Kerang Beracun Pembawa Petaka
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID — Wa Orau. Wanita 50 tahun itu nelangsa. Rona sedih dan trauma menyatu dalam gurat wajahnya. Terbayang peristiwa dua bulan silam, 1 Februari 2022. Tujuh warga Desa Metere didera keracunan setelah mengonsumsi kerang yang dibeli dari Wa Orau. Kerang yang dijual Wa Orau diambil dari Teluk Lasongko. Teluk yang jadi “surga” kerang bagi Wa Orau diduga tercemar.
Wa Orau, warga Desa Metere Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Tengah (Buteng) mencoba peruntungan dengan berjualan kerang. Hal itu dilakukannya setelah sang suami yang berusia 70 tahun tak kuat lagi mencari nafkah.
“Suami tidak kuat kerja lagi. Jadi saya coba jual kerang. Orang-orang di Metere sini senang. Kalau saya tidak turun ke laut, masyarakat meminta saya turun ke laut mencari (kerang). Setiap dua hari saya ke laut Desa Moko,” ujar Wa Orau saat ditemui di rumahnya, kemarin.
Wa Orau berjualan kerang jenis kuku sejak awal Januari 2022. Kerang itu diambilnya dari Teluk Lasongko, perairan yang membentang di sepanjang Desa Batu Banawa Kecamatan Mawasangka Timur hingga Desa Madongka Kecamatan Lakudo Kabupaten Buteng. Inisiatifnya berjualan kerang disambut positif masyarakat setempat. Jika permintaan tinggi, Wa Orau bolak balik ke laut mencari kerang hingga tiga kali dalam sepekan. Dia bisa mendapatkan penghasilan rata-rata Rp70 ribu, sepekan.
Nahas, pada 1 Februari 2022, tujuh warga Metere keracunan setelah mengonsumsi kerang dari Wa Orau. Tentu saja dia kaget saat tahu kerang yang dijajakannya mengandung zat beracun. Karena insiden itu, Wa Orau kini berhenti mencari kerang walau pun hasilnya cukup menjanjikan bagi dirinya yang seorang penyandang disabilitas.
“Sekarang saya tidak bisa turun ke laut karena takut kerang yang saya jual tidak bisa dimakan. Untuk kebutuhan sehari-hari, saya dibantu anak. Mudah-mudahan pemerintah segera menemukan solusi supaya saya tidak bisa khawatir lagi berjualan kerang,” pungkas Wa Orau.
Hasil uji laboratorium (lab) perairan Mone (bagian teluk Lasongko) yang diterima Kendari Pos dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Buteng, La Ode Abdullah, menunjukkan adanya plankton jenis Pyrodinium Bahamense yang sangat tinggi. Di situ dijelaskan bawa plankton Pyrodinium Bahamense yang bersifat sangat toksik (beracun) dapat terakumulasi di dalam kerang dan dapat pula dimakan oleh organisme perairan lain seperti ikan, kepiting, udang, dan lain-lain.
Jika hewan-hewan laut tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka akan terjadi keracunan bahkan kematian. Kelimpahan yang sangat tinggi bisa disebabkan oleh pembuangan sampah hasil pengolahan perikanan, limbah rumah tangga, serta limbah pupuk pertanian baik pertanian darat maupun laut. “Adanya pencemaran ini dibuktikan dengan hasil analisis kandungan fosfat dan ammonia yang berada di atas ambang batas normal,” ujar La Ode Abdullah.
Hasil uji lab tersebut mengindikasikan adanya korelasi antara aktivitas masyarakat dan perusahaan dengan kondisi teluk Lasongko yang tercemar. Dari pantauan Kendari Pos, masyarakat Buton Tengah termasuk yang bermukim di pesisir teluk Lasongko masih membuang limbah rumah tangganya di laut.
Belum lagi sampah di daratan yang terbawa aliran air hujan serta air laut pasang. Sampah-sampah organik maupun anorganik dapat dengan mudah ditemukan di tepi-tepi pantai. Mulai dari plastik, sayuran, hingga kulit jambu mete. Buton Tengah yang hingga kini belum memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) masih mengandalkan tempat pembuangan sementara di lahan-lahan warga maupun lahan terbuka milik pemerintah.
