Senja Kala Keadilan Negeri Kita, Oleh: H. Nur Alam, S.E., M. Si

  • Bagikan


Oleh: H. Nur Alam, S.E., M. Si (Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Menjelang pesta demokrasi 2024 suhu politik di tanah air kian memanas. Nyaris tiada hari tanpa perbincangan soal politik, tanpa melakukan kegiatan politik. Bisa dikatakan, tahun 2022 ini gegap gempita perpolitikan di tanah air sudah sangat terasa.

Berpolitik memang sangat penting. Politik juga nyaris tak dapat dipisahkan dari kehidupan semua orang. Tapi yang penting, berpolitik harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar, dan untuk tujuan yang benar pula. Jangan berpolitik dengan cara yang tidak benar, apalagi menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya.

Pada Pilkada 2024 nanti yang akan bertarung pasti tak hanya wajah-wajah baru. Pejabat yang masih menjabat (incumbent) pun pasti banyak yang ikut maju. Berbagai cara dilakukan untuk sosialisasi dan pencitraan diri para calon, baik secara terang-terangan maupun terselubung.

Ada yang memasang banner di sudut-sudut kota. Pasang iklan lewat media massa, aktif di media sosial, dan sibuk membentuk tim sukses. Para incumbent cara pencitraannya berbeda. Biasanya melalui kinerjanya-ucapan dan tindakannya diorientasikan untuk mendapat simpati rakyat.

Saya tak hendak mengkritisi lebih jauh soal itu. Justru saya hendak mengingatkan, siapapun yang akan maju dalam pilkada nanti agar mulai berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Dan harus waspada, karena proses politik di daerah kerap ditunggangi oleh para aparat hukum. Terutama kepada para kepala daerah yang hendak mencalonkan diri.

Mereka hendaknya ekstra waspada dan mawas diri terhadap tindakan maupun kinerja dan track record-nya. Warning ini berlaku untuk siapa saja, baik mereka yang idealis dan lurus maupun yang memang berani “nyerempet” bahaya alias berani melanggar aturan. Karena, aparat hukum bisa datang tiba-tiba, dan bertindak semaunya — orang yang benar bisa dibuat salah, dan terlebih lagi bagi orang yang sudah dicurigai punya salah.

Sejatinya, hanya kita sendiri yang tahu siapa diri kita sesungguhnya. Apakah dalam melaksanakan tugas betul-betul lurus mengabdi untuk kepentingan masyarakat, atau demi mengejar ambisi, kedudukan, dan materi.

Bagi saya pribadi, pengalaman membuktikan, bahwa seorang kepala daerah bisa tiba-tiba diperkarakan dan dihentikan langkahnya, baik oleh rekan kerja maupun oleh aparat hukum. Dan itu bisa bisa menimpa siapa saja. Tidak mesti orang yang punya raport merah, karena tuduhan dan pasalnya bisa diatur dan direkayasa sedemikian rupa.

Ketika sudah ada intervensi dari aparat hukum dan lembaga penegak hukum, satu kesalahan kecil saja bisa dijadikan celah untuk menghentikan langkah seorang pejabat politik maupun kepala daerah yang sedang memerintah.

Bahkan, di era media sosial (medsos) yang sangat terbuka sekarang ini, masyarakat awam pun bisa “diperalat” oleh pihak tertentu untuk “bersuara” dan memperkarakan seseorang. Meski tuduhannya belum tentu benar dan terbukti. Terkadang seseorang sudah divonis bersalah — bahkan ketika perkaranya belum lagi naik ke pengadilan. Cukup banyak contoh kasus-kasus mengemuka yang bermula dari kekesalan subyektif, yang di-upload ke media sosial, kemudian memunculkan kontra dan akhirnya berujung pada ranah hukum.

Wajah Suram Dunia Peradilan

Corak penyelenggaraan negara kita sekarang ini semakin memprihatinkan. Aparat hukumnya sangat absolut, dominan, dan menguasai berbagai lini, termasuk mengatur kelangsungan karier seorang pejabat daerah dan pejabat negara lainnya.

Ambil saja contoh kasus besar yang sedang terjadi saat ini, yang membuat babak belur image Kepolisian kita. Tersebutlah seorang oknum bintang dua polisi yang memerintahkan anak buahnya menembak dan membunuh anak buahnya yang lain, sebelum akhirnya dia menghabisinya dengan tangannya sendiri. Lalu dia mengarang cerita sedemikian rupa, bahwa pembunuhan terjadi akibat tembak menembak antaranak buahnya. Korban yang meninggal dituduh telah melecehkan istrinya, yang dalam bahasanya, almarhum telah melukai harga dirinya sebagai suami dan perwira.

