Memberdayakan “Tol Laut” di Konawe Selatan

  • Bagikan
H.M. Radhan Algindo Nur Alam

Oleh: H.M. Radhan Algindo Nur Alam
Penulis adalah Ketua MPC Pemuda Pancasila Konawe Selatan

Ada kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur sehingga menyebabkan harga yang beda antara di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Tol laut bukan berbentuk jalan, tetapi kapal besar yang berkeliling dari pelabuhan ke pelabuhan. Dengan adanya tol laut, harga komoditas di masing-masing pulau akan sama atau minimal disparitas harga tidak akan terlalu terpaut jauh” – Joko Widodo, Jakarta, 21 Mei 2014.

Gagasan Presiden Joko Widodo mengenai tol laut kala itu ditertawakan banyak kalangan. “Mimpi” tersebut dianggap mudah dipikirkan tetapi sulit untuk diwujudkan di lapangan. Berselang sewindu kemudian, tepatnya di saat Jokowi memasuki jabatan keduanya sebagai presiden justru banyak pihak menganggap tol laut berdampak positif bagi masyarakat.

Pengalaman Jokowi mengagas dan mewujudkan tol laut memiliki kemiripan kisah dengan ayah saya, Nur Alam, saat menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara. Ketika ingin membangun Jembatan Bahteramas di atas Teluk Kendari, dianggap berbagai kalangan sebagai kerjaan yang “mustahil” dan hanyalah “mimpi”. Berbagai cercaan dan rasa skeptis kerap dilontarkan pihak-pihak yang tidak sepakat dengan pembangunan jembatan tersebut.

Nur Alam berhasil meyakinkan Presiden Jokowi bahwa Jembatan Bahteramas sangat berdampak positif bagi pengembangan ekonomi kawasan. Pihak pusat “digedor” tiada henti oleh Nur Alam agar peduli dengan pembangunan jembatan yang kini menjadi ikon Kota Kendari dan Sultra. Alhamdulillah, perjuangan mewujudkan pembangunan Jembatan Bahteramas akhirnya bisa kita nikmati sampai sekarang.

Masih dalam kaitannya “mimpi”, saya tergelitik untuk memberdayakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Sebab jika dihela dengan maksimal dan optimal, saya begitu yakin akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan peningkatan pendapatan daerah.

Hingga “umur” Kabupaten Konawe Selatan menginjak dua dekade, kondisi pelabuhan-pelabuhan yang ada masih belum maksimal bahkan dibiarkan merana. Dalam amatan saya, pelabuhan Matabubuh di Kecamatan Lainea yang menjadi akses penyeberangan ke Tampo, Kabupaten Muna kondisinya sangat memprihatinkan.

Matabubuh tidak memiliki dermaga dan jembatan penghubung dari terminal penumpang ke perahu. Yang ada hanyalah jembatan kayu yang telah keropos dan rusak sehingga menyulitkan calon penumpang yang akan naik ke perahu.

Padahal Matabubuh dipilih pengguna jasa angkutan karena jaraknya dari Lainea ke Tampo yang relatif dekat dan menjadi alternatif ketika jadwal feri dari Torobulu dan Amolenggo tidak terkejar atau tertinggal. Matabubuh menjadi pilihan pemudik di jelang Idul Fitri karena alasan praktis dari sisi waktu tempuh dan tarif terjangkau. Jika kita memiliki keberpihakkan kepada kemajuan daerah maka Matabubuh harus menjadi pelabuhan modern yang mengedepankan keselamatan pelayaran.

Pengembangan Matabubuh harusnya dilihat sebagai alternatif lain dari pengembangan pelabuhan-pelabuhan lain untuk “menghidupkan” pengembangan ekonomi di sentra Lainea timur.

Revitalisasi Segitiga Lapuko-Morosi-Makassar

Tidak kalah pentingnya lagi, revitalisasi segitiga pelayaran Lapuko-Morosi- Makassar yang bisa menambah daya ungkit ekonomi di kawasan Konawe Selatan. Peningkatan frekuensi pelayaran transportasi logistik yang berasal dari Makassar dan Morosi harus dimanfaatkan untuk membawa hasil produk pertanian Konawe Selatan untuk pasar Sulawesi Selatan.

