa ditelusuri, diteliti, dan dimaknai dari perjalanan sang pahlawan, Oputa Yi Koo.

"Keberaniannya melawan segala bentuk penindasan dan pengkhianatan, memicu optimisme dan semangat patriotisme para pengikutnya. Dua kali menjabat Sultan, memberi pertanda betapa demokratisnya sistem pemerintahan kita di masa lalu," ungkap Gubernur Ali Mazi.

Gubernur Ali Mazi mengungkapkan, perjuangan Oputa Yi Koo dalam menentang penjajahan hampir serupa dengan perjalanannya menjabat gubernur. Sang pahlawan nasional, Oputa Yi Koo sangat gigih melawan Belanda. Ia bahkan rela meninggalkan singgasana menuju hutan belantara dan mengorbankan dirinya demi harkat dan martabat masyarakat Buton, Sultra, dan bangsa Indonesia.

"Pahlawan Oputa Yi Koo bukan hanya milik Kesultanan Buton semata, tetapi menjadi kebanggaan masyarakat Sultra, negara, dan bangsa Indonesia," ungkap Gubernur Ali Mazi.

Gubernur Sultra dua periode itu mengimbau Dinas Dikbud Sultra, khususnya para pelajar untuk menciptakan berbagai bentuk program dalam memperkenalkan sosok ketokohannya, serta menyebar luaskan spirit kepahlawanan Oputa Yi Koo.

Terpisah, Penjabat (Pj) Sekda Sultra, Asrun Lio mengatakan, hari pahlawan ini momentum bagi masyarakat Sultra mengenang perjuangan Sultan Himayatuddin Muhammad Saydi.

Kepala Dinas Dikbud Sultra itu terus mengganggungkan kepahlawanan Oputa Yi Koo kepada seluruh masyarakat terutama generasi muda agar bisa mengenali dan mengetahui sosok pahlawan negara. Terlebih penobatan Oputa Yi Koo sebagai pahlawan nasional butuh proses, waktu panjang dan energi yang cukup besar.

"Saya mengapresiasi segala upaya tokoh-tokoh dan berbagai pihak yang turut serta berkontribusi mewujudkan gelar pahlawan nasional Oputa Yi Koo," ujar Asrun Lio.

Asrun Lio mengaku telah mendesain berbagai program strategis penanaman dan pewarisan nilai spirit, perjuangan, dan kepemimpinan Oputa Yi Koo kepada generasi muda. "Utamanya program sosialisasi yang masif di sekolah-sekolah, serta upaya memasukan sejarah Sultan Himayatudin Muhammad Saydi sebagai salah satu materi muatan lokal dan pelajaran sejarah," ungkapnya.

Pj.Sekda Asrun Lio mengimbau guru-guru dan pelajar untuk menulis karya dalam bentuk apapun mengenai stori dan histori semangat heroisme Oputa Yi Koo. "Saya berharap peran dan kerja sama para seniman, wartawan, akademisi, perguruan tinggi untuk menyebarluarkan sosok figur dan kepahlawannya," tutur Asrun Lio.

--Sekilas Perjuangan Oputa Yi Koo Menentang Penjajahan Belanda--

La Karambau Sultan Himayatuddin adalah satu-satunya Sultan Buton yang konsisten melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Kompeni-Belanda hingga akhir hayatnya selama 24 tahun (1752-1776).

Dia bergerilya lama di hutan selama masa perjuangannya dan akhirnya meninggal di puncak Gunung Siontapina, sehingga dikenal dengan sebutan sebagai Oputa Yi Koo. Sebelum masa pemerintahan Himayatuddin, Kesultanan Buton dianggap sebagai sekutu Belanda karena perjanjian “abadi” yang dibuat oleh para penguasa sebelumnya.

Pertama, La Elangi Sultan Dayanu Ikhsanuddin (sultan ke-4: 1613-1633) dengan Kapten Appolonius Scotte atas nama Gubernur Jenderal Kompeni (VOC) pada 5 Januari 1613. Kedua, La Simbata Sultan Adilil Rakhim (sultan ke-10: 1664-1669) dengan Cornelis Speelman pada 25 Juni 1667.

Dalam perjanjian pertama, kedua belah pihak beserta sekutu-sekutunya bersama-sama untuk tetap bersahabat dan selalu menjaga persahabatan serta memberi bantuan dan pertolongan untuk melawan musuh dari mana pun.

Pada perjanjian kedua, Buton harus memusnahkan seluruh rempah (cengkih dan pala) di wilayah Kesultanan Buton, dengan ganti rugi 100 rijksdaalders setiap tahun kepada Buton. Setiap membuat persahabatan dengan pihak luar dan urusan penggantian Sultan Buton harus disetujui Belanda dan Raja Ternate. Ketentuan yang terakhir membuat Kesultanan Buton menjadi kedaulatan “semu”.

Sultan Himayatuddin dengan tegas tidak mau terikat dan patuh dengan semua perjanjian yang dibuat oleh pendahulunya, karena tidak menguntungkan pihak Buton. Sikap itu menyulut api permusuhan Kompeni-Belanda terhadap Buton.

Perlawanan terakhir dalam benteng keraton dipimpin oleh Himayatuddin. Namun setelah terdesak, dia juga mengambil keputusan mengundurkan diri bersama dengan keluarganya menyusul sultan ke Kaisabu, dan dari sana terus ke Siontapina melalui Galampa.

  • Bagikan