Banyaknya jumlah oknum pejabat polisi (lebih dari 60 orang yang diperiksa) yang diduga ikut membantu. Mau tak mau membuat opini publik tergiring dan akhirnya masyarakat memberi penilaian sangat buruk terhadap kinerja kepolisian kita. Apalagi fakta-fakta yang mencuat terkait kasusnya, membuat terang benderang, bahwa negeri ini banyak dikuasai oleh sutradara dan penulis skenario (kejahatan) demi kepentingan kelompok dan materi. Dan tragisnya, sutradara dan penulis skenarionya adalah para oknum yang mestinya mengayomi masyarakat.

Bicara mengenai keadilan sekarang ini, bisa dikatakan masyarakat sudah apatis, dan tidak lagi menjadikan pengadilan sebagai sarana utama untuk menegakkan keadilan. Wajah suram dunia peradilan bisa dilihat kasat mata lewat moralitas oknum aparat penegak hukum.

Korupsi terjadi di dalam pengadilan itu sendiri (judicial corruption). Hal itu bisa dilihat dari banyaknya putusan-putusan kontroversial yang dikeluarkan oleh pengadilan, yang tidak memenuhi rasa adil. Sebut saja kasus Djoko Tjandra yang terbukti menyuap Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo dalam kasus penghapusan red notice, dan terbukti pula menyuap Pinangki Sirna Malasari (Jaksa di Kejaksaan Agung, soal upaya permohonan fatwa MA), hanya dihukum 3,5 tahun penjara.

Bahkan, vonis Jaksa Pinangki dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun oleh Pengadilan Tinggi DKI. Hal itu membuktikan bahwa, keberadaan pengadilan tidak independen, tidak imparsial, dan banyak mendapat intervensi dari pihak luar.

Selain dua nama tersebut, masih banyak lagi daftar koruptor yang mendapat potongan hukuman dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Fakta tersebut tentu saja semakin memperburuk citra pengadilan di mata masyarakat.

Banyak sekali kasus pelanggaran hukum yang justru menyeret para oknum aparat penegak hukum, baik polisi maupun jaksa dan hakim. Dari banyaknya kasus yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, menunjukkan bahwa mafia peradilan masih eksis di Indonesia. Kasus-kasus yang menyeret para oknum penegak hukum adalah bukti nyata adanya praktik mafia peradilan di negeri ini.

Pertanyaannya adalah, mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa oknum aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru melanggar hukum? Dimana tanggung jawab moral mereka yang mengawali tugasnya dengan mengucap sumpah di bawah kitab suci itu? Ada segudang jawaban atas sejumlah pertanyaan tersebut.

Tapi satu hal yang pasti, adalah karena faktor lemahnya moralitas dan integritas dari para oknum aparat penegak hukum. Mereka abai pada kode etik profesi yang mestinya jadi pedoman dalam menjalankan tugas. Sehingga, lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng akhir dalam menegakkan keadilan, malah menjadi tempat transaksi jual beli (pasar gelap).

Memang tidak semua aparat penegak hukum berperilaku buruk. Pasti masih banyak juga yang lurus dalam menjalankan tugas, dan mampu menegakkan hukum seadil-adilnya. Hanya saja, akibat banyaknya kasus-kasus penyimpangan yang terjadi dan ditambah lagi dengan kasus besar yang sedang terjadi di lingkup internal Polri saat ini, membuat wibawa lembaga peradilan betul-betul ternoda. Makanya, jangan salahkan masyarakat yang lantas berspekulasi bahwa sesungguhnya memang beginilah wajah asli lembaga peradilan kita.

Sekarang, yang menjadi kerja penting adalah, harus ada upaya besar yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki citra aparat penegak hukum. Bisa lewat cara reformasi terhadap seluruh lembaga peradilan, yang diawali dengan proses rekrutmen secara objektif. Kemudian, lakukan pengawasan secara ketat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, membangun integritas dan moralitas dalam diri setiap aparat penegak hukum. Karena, sebagus dan sekuat apapun hukum dibuat, tapi kalau tidak didukung oleh aparat yang bermoral dan berintegritas, maka semua akan sia-sia saja — hukum tak bakal bisa ditegakkan. (*)

  • Bagikan