KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Kejaksaan Negeri Buton resmi dinahkodai Jaksa Madya, Ledrik Victor Mesak Takaendengan, SH, MH., sejak 2 Agustus tahun 2021 lalu. Kini, genap setahun sudah pengabdian Ledrik di Tanah Wolio itu. Pria yang karib disapa Edy tersebut sudah memberikan warna baru bagi Korps Adhyaksa di daerah itu. Perubahan positif begitu signifikan terjadi. Kejaksaan yang tadinya terkesan sangat tertutup dan “sangar” bagi masyarakat, berubah menjadi mitra yang sangat bersahabat. Ledrik Takaendengan merupakan putra terbaik Nusa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Kinerjanya sebagai Koordinator Jaksa pada Asisten Intelijen Kejati Sulawesi Utara (Sulut) sarat prestasi, sehingga Ia pun mendapat kepercayaan untuk naik level, duduk sebagai pimpinan di Kejari Buton. Kejari Buton memiliki cakupan wilayah hukum yang sangat luas, membawahi tiga kabupaten yakni Buton, Buton Selatan dan Buton Tengah.
Sesaat setelah dilantik, Ledrik memang sudah menunjukan tanda-tanda positif untuk memberi warna baru, bukan hanya di lingkup internal lembaga, tetapi juga pada seluruh cakupan pelayanan hukumnya. Ledrik mengawali kepemimpinannya dengan mengunjungi sejumlah mitra kerja seperti Pemda, DPRD, Polres hingga institusi lainnya. Ledrik juga intens turun ke lapangan bertemu warga dalam berbagai kegiatan sosial seperti kerja bakti atau pertandingan olahraga.
Gaya kepemimpinan Ledrik, mentransformasi Kejaksaan Negeri menjadi salah satu institusi yang paling ditakuti oleh oknum-oknum nakal. Mereka yang menyelewengkan uang negara dengan cara melanggar hukum sudah pasti masuk dalam radar pantauan para jaksa. Ledrik menajamkan taring kejaksaan, "menggigit" para koruptor tanpa pandang bulu. Mulai dari kelas teri hingga kakap. Koruptor dana desa, APBD sampai pada perusahaan daerah tak luput dari jeratan hukum. Saat ini, ada dua kasus melibatkan oknum kepala desa yang kini menuju penemuan keadilan. Kerugian negara dari kedua kasus itu mencapai Rp 500 juta. "Seperti kita ketahui bahwa rata-rata dari dana desa ini ketika diperkarakan, dananya sudah habis, jadi belum ada pengembalian," kata Kajari Buton, Ledrik Mesak Victor Takaendengan.
Selain perkara tersebut di atas, terdapat pula kasus dugaan korupsi PDAM Buton Tengah (Buteng) yang masih dalam penanganan. Terhadap kasus ini, Kejari Buton telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing, W, T dan M. Saat ini, perhitungan kerugian negara terhadap perkara ini nyaris rampung. "Kita masih terus telusuri aliran dananya. Perkembangannya ada tambahan kerugian negara karena ada yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi secara keseluruhan para tersangka ini kooperatif," lanjutnya.
Dalam urusan Tipikor, kinerja Kejari memang dilandasi prinsip follow the suspect dan follow the money (mengejar pelaku dan uang hasil korupsi). Dari kasus PDAM Buton, sudah dikembalikan uang negara kurang lebih Rp 3 miliar. Kejari Buton juga baru saja menyumbang tambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 150 juta dari hasil lelang barang bukti kayu jati. Dari rangkaian kinerja itu, Kejari Buton kini layak dikatakan sebagai role model penegakan hukum. (b/lyn/adv)
Restorative Justice, Wujudkan Keadilan Berhati Nurani
Mengadili pelanggar hukum tidak semata-mata dengan cara memasukan pelaku dalam kurangan penjara. Kejaksaan Agung mulai menerapkan metode baru dalam penanganan perkara. Namanya, prinsip keadilan restoratif atau restorative justice. Itu merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme atau tata cara peradilan pidana fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Kajari Buton, Ledrik Victor Mesak Takaendengan, SH, MH., mengatakan, hukum memang bisa ditegakkan dengan akal pikiran, namun keadilan hanya bisa diwujudkan dengan hati nurani. Olehnya itu, Ia selalu menekankan pada aparaturnya untuk terus menempa keterampilan hukum dan nilai-nilai keadilan. Tujuannya, agar hukum yang adil dapat ditegakkan dengan sempurna. Seorang Jaksa harus terus mengasah hati nurani agar mampu menyeimbangkan segala aspek hukum baik tertulis maupun tidak tertulis dengan jernih sebagai landasan bijak setiap tindakan.
"Sering saya sampaikan kepada anggota, jangan pernah mencari keadilan di dalam buku, melainkan temukan rasa keadilan di dalam hati nurani," bijaknya. Prinsip restorative justice itu sudah diterapkan di Buton. Setidaknya sudah empat perkara yang diselesaikan dengan metode tersebut. Kajari Ledrik turun langsung sebagai mediator dalam sebuah kasus yang cukup rumit. Saat itu, seorang korban perempuan dengan inisial WN (21 tahun), akhirnya memilih memaafkan lima tersangka yang sudah mempermalukannya karena menganiaya di depan publik.
WN menjadi korban tuduhan palsu sebagai pelakor oleh lima tersangka, yaitu DW, RG, MHR, RMY, dan WR. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat pasal berlapis dengan ancaman penjara kurang lebih dua tahun. Berkat dialog dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak, perkara pun bisa dituntaskan secara kekeluargaan. Untuk memaksimalkan kinerja penegak hukum dalam penyelesaian perkara di luar meja pengadilan itu, Kejari Buton juga tengah menyiapkan rumah restorative justice di berbagai titik. Mulai dari desa, kecamatan hingga ibu kota kabupaten. Tujuannya, agar mendekatkan pelayanan hukum pada masyarakat. (b/lyn/adv)