Tidak saja hasil-hasil pertambangan Konawe Selatan saja yang dibawa keluar tetapi juga hasil jagung, merica dan padi serta ternak yang bisa dikirim dari Konawe Selatan agar warga mendapat peningkatan pendapatan dari hasil pemasaran produk panen.

Alternatif pengangkutan hasil panen melalui “tol laut” Lapuko-Morosi-Makassar menjadi pilihan ketika transportasi darat masih menemui kendala rusaknya infrastruktur dan menghemat pengeluaran dari sisi bahan bakar. Fokus utama revitalisasi Lapuko tidak terlepas dari peningkatan pendapatan warga dan menambah pemasukan daerah. Dan yang lebih penting adalah pengembangan sentra ekonomi Lapuko di Kecamatan Moramo.

Di tengah ancaman hama penyakit hewan karantina (HPHK) dan organisme pengganggu tumbuhan karantina, keberadaan pengawasan pintu masuk Pelabuhan Lapuko harus terus dioptimalkan. Tentu kita tidak ingin para petani dan peternak di Konawe Selatan mengalami kerugian karena lemahnya pengawasan di pelabuhan Lapuko.

Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pernah menetapkan kawasan strategis Tinanggea sebagai Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan ekonomi berupa kawasan minapolitan.

Selain itu, dalam Sistem Pusat Kegiatan Kabupaten, Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN) Kolonedale berada pada Pusat Pelayanan Kawasan (PKK) Tinanggea.

Dalam PKK Tinanggea ini, ada tiga pelabuhan pelayaran rakyat masing-masing Ngapaha, Bungun Permai dan Wadongo yang bisa mendukung pemasaran komoditas pertanian tanaman pangan , perkebunan, perikanan dan peternakan.

Dari Tinanggea, produksi padi sawah hasil panen tahunan mencapai 879 ton. Belum lagi kelapa yang menjadi unggulan untuk pekerbunan dengan produksi 1600 ton pertahun.

Sementara komoditas unggulan untuk perikanan adalah ikan bandeng dan udang dengan jumlah produksi panen tahunan mencapai 8800 ton. Sedangkan ternak sapi bisa mencapai 4.138 ton.

Harus menjadi “mindset” kita bersama, produk-produk unggulan ini harus terserap oleh pasar dan tidak bisa dibiarkan harga “jatuh” karena kendala transportasi.

Belum lagi jika kita bicara pengembangan pariwisata di KPPN Tinanggea dengan semakin berdayanya pelayaran layar dan revitalisasi pelabuhan-pelabuhan yang ada.

Ekowisata Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Wisata Kampung Air Suku Bajo. Daya pikat Ekowisata Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai berupa lansekap , flora fauna serta aktivitas sosial budaya seperti Hutan Pendidikan Tatangge, Rawa Aopa, Muara Mangrove Lanowulu, Savana Lanowulu dan Hutan Pendidikan Mandu – Mandula memang pantas mendapat kunjunga wisatawan.

Sedangkan Wisata Kampung Air Suku Bajo merupakan kampung pemukiman yang berdiri di atas laut dan mayoritas dihunioleh Suku Bajo

Transportasi laut tidak saja memberi membuka akses kemudahan bagi warga untuk saling terhubung tetapi juga harus menjadi solusi untuk mengatasi pemasaran dari surplus produksi ketika panen dan menambah nilai jual bagi petani dan peternak serta nelayan.

Konawe Selatan itu kaya dan makmur jika kita kelola dengan “benar” dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Pengembangan sentra-sentra ekonomi “baru” di kawasan-kawasan pelabuhan yang ada di Konawe Selatan jika disinergikan akan menjadi penghela ekonomi, tidak saja untuk warga tetapi juga bagi Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan.

“Saat ini tantangan ke depan akan semakin berat, banyak pembangunan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu diperlukan kerja keras dan sungguh-sungguh” – Nur Alam, Kendari, 4 Januari 2017.

Saya begitu memahami “kerisauan” ayah saya terhadap Sulawesi Tenggara dan layak kerisauan itu menjadi tantangan untuk diperjuangkan di Konawe Selatan. (***)

  • Bagikan