Di Teluk Lasongko terdapat empat perusahaan pengolahan kepiting yang beroperasi. Semua limbah kepiting dari keempat perusahaan itu dibuang ke laut. Citra Molib yang beroperasi sejak tahun 1998 salah satunya. Perusahaan yang mempekerjakan puluhan warga lokal itu mampu mengolah bahan baku kepiting rajungan rata-rata 2,7 ton dalam sebulan.
“Awalnya kami buang di darat tapi karena melihat perusahaan lain membuang ke laut, kami juga buang ke laut. Lagi pula membuang kulit kepiting di laut, ikan mendapatkan asupan makanan dan cangkangnya bisa jadi pasir. Kalau sampah plastik dibuang di darat,” aku La Jiu, penanggung jawab harian Citra Molib.
Perusahaan skala rumahan lainnya milik La Umba yang berdiri sejak Desember 2021 juga melakukan hal yang sama. Dengan rata-rata produksi 20 sampai 50 kg per hari, La Umba mengaku membuang limbahnya ke laut karena dinilai lebih bermanfaat untuk organisme laut.
“Kalau kita buang di darat baunya mengganggu masyarakat. Sementara kalau kita buang di laut bisa menjadi makanan ikan. Justru kita bikin makanan untuk ikan. Kalau sudah lama jadi pasir,” ujarnya.
Kepala Pusat Klinik Jurnal, HKI, Inovasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Halu Oleo (UHO), Wa Iba, S.Pi., M.AppSc., Ph.D mengatakan, teluk Lasongko rentan terjadi blooming (ledakan) populasi alga.
Jika alga biasa yang mengalami ledakan populasi, maka efeknya hanya akan mengakibatkan kematian pada biota laut akibat kekurangan oksigen. Namun, apabila blooming terjadi pada alga yang mengandung racun, akan timbul fenomena Harmful Alga Blooms (HABs) yang sangat berbahaya bagi manusia.
Salah satu tanda utama kemunculan HABs adalah perubahan warna air laut menjadi merah. “Teluk Lasongko kemungkinan mengalami fenomena red tide akibat blooming alga yang bersifat toxic (beracun). Karena kerang memiliki sifat bioakumulasi, artinya zat kimia yang masuk ke dalam tubuhnya termasuk yang beracun akan tersimpan di jaringan penyimpanan, maka ketika dikonsumsi bisa menyebabkan keracunan,” jelas Wa Iba.
Terkait aktivitas perusahaan kepiting dan penggunaan pupuk agar-agar, menurut dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO itu, bisa jadi ada korelasi. Sebab, blooming terjadi sebagai akumulasi dari berbagai faktor. Misalnya, pola arus yang membawa nutrient terutama nitrogen dan fosfor dari dasar laut ke permukaan sehingga menyebabkan pengayaan perairan. Bisa juga karena akumulasi limbah organik yang dibuang ke laut atau karena penambahan pupuk.
“Walau pun kejadiannya berulang setiap musim barat, ini tidak bisa dinormalisasi. Harus dicari sumbernya masalahnya sehingga faktor penyebab blooming berbahaya bisa dihilangkan. Mungkin kurangi buangan bahan organik supaya pengayaan perairan tidak terlalu tinggi,” imbuh Wa Iba.
Selain itu, harus ada peraturan dari pemerintah setempat yang melarang masyarakat mengonsumsi kerang pada musim-musim tertentu. Pengayaan bahan organik di perairan juga mesti direduksi sehingga jika pun terjadi blooming karena arus laut atau fenomena yang alami, dampak negatifnya bisa diminimalisir. Kadar racunnya rendah sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan.
“Di setiap perairan tetap ada yang mikro alganya berbahaya. Namun jika kepadatannya rendah, kalaupun bersifat toxic tidak akan berbahaya. Beda kalau sudah blooming yang airnya sampai berubah warna. Berarti sudah sangat tinggi kepadatannya. Harus ada intervensi dari pengambil kebijakan. Apalagi ini sudah berulang-ulang,” tandas Wa Iba.
