Oleh: drg. Endartini Kusumastuti
Penulis adalah Praktisi Kesehatan Kota Kendari dan Alumnus FKG Unair Surabaya
Muncul wacana beberapa waktu lalu, pemerintah menyiapkan roadmap proses transisi dari pandemi ke endemi. Namun, peralihan status itu kemungkinan akan terganjal setelah terdapat kenaikan kasus positif Covid-19 lagi. Sejumlah negara melaporkan kenaikan kasus Covid-19 setelah mereka mendeklarasikan endemi. Di antaranya Inggris, Amerika, dan beberapa negara di Eropa. Ada Jerman dengan kenaikan kasus Covid-19 mingguan sebesar 6 persen, Prancis 39 persen dan Italia 25 persen. Menandakan Covid-19 belum bisa dianggap hilang dari dunia ini (covid19.who.int).
Juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19 dr. Reisa Broto Asmoro menegaskan wewenang mengubah pandemi Covid-19 menjadi endemi adalah WHO. Menurutnya, negara tidak bisa memutuskan sendiri kapan akan memasuki fase endemi. Ada banyak indikator yang harus terpenuhi untuk menjadikan status pandemi berubah menjadi endemi.
Ahli Kesehatan Masyarakat Hermawan Saputra menyayangkan kebijakan pelonggaran protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah. Sikap abai masyarakat dan kebijakan pemerintah yang melonggarkan protokol kesehatan menyiratkan seakan-akan kondisi Indonesia sudah endemi.
Apakah Indonesia mampu bebas dari Covid-19 dan beralih ke endemi dengan menganggap Covid-19 sebagai penyakit biasa? Bagaimana persiapan pemerintah menghadapi tantangan varian baru Covid-19 yang terus bermunculan? Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin menyebut kenaikan kasus tersebab adanya varian baru Covid-19. Hingga saat ini, setidaknya ada delapan kasus subvarian BA.4 dan BA.5. Dari delapan kasus tersebut, tiga orang yang teridentifikasi sebagai imported case dari Mauritius, AS dan Brasil. (CNBC Indonesia)
Status Endemi, Covid Tidak Ditanggung Lagi
Pemerintah berupaya agar status Covid-19 ini berubah dari pandemic menjadi endemic. Karena persoalan ekonomi yang belum pulih. Jika covid sudah disebut endemi, biaya perawatan tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah atau tidak gratis lagi.
Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Raden Pardede, mengatakan saat memasuki fase endemi maka anggaran untuk pandemi juga kemungkinan akan dihilangkan. Sehingga biaya untuk pengobatan pasien Covid-19 di rumah sakit pun tidak akan ditanggung lagi.
Artinya masyarakat diharuskan membayar iuran setiap bulan agar JKN tetap berlaku supaya pembiayaan perawatan Covid ditanggung. Selain itu, mungkin juga masih harus membayar biaya tambahan jika ada yang tidak masuk klaim sesuai kode INA-CBG (case base group) Covid-19 yang terbaru. Akibat wabah Covid-19 terdapat beberapa perusahaan yang mengalami gulung tikar.
Apakah memang pandemi yang menyebabkan keterpurukan ekonomi? Sebelum pandemi saja, di negara-negara maju, angka bunuh diri sudah tinggi. Saat pandemi berlangsung, angka itu semakin meningkat. Karena banyak sektor yang terdampak dan pengangguran juga meningkat. Sebelum pandemi, ekonomi global telah mengalami krisis berkepanjangan. Sektor pangan mengalami kenaikan harga yang sangat mempengaruhi pengusaha UMKM.
Sektor sosial masyarakat, budaya freesex yang makin mempengaruhi degradasi generasi, angka aborsi yang makin meningkat, kasus kekerasan seksual pada anak dan wanita yang tidak ada ujung pangkalnya. Bahkan semua itu masih berlanjut hingga saat ini.
Tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kondisi pandemi hingga memunculkan keterpurukan ekonomi secara nasional. Jangankan membayar biaya tambahan, membayar iuran BPJS per bulan saja masyarakat Indonesia masih banyak yang kesusahan. Masih lekat di ingatan, seorang pasien yang meninggal saat pengurusan administrasi untuk BPJS. Pasien tersebut terpaksa dibawa pulang keluarga, karena tidak bisa menerima perawatan yang seharusnya, jika belum memiliki BPJS.
Berapa pasien yang akan menjadi korban, jika kasus Covid-19 yang masih cukup tinggi ini, ternyata tidak dapat gratis lagi. Padahal dalam Islam, segala hal yang menyangkut kepentingan orang banyak menjadi tanggung jawab dari pemimpin. Termasuk masalah jaminan kesehatan ini, seharusnya gratis karena menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini, akan selalu merujuk kepada konsep materialistis untung rugi ketika memutuskan kebijakan bagi rakyatnya.
Islam Memberikan Jaminan Kesehatan, Meski Berubah Status Endemi
Pelayanan kesehatan dalam Islam mengutamakan nyawa manusia dengan dasar perkembangan ilmu pengetahuan bukan alasan ekonomi. Jika berdasarkan data dan ilmu pengetahuan memang masih jauh dari standar endemi, maka pandemi ini tidak akan ‘di-endemi-kan’ hanya karena alasan ekonomi. Setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, akan sangat berhati-hati diambil karena pertanggungjawabannya sampai ke akhirat. Dalam Islam, pemegang kekuasaan akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap nyawa rakyatnya yang melayang jika tidak diriayah dengan baik.
Jika perubahan status endemi dapat melepaskan kewajiban menanggung biaya perawatan Covid-19, segala kebijakan akan diarahkan kepada target semu tersebut. Meskipun masih tetap ada rakyat yang terdampak dan masih terus memakan korban jiwa, tetapi itu akan dianggap sebagai bagian dari pengorbanan masa transisi. Nyawa manusia tidak lebih berarti dari sekedar angka-angka pada data yang sangat besar kemungkinannya dimanipulasi.
Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme saat ini, Islam teruji selama puluhan abad sebagai pelayan kesehatan yang adil berkualitas. Layanan kesehatannya begitu mudah terakses kapan pun dan di mana pun saat dibutuhkan tanpa beban finansial (terjangkau bahkan gratis), hingga bagi yang berpura-pura sakit sekalipun.
Dalam sistem Islam, kesehatan adalah hak dasar publik yang wajib negara penuhi. Negara menjadikan sistem kesehatan sebagai hal penting dan utama. Islam memandang negara adalah penyelenggara utama sistem kesehatan. Negara akan memenuhi kebutuhan itu dengan memberi jaminan kesehatan berupa pelayanan maksimal dan gratis.
Aspek pembiayaan, sistem berbasis Baitulmal sebagai sumber pemasukan negara akan membiayai segala hal yang dibutuhkan di bidang kesehatan. Seperti pendidikan SDM kesehatan berkualitas, rumah sakit dengan fasilitas lengkap, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan, riset biomedis, pusat penelitian dan laboratorium, gaji tenaga kesehatan yang cukup, serta segala sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan seperti listrik, air, dan transportasi. (***)