Elegi Petani Konawe Selatan

  • Bagikan
H.M. Radhan Algindo Nur Alam

Catatan H.M. Radhan Alghindo Nur Alam (Ketua MPC Pemuda Pancasila Konsel)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Jadilah pahlawan pembangunan! Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya. Buat apa kita bicara tentang politik bebas kalau kita tidak bebas dalam hal urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?

Kalau misalnya perang dunia III meledak, entah besok entah lusa, dan hubungan antara Indonesia dan Siam dan Birma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras? Haruskan kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang devisa bermiliun-miliun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negeri lain kalau ada kemungkinan untuk memperlipatgandakan produksi makanan sendiri?

– Soekarno, 27 April 1952.

Pernyataan Presiden Indonesia pertama sekaligus proklamator itu diucapkan saat Bung Karno meresmikan pembangunan Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat tepat 70 tahun yang lalu. Pemikiran Bung Karno begitu tepat dan sesuai dengan kondisi yang terjadi sekarang. Ini menandakan Bung Karno begitu visioner. Pandangannya begitu jauh ke depan dan melampaui zamannya.

Jika ditilik kenyataan sekarang, perang antara Rusia dengan Ukraina begitu berimbas dengan ketersediaan gandum sebagai bahan baku mi instan yang digemari rakyat Indonesia. Sebelum negeri kita mampu berswasembada produksi beras, kita kerap mengimpor beras dari negeri tetangga. Dalam dekade 2000-an, Indonesia baru dinyatakan bisa berswasembada beras oleh International Rice Research Institute sejak 2019.

Diversifikasi dan swasembada pangan memang harus terus digalakkan agar negeri kita tidak tergantung dan “tersandera” dengan negara lain. Kesulitan pangan sebagai imbas persoalan politik yang terjadi di Sri Lanka dan Bangladesh harus menjadi pembelajaran. Selain kelangkaan energi, ke dua negara ini tengah dilanda kesulitan memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya.

Dikutip dari Visual Capitalist berdasarkan Analisis Bloomberg, ada empat metrik yang menjadi dasar prediksi kebangkrutan negara, yaitu imbal hasil obligasi pemerintah, credit default swap (CDS) selama lima tahun, beban bunga sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB) serta utang pemerintah sebagai persentase dari PDB.

Ada belasan negara yang terancam “gulung tikar” jika merujuk empat metrik ini di antaranya: El Salvador, Ghana, Tunisia, Pakistan, Mesir, Kenya, Argentina, Ukraina, Bahrain, Namibia, Brasil, Angola, Senegal, Rwanda, Afrika Selatan, Kosta Rika, Gabon, Maroko, Ekuador, Turki, Republik Dominika, Ethiopia, Kolombia, Nigeria, dan Meksiko. Kita merasa bersyukur, nama Indonesia tidak termasuk dalam negara yang terancam “bankrut”.

Konawe Selatan (Konsel) harus menjadi lumbung pangan nasional. Dengan luas wilayah daratan mencapai 451.420 Ha atau 11,83 persen dari luas wilayah daratan Sultra, Konsel mempunyai potensi yang besar sebagai lumbung pangan nasional. Konsel merupakan salah satu kabupaten produsen padi terbesar di Sultra. Produksi padinya tahun 2020 diperkirakan mencapai 79.746 ton GKG atau setara 45.750 ton beras. Potensi luas baku sawahnya mencapai 2.041.486 hektar.

Jika kita ingin mewujudkan impian dan cita-cita Bung Karno untuk merdeka di bidang pangan, kita harus berpihak kepada petani. Dari berbagai kegiatan saya menyerap aspirasi warga di Landono, Palangga, Tinanggea, Ranomeeto, Mowila, Buke dan 19 kecamatan lainnya. Keluhan petani adalah sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi. Sementara pupuk nonsubsidi yang dijual bebas, harganya tidak terjangkau oleh petani.

Keberadaan kelompok tani diakui warga tidak optimal dalam memperjuangkan aspirasi para petani. Selain alokasi pembelian pupuk bersubsidi antar kelompok tani tidak transparan, petani masih memiliki kendala-kendala lain yang membuat keberlangsungan proses bercocok tanam menjadi terganggu. Misalnya ketersediaan benih yang tidak mencukupi, hama tanaman yang merajalela serta sulitnya pemasaran hasil panen sehingga harga komoditi menjadi “jatuh”.
Sengaja tulisan ini saya beri judul “elegi” hanya untuk menggambarkan ratap sedih kehidupan petani di Konsel tempat ayah dan ibu saya berasal.

Persoalan pelik lainya adalah masih adanya lahan garapan petani yang “bersinggungan” dengan kawasan hutan lindung seperti di wilayah Kecamatan Angata sehingga pengelolaan pertanian menjadi terkendala.

Saat Nur Alam yang juga ayah saya masih menjabat Gubernur Sultra, beliau memerintahkan Kepala Dinas Pertanian untuk melakukan berbagai upaya guna mempertahankan lahan pertanian dari proses alih fungsi. Cara ini ditempuh agar bisa berkonstribusi maksimal dalam mendukung program ketahanan pangan berkelanjutan. Agar tidak terjadi proses alih fungsi lahan secara masif yang mengurangi luasan lahan pertanian. Perlu kiranya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengadopsi batas-batas kawasan pengembangan pertanian dengan kawasan lainnya. Saatnya kita harus konsisten dengan keberpihakan kepada petani.

Pembangunan infrastruktur memang jelas patut disyukuri. Namun menyaksikan petani kehilangan lahan garapan yang menjadi tempat ia bergantung hidup juga tak bisa kita banggakan.

Pernahkah kita berterima kasih kepada para petani penanam benih? Keramahan yang putih, ketulusan yang tak pernah menagih." -Habiburrahman El Shirazy. (**)

  • Bagikan