KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng yang menuai kritik masyarakat. Kepala negara merasa ironis, Indonesia sebagai negara terbesar produsen minyak sawit tetapi justru mengalami kelangkaan minyak goreng.
Jokowi juga menegaskan, kebutuhan pokok masyarakat dalam mengkonsumsi minyak goreng merupakan prioritas utama. “Saya mengikuti dengan seksama dinamika di masyarakat mengenai keputusan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Saya ingin menegaskan bagi Pemerintah, kebutuhan pokok masyarakat adalah yang utama,” kata Jokowi dalam siaran Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (27/4), kemarin.
“Ini prioritas paling tinggi Pemerintah setiap membuat keputusan. Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, ironis kita malah kesulitan mendapatkan minyak goreng,” sambungnya.
Jokowi meminta para pengusaha minyak goreng untuk melihat dengan jernih terkait kebijakan Pemerintah yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng. Hal ini diputuskan setelah kurang lebih empat bulan, masyarakat mengalami kelangkaan minyak goreng.
Terlebih memang berbagai kebijakan telah dilakukan Pemerintah, seperti penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp 14.000 dan harga minyak goreng premium dikembalikan ke harga pasar. Namun, kebijakan itu dinilai belum efektif menekan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng.
“Saya minta para pelaku usaha minyak sawit untuk melihat masalah ini dengan lebih baik, dengan lebih jernih. Saya sebagai presiden tak mungkin membiarkan itu terjadi. Sudah 4 bulan kelangkaan berlangsung dan Pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan namun belum efektif,” tegas Jokowi.
Salah satu kritik pelarangan ekspor minyak goreng sebelumnya datang dari anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Dia menyebut kebijakan Presiden Jokowi soal larangan ekspor CPO masuk angin.
Mulyanto menyebut, kebijakan ini tidak akan bertahan lama karena kuatnya tekanan yang dihadapi pemerintah. Tekanan yang dimaksud bukan hanya dari kalangan pengusaha tapi juga dari negara-negara tujuan ekspor.
“Memalukan. Belum juga dilaksanakan, kebijakan ini sudah ditafsirkan secara berbeda oleh anak buahnya. Dan ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, dalam kasus larangan ekspor batu bara, terjadi pula pembatalan kebijakan dalam waktu sepekan. Kalau dibiarkan seperti ini bisa kacau penyelenggaraan negara,” ujar Mulyanto
Mulyanto menambahkan bila sekarang tafsir obyeknya menyempit dari CPO menjadi RBD. Karena RBD adalah turunan dari CPO, besok berikutnya patut diduga, periode waktu kebijakannya yang akan menyempit menjadi hanya beberapa pekan atau hari saja. Penyempitan objek larangan ekspor dan masa berlaku kebijakan ini akan membuat tidak efektif.
Menurut Mulyanto, kebijakan Pemerintah terkait larangan ekspor migor yang terkesan bombastis ini hanyalah gertak sambal saja. Bukan kebijakan yang prudent berbasis riset.
“Sehingga tertangkap sebagai kebijakan yang sekedar tebar pesona, yang tidak sungguh-sungguh untuk membangun tata niaga migor yang berpihak kepada rakyat,” pungkasnya. (jpg)