KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Sejak diresmikan Bupati Buton, La Bakry pada Februari lalu, destinasi Pantai Lahonduru menjelma menjadi salah satu ikon wisata di tanah Wolio. Bahkan awal Maret lalu, pantai tersebut dipilih menjadi lokasi pelaksanaan rapat koordinasi (Rakor) wisata tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang juga dihadiri pihak Kementerian Pariwisata. Belakangan, ada gejolak sekelompok masyarakat Desa Wabula yang menyebut lokasi wisata itu adalah tanah adat mereka. Kepala Desa Wasuemba, La Tuni, menegaskan, pengembangan destinasi Lahonduru menjadi hak sepenuhnya masyarakat di otoritanya. Itu diatur jelas dalam undang-undang nomor 6 tahun 2014. "Kami berhak, karena itu wilayah administrasi Desa Wasuemba," tegasnya, Selasa (19/4).
Pertanyaannya, jika masyarakat Desa Wabula mengklaim lahan wisata Lahonduru itu adalah tanah adat mereka, lalu Wasuemba itu orang mana?. Sebab Wasuemba dan Wabula secara adat adalah satu kesatuan. Bedanya hanya dipisahkan wilayah administrasi. "Kalau itu kemudian disebut tanah adat, sementara Wasuemba ini adalah orang Wabula juga. Kita hanya mekar secara administrasi, adat kita ya Wabula," tegasnya. Lagipula menurut La Tuni, Pemerintah Desa tidak mengganggu lahan masyarakat. Lokasi itu hanyalah bentangan lahan kosong yang menyimpan keindahan alam dan cocok menjadi area wisata. "Di situ tidak ada tanaman, tak ada pagar. Hanya ada batu dan air saja," tambahnya.
Makanya Ia merasa aneh jika kemudian lokasi wisata sudah terbentuk, lantas dipersoalkan lagi. Itu justru bisa menghambat kemajuan daerah. Padahal, jika Lahonduru berkembang, yang menerima manfaat juga masyarakat Kecamatan Wabula secara umum. "Sampai hari ini kami membuka pintu 24 jam bagi wisatawan," ujarnya. Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pariwisata sudah beberapa kali meninjau Lahonduru untuk melihat potensi pengembangannya ke depan. Menurutnya itu adalah kesempatan emas untuk desa pelosok seperti Wasuemba untuk berkembang. "Pak gubernur bahkan sudah pernah ke sini dan beliau instruksikan langsung agar Wasuemba ini mendapat perhatian dan itu sudah ditindaklanjuti, makanya soal acara (Rakor) itu sangat kita sesalkan," tambahnya.
Saat ini kata dia, wisata Lahonduru masih butuh banyak sentuhan. Misalnya adanya home stay, gazebo dan sebagainya. "Jembatan mininya itu baru tahap awal. Itu panjangnya dua kilometer. Fasilitas masih butuh banyak, inilah kita harapkan dari Pemerintah Daerah," terang La Tuni. Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buton, Rusdin Nudi, enggan mengomentari perkara klaim lahan di lokasi wisata tersebut. Yang pasti, Pemerintah Kabupaten maupun Provinsi dan Pusat, tidak bisa mengucurkan anggaran di atas lahan wisata yang tidak clean and clear. "Syarat turunnya anggaran itu tidak boleh ada masalah lahan. Harus clean and clear. Kalau seperti di Wasuembe-Wabula itu, coba langsung ke desanya," singkat Rusdin Nudi, kemarin. (b/lyn)