Merawat Kebhinekaan Kota Kendari

  • Bagikan
Sitya Giona Nur Alam, Ketua DPW Garnita Malahayati NasDem Sultra


Oleh : Sitya Giona Nur Alam (Ketua Garda Wanita Malahayati NasDem Sultra)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Dari Sabang sampai Merauke. Empat perkataan ini bukanlah sekadar satu rangkaian kata ilmu bumi. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar menggambarkan satu geographisch begrip. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar satu geographical entity.

Ia adalah merupakan satu kesatuan kebangsaan. Ia adalah satu national entity. Ia adalah pula satu kesatuan kenegaraan, satu stateentity yang bulat-kuat. Ia adalah satu kesatuan tekad, satu kesatuan ideologis, satu ideological entity yang amat dinamis. Ia adalah satu kesatuan cita-cita sosial yang hidup laksana api unggun, satu entity of social-consciousness like a burning fire. Dan sebagai yang sudah saya katakan dalam pidato-pidato saya yang lalu, social consciousness kita ini adalah bagian daripada social consciousness of man. Revolusi Indonesia adalah kataku tempo hari congruent dengan the social conscience of man!” – Soekarno, 17 Agustus 1963.

Pidato Bung Karno yang diberi judul Genta Suara Republik Indonesia itu memberi pengertian tegas apa arti Ber-Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Beliau menegaskan bahwa Revolusi Indonesia bukanlah soal perkara menuntut sandang, pangan, dan papan saja. Tetapi menuntut perlakuan yang sama sebagai manusia, perlakukan yang sama antara warga negara di seluruh Nusantara. Pidato ini ditujukan oleh Si Bung untuk seluruh masyarakat Indonesia, tak terkecuali Kendari.

Kendari sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, saat ini sudah menjelma menjadi salah satu kota modern dan maju di kawasan Indonesia Timur. Dengan status itu, Kendari menawarkan sejumlah impian yang sangat menggiurkan sehingga kerap menjadi tujuan orang-orang dari daerah lain untuk mengais rejeki atau memperbaiki kehidupan mereka. Banyak perantauan yang tadinya tidak memiliki apa-apa saat tiba di Kendari, berhasil menjadi orang sukses dari sisi materi. Daya tarik tersebut membuat orang-orang lain tertarik datang ke Kendari untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal.

Seiring dengan berjalannya waktu, akulturasi budayapun terjadi. Kendari tidak hanya dihuni oleh masyarakat Suku Tolaki saja. Kendari juga menjadi “rumah” bagi orang-orang Mekongga, Buton, Muna, dan Wakatobi yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Ada pula pendatang dari Bali, Jawa, Makassar, Bugis, Manado, Banjar, Dayak, Toraja, Batak, Papua, Maluku, NTT, NTB dan hampir seluruh Nusantara lainnya yang memiliki latar belakang budaya dan agama berbeda.

Jumlahnya setiap tahun terus bertambah. Kehadiran berbagai macam suku, agama dan ras tersebut tentu saja bisa menjadi “bom waktu” jika pemimpin Kendari di masa mendatang tidak pandai memanajerial, mengelola dan peka terhadap keberagaman itu. Tapi keberagaman itu akan menjadi “senjata dan kekuatan” dalam pembangunan Kota Kendari jika bisa dikelola dengan baik.

Data Kementerian Agama Kota Kendari yang saya nukil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kendari, pemeluk agama di Kendari tahun 2019 berjumlah 318.771 (Islam), 12.699 (Kristen), 7.419 (Katolik), 2.276 (Hindu) dan 993 (Budha). Berdasar laman BPS Kota Kendari, data tersebut terakhir update pada 20 Mei 2020 lalu. Setiap tahun Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari menggelar acara Kirab Budaya pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia di Bulan Agustus. Kirab budaya mewujudkan bentuk simbol kerukunan dan keragaman etnis yang ada di Kendari serta Sulawesi Tenggara. Inilah cara warga Kendari menghargai perbedaan dan mewujudkan perbedaan itu dalam sebuah apresiasi seni budaya.

Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada gesekan antaretnis di Kendari maupun Sulawesi Tenggara. Selama puluhan tahun masyarakat hidup membaur tanpa melihat sekat agama maupun suku. Bahkan banyak terjadi perkawinan silang antara suku yang satu dengan suku yang lain. Saya bisa menyebut salah satu contohnya adalah komika La Ode Raimudin alias Raim Laode. Artis asal Wakatobi ini melamar Komang Ade, gadis keturunan Bali yang tinggal di Konawe Selatan.

Akhir Agustus lalu, saya berkesempatan menghadiri acara Pagelaran Budaya Wanse-Wakatobi yang digelar di Kendari. Ada pertunjukan tari dari Wakatobi, sajian makanan khas Wakatobi, dan juga kerajinan asal Wakatobi yang dipamerkan kepada para pengunjung. Saya terpesona. Saya sangat menikmati. Saya ikut larut dalam suasana kekeluargaan luar biasa yang diperlihatkan saudara-saudara kita dari Wakatobi yang sudah berdomisili di Kendari.

Sebagai orang Tolaki, saya pun masih bisa berbangga diri. Sering kesenian dan tarian Suku Tolaki ditampilkan di acara-acara resmi di Kendari ini. Generasi Kendari era now masih bisa menikmati adat istiadat dan budaya Tolaki.

Saya sangat sepakat agar kita semua sanggup merawat kebhinnekaan di Kendari yang sama-sama kita cintai ini. Sebagaimana semboyan yang berada di pita burung garuda, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Banyak cara untuk merawat kebhinnekaan ini. Bisa melalui menjaga kerukunan umat beragama dan saling menjaga toleransi antarsesama, bergotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan sebagainya.

Kita semua pasti sependapat. Hidup ini akan terasa lebih indah jika seluruh elemen masyarakat senantiasa merajut hubungan persatuan dan kesatuan. Toleransi antarumat beragama dan kebhinnekaan telah menjadi ikon di Kendari. Kawasan Kota Lama Kendari menjadi saksi bagaimana masjid dan gereja berdiri berdampingan yang hanya dipisahkan oleh dinding. Bangunan yang melambangkan toleransi antarumat beragama ini terdapat di Kelurahan Kandai. Selain itu banyaknya suku yang hidup berdampingan dengan rukun dan damai membuat Kendari layak disebut sebagai miniatur Indonesia.

Perbedaan agama dan budaya tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Perspektif demikian menempatkan agama dalam fungsinya sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya. –K.H. Abdurrahman Wahid.

Fenomena-fenomena itu melambangkan betapa saktinya Pancasila yang tak akan runtuh dan lekang oleh banyaknya perbedaan di antara banyaknya suku, agama, ras dan golongan di Indonesia. Justru kebhinnekaan itu menjadi perekat dan penguat rasa “keindonesiaan” kita. Selamat Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila Sakti, Pancasila Abadi! (*)

  • Bagikan