--Penulis : Sawal Sarifudin, Mahasiswa S3 Ilmu Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari--
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID - Rezim hukum internasional yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif dikembangkan oleh masyarakat internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Bahaya menipisnya sumber daya alam hayati di dekat pantai melalui kegiatan penangkapan ikan berdasarkan rezim laut dan perlindungan kepentingan Negara pantai di bidang konservasi lingkungan laut dan penelitian ilmiah kelautan dalam rangka mendukung pemanfaatan sumber daya alam di daerah.
Oleh karena itu, United Nations Convention on the Law of the Sea memberikan hak berdaulat kepada Indonesia untuk menggunakan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia tanpa diganggu oleh negara lain.
Namun, di ZEE Indonesia, negara lain tetap memiliki hak, tetapi hanya untuk beberapa hal, antara lain hak lintas (freedom of navigation), penerbangan, pemanjangan kabel dan pipa bawah laut, serta hak-hak lain sesuai dengan UNCLOS (Pasal 58 ayat (1) jo Pasal 87 UNCLOS).
Penting untuk dicatat bahwa negara-negara lain yang disebutkan dalam pelaksanaan haknya wajib menghormati Indonesia yang memiliki yurisdiksi di ZEE Indonesia (Pasal 58 ayat (3) UNCLOS). Khusus untuk penangkapan ikan, berdasarkan UNCLOS, akses negara lain terhadap persediaan ikan di ZEE hanya dapat terjadi melalui 2 (dua) hal, yaitu hak penangkapan ikan secara tradisional dan adanya kelebihan hasil tangkapan yang diperbolehkan.
Di kutip dari BBC, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur dalam Pasal 2 UU No. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Ditetapkan jika ZEE Indonesia adalah suatu sektor di luar batas laut teritorial Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, daratan di bawahnya, dan perairan di atasnya dengan batas luar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
Namun persoalan status teritorial dan ketidakjelasan batas negara seringkali menjadi sumber konflik antar negara tetangga atau berbatasan. Sengketa muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda untuk menentukan batas landas kontinen antar negara tetangga, yang berujung pada munculnya wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan konflik.
Sengketa Laut Natuna disebabkan oleh klaim China bahwa wilayah yang dilalui para nelayan dan kapal penjaga pantainya di ZEE Indonesia adalah wilayahnya berdasarkan konsep Nine Dash Line yang ditetapkan secara sepihak oleh China (tanpa melalui United Nations Convention on the Law of the Sea) dan menjadi Konsep ini mendasari klaim China atas perairan Laut Natuna, hingga Laut China Selatan. Namun, Indonesia menolak klaim China dengan cara apapun di Laut Natuna, karena zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea.
Sehingga, untuk mengatasi permasalahan di Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan, Kepala Maritime Security Agency (MSA), Laksamana Madya Anne Cornea mengatakan ada tiga strategi preventif regional, yakni adanya penegakan hukum di perairan seperti Bakamla, TNI AL, bahkan satgas yang terlibat Dengan meniadakan illegal fishing dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, strategi ketiga melalui diplomasi, dengan mengundang negara-negara ASEAN dan China mengadakan dialog tentang hak berdaulat wilayah laut yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Selain itu, kepadatan kehadiran Indonesia, seperti nelayan dan penjaga pantai, harus ditingkatkan agar pendudukan de facto Indonesia diakui secara internasional. Pemerintah juga perlu mendorong RDK untuk segera memenuhi kebutuhan pembelian Alutista TNI, minimal sejumlah kekuatan dasar, sehingga TNI dapat memberikan deterrence kepada militer, dan China mendukung kehadiran Coast Guard dan nelayan China. (KP)