Tunaikan Amanah Jaksa Agung
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Penerapan restoratif justice (keadilan restoratif) oleh Kejaksaaan tidak hanya pada perkara tindak pidana umum. Namun restoratif justice diperluas hingga kasus penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropica, dan zat adiktif lainnya (napza). Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 sebagai acuan bagi penuntut umum dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Perluasan restoratif justice dalam penanganan penyalahgunaan Napza, Jaksa Agung mendirikan balai rehabilitasi Adhyaksa. Balai rehabilitasi itu khusus untuk para pelaku sebagai korban penyalahgunaan napza.
Kebijakan itu ditunaikan pula Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra Raimel Jesaja. Dia memerintahkan Kejari-kejari di Sultra mendirikan balai rehabilitasi.
Dari 10 Kejaksaan Negeri (Kejari) di Sultra, lima Kejari meluncurkan balai rehabilitasi. Lima Kejari itu yakni
Kejari Kendari, Konawe Selatan (Konsel), Muna, Kolaka, dan Buton. "Yang lainnya akan menyusul," ujar Kajati Raimel memberikan arahannya kepada para Kepala Kejari kabupaten/kota di Sultra melalui video conference usai upacara Hari Bhakti Adhyaksa di Kantor Kejati Sultra, baru-baru ini.
Dalam arahannya, Kajati Raimel meminta para Kajari berkoordinasi kepada pemerintah daerah masing-masing dalam mendirikan balai rehabilitasi. "Saya beri waktu satu minggu untuk segera berkoordinasi dengan pemdanya. Khususnya yang belum (mendirikan balai rehabilitasi) tolong ini diperhatikan dan diindahkan. Kalau sampai satu minggu belum ada, maka biar kami ambil alih dan tentu ada konsekuensi atau sanksi," tegasnya.
Kajati Raimel menjelaskan, tujuan peluncuran balai rehabilitasi ini adalah agar penyalahguna pengguna Napza mendapat proses hukum sesuai dengan aturan. "Dalam undang-undang nomor 39 tahun 2009 tentang narkotika, pengguna itu adalah korban, bukan pelaku. Jadi jelas dia sebagai pengguna atau korban penyalahgunaan. Korbannya adalah diri sendiri. Makanya korban atau pengguna seharusnya tidak dihukum tapi direhabilitasi," jelasnya.
Kajati Raimel menegaskan kehadiran balai rehabilitasi ini sesuai instruksi Kepala Kejaksaan Agung kepada semua jajaran di daerah-daerah untuk membuat balai rehabilitasi. "Ini penting karena untuk memberikan kesadaran bagi pengguna zat adiktif. Tentunya kita harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, dinas kesehatan termasuk instansi terkait lainnya," terangnya.
Mantan Wakil Kajati Sulawesi Selatan (Sulsel) itu secara tegas meminta kepada semua Kajari di Sultra untuk segera menindaklanjuti instruksi tersebut. "Kalau Kejari tidak indahkan ini, pasti ada konsekuensi. Tentunya kita akan evaluasi kinerja mereka terkait ketidaksiapannya, khususnya Kejari yang belum ada balai rehabilitasinya," tutur Kajati Raimel.
Jaksa sebagai aparat penegak hukum (APH) punya wewenang dalam penuntutan umum. Selama ini wewenang oleh jaksa digunakan menuntut penyalahguna napza dengan hukuman penjara. "Nah, dengan adanya balai rehabilitasi ini, kita menggunakan hak penuntutan untuk merehabilitasi si pengguna. Untuk itulah kita meluncurkan rumah rehabilitasi ini," imbuh Kajari Raimel.
Untuk diketahui restoratif justice dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika khusus bagi perkara yang belum dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa penuntut umum dapat mengacu pada Pedoman Nomor 18 Tahun 2021. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 sebagai acuan bagi penuntut umum dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Pedoman ini dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah jumlah penghuni yang melebihi kapasitas di lembaga permasyarakatan (lapas), karena jaksa dapat mengoptimalkan opsi rehabilitasi.
Tingkat Kepercayaan Publik Meningkat
Kepercayaan publik/masyarakat terhadap kinerja Kejaksaan meningkat dari tahun ke tahun. Penilaian itu bukan datang dari subjektivitas internal Kejaksanaan, namun hasil survei nasional mengenai evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi.
"Pada tahun sebelumnya, pelayanan Kejaksaan menduduki peringkat ke-8. Tahun 2022 ini, naik menjadi peringkat ke-4 pada bulan Juni 2022 dengan capaian 74,5 persen," ujar Kepala Kejati (Kajati) Sultra, Raimel Jesaja saat membacakan amanat Kepala Kejaksaan Agung, ST Burhanuddin dalam upacara peringatan HBA ke-62 di pelataran kantor Kejati Sultra, baru-baru ini.
Kata Kajati Raimel, peningkatan kepercayaan tersebut karena masyarakat menganggap Kejaksaan telah mampu menampilkan wajah penegakan hukum yang didambakan. Di antaranya, keberhasilan Kejaksaan menyahuti kegelisahan masyarakat atas praktik penegakan hukum yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan, yaitu adanya kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).
Kebijakan itu merupakan tonggak perubahan paradigma penegakan hukum, sehingga masyarakat memposisikan restorative justice identik dengan Kejaksaan. "Oleh karenanya, saya mengajak seluruh warga Adhyaksa untuk menjaga pelaksanaan keadilan restoratif, dan menjaga asa masyarakat bahwa penegakan hukum bernurani masih ada di negeri ini. Saya juga ingatkan jangan pernah nodai kepercayaan masyarakat," ujar Kajati Sultra Raimel.
Di samping itu, meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut karena keberhasilan Kejaksaan meningkatkan kemampuan mengomunikasikan capaian-capaian kinerja. "Sehingga masyarakat mengetahui apa yang telah diraih Kejaksanaan maupun yang sedang dilakukan," ucap Kajati Raimel.
Bagi mantan Wakil Kepala Kejati Sulawesi Utara (Sulut) itu, peringatan HBA ke-62 merupakan momentum insan Kejaksaan untuk meng evaluasi dan introspeksi atas semua yang telah dilakukan selama setahun terakhir. "HBA ini juga sebagai momentum untuk menyusun strategi guna mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa yang akan datang," ungkapnya.
Kajati Sultra Raimel menyampaikan tujuh perintah harian untuk dilaksanakan sungguh-sungguh oleh seluruh jajaran keluarga besar Adhyaksa, sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas di wilayah hukum Sultra.
Pertama, meningkatkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas dalam mengemban kewenangan berdasarkan undang-undang. "Kedua, mengedepankan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan," tegasnya.
Ketiga, mewujudkan penegakan hukum yang berorientasi pada perlindungan hak dasar manusia. Keempat, meningkatkan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan masyarakat. Kelima, mengakselerasi penegakan hukum yang mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Keenam, menjaga netralitas aparatur Kejaksaan guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Ketujuh, meningkatkan transparansi akuntabilitas kinerja. (kam/b)