KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Salah satu oknum anggota Kepolisian Resort Kota (Polresta) Kendari berinisial S dilaporkan pada Rabu 21 September 2022, dengan dugaan merekayasa kasus atau membuat laporan palsu.
Oknum anggota Kepolisian berinisial S itu di laporkan oleh SW yang tak lain mantan isterinya sendiri, atas dasar merekayasa kasus, membuat laporan palsu, dan sumpah palsu.
Kuasa hukum (SW), Suhandri, mengungkapkan Laporannya telah diterima oleh pihak Polresta Kendari dalam bentuk tanda terima berkas. Pada kamis (22/9) kemarin sudah dilakukan berita acara pemeriksaan (BAP).
"Kami akan terus menunggu pengusutan kasus ini oleh Polresta Kendari hingga dapat memberikan keadilan kepada klien kami. Dasar laporan kami, yakni oknum pejabat Polres Kendari AKP S telah merekayasa cerita di kepolisian bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh klien kami. S menuduh klien kami telah menikamnya di bagian perut dan disempurnakan dengan hasil visum RS Bhayangkara. Namun, semua kebohongan S itu terbongkar saat proses di persidangan. Bahwa tidak pernah ada tindakan penikaman yang dilakukan oleh klien kami kepada S. Sehingga klien kami langsung diputus bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Kendari atas tuduhan itu dan kemudian diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sehingga telah berkekuatan hukum tetap," bebernya.
Perihal atas kasus tersebut, Penasehat Hukum dari terlapor membantah laporan tersebut, sebab pelapor di anggap memfitnah dan tidak berdasarkan fakta hukum yang ada.
Penasehat Hukum (S), Sukdar, S.H. mengungkapkan, Perlu ditegaskan itu bukan rekayasa kasus. Peristiwa hukumnya ada, tentang waktu terjadinya peristiwa pidana jelas, ada pelaku dan ada korban, serta semua saksi-saksi. Juga terdakwa telah mengakui dan memberi penjelasan bahwa ada peristiwa hukum pada Selasa 6 Februari 2018, yaitu antara terlapor dan pelapor SW.
"Ada pertengkaran yang turut melibatkan ibu kandung dari SW. Jadi sesuatu hal yang aneh dan membingungkan jika pelapor dan kuasa hukumnya menganggap bahwa ada rekayasa kasus yang dilakukan oleh klien kami," ujarnya.
Rekayasa kasus dilakukan jikalau misal, peristiwa kasusnya tidak ada, pelakunya tidak ada, dan korbannya pun tidak ada.
Dalam peristiwa 6 Februari dimaksud itu nyata adanya dan telah diuji oleh proses peradilan yang sah sebagaimana dalam putusan PN Kendari Nomor 26/Pid.Sus/2019/PN.KDI.
Terungkap fakta-fakta peristiwa yang benar-benar terjadi, soal tidak terbuktinya dalam persidangan, bukan berarti parameternya dianggap merekayasa kasus melainkan adalah penilaian lain oleh hakim yang mengadili dan memberi pertimbangan dalam putusan yang sesuai dengan kualitas perbuatan yang dilakukan SW.
"Jadi tolonglah dengan sangat agar pelapor (SW) ini dan kuasanya membaca baik-baik isi dari keseluruhan putusan Pengadilan dimaksud. Jadi membingungkan kalau SW dan kuasanya menudu klien kami melakukan rekayasa kasus, sebab dari awal kejadian peristiwa pada 6 Februari itu, SW dan ibu kandungnya berada dilokasi kejadian sebagaimana keterangan dan pengakuan pelapor (SW) dalam putusan pengadilan, jadi real peristiwa itu ada bukan rekayasa kasus sebagaimana dituduhkan," ungkap Sukdar.
"Soal tuduhan memberikan keterangan palsu dipersidangan dan/atau (sumpah palsu) yang dialamatkan pada klien kami, itu adalah fitnah yang keji sebab dalam pertimbangan dan kesimpulan hakim memang benar klien kami mengalami penganiyaan dengan adanya luka gores pada peristiwa Tanggal 6 Februari 2018," lanjutnya.
Namun kekurangannya dalam pembuktian tersebut tidak ada yang melihat siapa yang melukai karena pada saat kejadian hanya ada SW dan S yang saat itu masih berstatus suami isteri, sehingga pertimbangan majelis hakim dalam putusannya menganggap tidak terpenuhi perbuatan dari terdakwa dan membebaskan terdakwa dari dakwaan Penuntut umum dengan menggunakan 1 alasan pertimbangan yaitu tidak ada yang melihat langsung.
Kemudian Visum Et Repertum yang dianggap direkayasa oleh SW. Sukdar membantah, sebab bukti visum tersebut benar adanya dan bukan rekayasa
"Tentang bebasnya SW atas dakwaan penuntut umum bukan karena Visum Et Repertum direkayasa melainkan dalam peristiwa penikaman kepada klien kami tidak ada saksi yang melihat langsung, maka dari itu atas pernyataan dari pelapor dan kuasanya menyebut hasil Visum adalah direkayasa atau palsu adalah terkesan melucu, mengada-ada dan menggantikan pekerjaan pelawak," ujar penasehat hukum terlapor (S).
Informasi dalam pemberitaan media bahwa peristiwa yang dilakukan oleh terlapor bermula pada saat klien kami masih bertugas di Polda Sultra sebagai ajudan Kapolda, adalah keliru dan mengada-ada.
Faktanya terlapor tidak pernah menjadi ajudan Kapolda Sultra dan terlapor (S) pada peristiwa 6 Februari 2018 sudah berada dan bertugas di Polres Kendari.
"Kemudian tidak ada hubunganya antara pangkat dan jabatan klien kami sebagai Perwira Polisi dan kedudukan dia sebagai pejabat. Dengan seluruh proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dengan peristiwa yang terjadi pada 6 Februari 2018, sebagai seorang warga negara klien kami mempunyai hak-hak konstitusional yang dilindungi secara hukum, baik sebagai pelapor ataupun terlapor, adalah kedudukannya sebagai warga negara yaitu sama, memiliki kesadaran hukum dan taat terhadap hukum," tegasnya.
Sebagaimana untuk diketahui bahwa terlapor (S) saat ini sedang tidak berada di Kota Kendari, melainkan sedang menjelani pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama (SESPIMMA). Adanya pemberitaan dan laporan tersebut telah diketahui oleh terlapor dan benar-benar telah merasa dirugikan baik pribadinya maupun institusi, sebab beliau adalah salah satu pejabat di Polresta Kendari.(abd)