Kolut Berlebaran, Kolut Rujuk

  • Bagikan
Andi Syahrir (diaspora Kolaka Utara, tinggal di Kendari)

Penulis : Andi Syahrir (diaspora Kolaka Utara, tinggal di Kendari)

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Lebaran kali ini terasa beda. Pemudik berjubel. Dua tahun Corona melanda membuat perayaan Idul Fitri kali ini menjadi lebih semarak. Kolaka Utara, tempat mudik saya, juga demikian.

Karena momennya lebaran, suasana hati yang baik mendukung untuk lebih mencermati keadaan sekeliling. Kota kecil Lasusua berubah. Lebih berwarna. Tugu tumbuh dimana-mana. Dihiasi lampu warna-warni. Kerlap-kerlip di
malam hari.

Jalan-jalan raya dalam kota, yang di awal pemerintahan duet Nurrahman Umar-Abbas, sempat mengalami kerusakan, kini telah mulus kembali.

Beberapa kawasan ruang publik yang dibangun kepala daerah sebelumnya, Rusda Mahmud-Bobby Alimuddin Page, lalu terlantar tak terawat, kini kembali cantik dengan taman bunganya.

Penduduknya berangsur mengalami transformasi struktural. Dari sebelumnya, bercorak agraris yang dominan, bergeser menjadi pelaku-pelaku jasa, perdagangan, dan ekonomi kreatif.

Kendatipun, di sana-sini kita harus mengakui tidak ada agenda pembangunan yang tak punya tantangannya, tidak punya kekurangannya. Namun, tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.

Realitas yang tidak bisa kita pungkiri bahwa di usia yang relatif muda, Kolaka Utara menjadi daerah otonom baru yang melejit. Daerahnya tumbuh dan berkembang. Menyalip kabupaten lain yang seusia ataupun lebih tua darinya.

Satu hal yang saya ingin katakan. Di luar sana, warga Sultra yang bukan penduduk atau bukan diaspora Kolaka Utara, begitu cemburu dengan
kemajuan yang dicapai Kolaka Utara. Mereka ingin daerahnya juga berkembang seperti Kolaka Utara.

Overall, Kolaka Utara sudah on the track. Sejak dari Rusda Mahmud dua periode, hingga Nurrahman Umar yang akan menutup kepemimpinan lima tahunnya, Agustus mendatang.

Dalam konteks capaian kepemimpinan, kita harus adil melihat keduanya. Pak Rusda diberi kesempatan sepuluh tahun berkreasi. Tidak elok menggunakan capaian beliau untuk mengukur capaian Pak Nurrahman selama lima tahun.

Di masa-masa emas inilah, berhembus aroma tentang hubungan keduanya yang sedang mengalami masa surut dengan segala dinamika yang menyertainya.

Yah, begitulah. Hubungan manusia itu, apapun predikat yang disandangnya, pasti mengalami pasang surut. Itu keniscayaan.

Mereka yang ribut, bertengkar, kelahi, pasti adalah orang yang saling mengenal, bersahabat, bersaudara. Tidak ada orang yang tidak saling kenal, lalu ujug-ujug berkonflik. Kecuali orang-orang bodoh, yang cukup bertatap-tatapan ketika berpapasan, lantas baku hambur.

Saya tidak ingin membedah asal muasal atau pangkal perbedaan pandang kedua tokoh Kolaka Utara itu. Bagi saya, dan barangkali, kebanyakan rakyat kecil, tidak peduli dengan tengkar-tengkarnya para elit.

Kami hanya ingin memastikan orang-orang besar itu bergenggaman tangan. Lalu mengoptimalkan kekuasaan masing-masing. Mengubah daerahnya menjadi lebih baik.

Sehingga perbedaan pandang keduanya, tidak boleh terus dibesar-besarkan. Terus dikipas-kipasi. Itu membakar kita semua. Menghanguskan semua potensi positif kita.

Pak Rusda di senayan, tentu punya kuasa dalam mengarahkan agenda pembangunan nasional untuk ditempatkan di Kolaka Utara. Pak Nurrahman di daerah punya kapasitas memberikan ruang yang lapang untuk itu.

Di 2024, keduanya akan saling meninggikan, akan saling menopang. Rakyat Kolaka Utara harus dicegah dari polarisasi “suka-tidak suka” atau yang lebih ekstrim lagi “sayang-benci” pada keduanya.

Kita maju seperti ini karena kita bersatu. Bukankah jauh-jauh hari kita telah sepakat dengan jargon “Kita Kuat Karena Bersatu”?

Bahwa kemudian, kelak kita tidak menjatuhkan pilihan pada keduanya di panggung kontestasinya masing-masing, itu lebih disebabkan pilihan-pilihan rasionalitas yang teduh.

Pak Rusda dan Pak Nurrahman jangan terlalu percaya pada para pembisik di sekitaran bapak itu. Cobalah sekali-kali, bapak berdua janjian ketemu empat mata. Tanpa ada yang tahu. Bahkan oleh para ajudan sekalipun.

Berbincang sebagai seorang sahabat. Senior dan yunior. Dua orang bersaudara, yang sama-sama ingin mengabdi untuk orang banyak. Singkirkan ego-ego bapak berdua.

Memang tidak enak. Tidak mudah. Menyakitkan. Sebab ketinggian hati harus diturunkan beberapa level. Tapi kita perlu mengingat pepatah Belanda yang dipopulerkan bapak bangsa, Haji Agus Salim, leiden is lijden. Memimpin adalah menderita. Bapak berdua sudah ditakdirkan menjadi pemimpin. Menderitalah.

Saya hanya mampu mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf
lahir batin. Terutama, permohonan maaf atas tulisan ini.*

  • Bagikan