Oleh: Hj. Arniaty DK, S.P., M.Si
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Pendidikan sangat berperan besar dalam konstruksi mental anak-anak bangsa. Untuk melihat wajah suatu bangsa itu baik, maka lihatlah pendidikannya. Namun apa jadinya, kalau pendidikan kita diisi dengan tindak laku kekerasan, bullying, dan perundungan yang datang baik dari guru pada murid ataupun dilakukan oleh murid yang satu pada murid lainnya bahkan terjadi antar sekolah.
Berbagai kasus kekerasan baik fisik maupun psikis silih berganti terjadi, terjadi dalam ruang dan waktu dengan spectrum yang luas, semua wilayah di Indonesia. Kota Kendari pun demikian, masih sering ditemukan laku kekerasan baik saat jam sekolah ataupun di luar jam sekolah.
Celakanya, penanganan kekerasan di sekolah tidak pernah diselesaikan secara tuntas, sanksi tegas harus dijatuhkan misalnya pemberhentian bahkan proses hukum untuk memberi efek jera dan memberi pelajaran bagi anak-anak lain untuk tidak melakukan hal yang sama dihari esok.
Sebagai contoh, tindakan pemukulan oleh siswa pada siswa lain yang asal sekolahnya berbeda tidak diberi sanksi tegas oleh sekolahnya dengan dalih bahwa saat siswa itu melakukan pemukulan tidak memakai seragam sekolah.
Seraya, sekolah terus berbenah, pemerintah utamanya yang terkait langsung dalam hal ini Kemendikbud beserta pemerintah daerah wajib memikirkan program dan atau cara pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah.
Cara pandang pihak sekolah bahwa jika terjadi kekerasan di luar jam sekolah atau tanmpa menggunakan seragam sekolah bukan menjadi tanggungjawabnya saya rasa itu kurang tepat. Apalagi terjadi di jam sekolah lalu sekolah lepas tangan jelas sebuah kesalahan berpikir. Semua alasan itu tidak menggugurkan tanggungjawab sekolah karena selama anak itu terdaftar sebagai siswa aktif maka menjadi tanggungjawa sekolah juga.
Sekolah harus tetap mengambil peran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 54 menyebutkan bahea anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lain.
Oleh karena itu, dalam rangka perbaikan, para stakeholder terkait penting memperhatikan beberapa hal. Pertama, harus ada keberpihakan sekolah dalam mendukung perlindungan anak dari kekerasan. Disini peran guru BK menjadi urgent.
Kedua, keberpihakan hukum bagi korban kekerasan, bullying dan perundungan, pihak sekolah harusnya melindungi anak korban dan menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan. Ketiga, organisasi perempuan dan anak segera melakukan pendampingan bagi korban dan edukasi serta pembinaan pada pelaku yang juga masih pelajar.
Keempat, Kemendikbudristek dan Dinas terkait perlu duduk bersama untuk mengevaluasi pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Anak di satuan pendidikan. Mungkin Satuan Tugas (Satgas) Anti Kekerasan di setiap jenjang wajib pendidikan 12 tahun perlu dibentuk.
Kelima, perbanyak ruang perjumpaan. Ini menjadi ruang proses pendewasaan diri siswa. Perjumpaan siswa dengan beragam kelompok akan menjadikan mereka luwes dalam bergaul, mengurangi kecirugaan bahkan memperkaya cara pandang siswa karena mereka datang dari berbagai latar agama, kelas sosial bahkan budaya yang berbebeda. (*)