Sementara itu, Pemkab Buteng melalui Sekretaris Daerah (Sekda), H. Kostantinus Bukide berjanji akan mengintervensi perairan teluk Lasongko maupun perairan lainnya yang ada di Buteng. Regulasi akan dibuat untuk menekan aktivitas berbahaya terhadap laut.
“Kita akan memberikan dukungan anggaran kepada DLH terkait pengelolaan sampah baik sampah rumah tangga, sampah industri, dan lainnya. Termasuk mengedukasi petani agar-agar yang masih menggunakan pupuk,” tutur Sekda Kostantinus.
Karena TPA belum ada, lanjut dia, maka setiap kecamatan didorong untuk memiliki Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Untuk menghindari jatuhnya korban keracunan di waktu yang akan datang, Kostantinus mengaku telah menginstruksikan DLHK Buteng untuk membuat surat edaran yang berisi larangan mengonsumsi kerang dan ikan dari Teluk Lasongko pada musim angin barat.
“Tentu ini menjadi perhatian serius pemerintah. Kita akan melakukan langkah-langkah untuk menormalisasi perairan teluk Lasongko. Selain membuat regulasi yang mengatur pengelolaan limbah, kita juga melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga laut,” pungkas Kostantinus.
Kepala Desa Metere, Naser M membenarkan insiden tujuh warganya mengalami gejala keracunan usai memakan kerang. Mereka adalah La Tiga beserta ibu, istri, dan satu orang anaknya, serta seorang khatib desa beserta menantu dan cucunya. “Yang gejalanya paling parah dialami keluarga La Tiga. Mereka dirujuk ke rumah sakit tapi tidak sampai dirawat inap. Sekarang semua sudah sembuh,” ujar Naser.
Sepengetahuannya, kasus seperti itu baru pertama kali terjadi di Desa Metere. Karena mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, melaut hanyalah aktivitas sampingan warganya untuk kebutuhan pribadi. Tak ingin ada korban lanjutan, setelah kejadian itu ia segera mengimbau warga Metere agar tidak memakan ikan maupun hasil laut lainnya dari Teluk Lasongko sebelum dipastikan keamanannya.
“Untuk hajatan, warga membeli ikan dan hasil laut lainnya di Mawasangka. Sedangkan untuk konsumsi sendiri, hanya ikan cakalang dan ikan layang karena itu ditangkap di luar Lasongko. Kalau ikan karang kami minta mereka berhati-hati,” tutur Naser.
Sementara itu, Fatma (37), salah satu korban, bercerita bahwa pada tanggal 1 Februari sekira pukul dua siang di kediaman orang tuanya, ia beserta ayah, La Tiga (60) ibu, Wa Tiyla (62), dan neneknya, Wa Ndangi (90), mengonsumsi kerang yang dibeli dari Wa Orau. Pada malam hari, Fatma merasa kebas di bagian wajah. Ia baru menyadari mengalami gejala keracunan setelah mendapatkan kabar orang tuanya dirawat di rumah sakit.
“Malam hari setelah salat Isya (sekira pukul 19.30 Wita), mama tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Bapak saya setelah sampai di sana juga langsung pusing dan wajahnya terasa tebal. Jam setengah sepuluh malam, nenek meninggal. Gejalanya kita sama. Kepala pusing, muntah-muntah, muka terasa tebal terutama bagian bibir. Mungkin karena nenek saya sudah sangat tua, tidak kuat melawan racun,” terangnya.
Fatma mengaku, sepuluh hari sebelum kejadian, keluarganya membeli kerang dari Wa Orau namun tidak merasakan gejala apa pun. Hanya saja, pada bulan Januari 2022, suaminya pernah beberapa kali mendapati ikan mati saat menjaring ikan di perairan teluk Lasongko.
“Suami saya cerita kalau dia sering dapat ikan mati. Baunya busuk sekali. Dia hanya kumpulkan ikan-ikan itu dan dibuang karena tidak mungkin dimakan,” ungkap Fatma.
Keracunan juga dialami salah satu warga Desa Lolibu usai mengonsumsi ikan baronang dari perairan yang sama pada 1 Februari 2022. Kepala Desa Lolibu, Sahrul Asmi mengatakan, sejak 2015, keracunan dari hasil laut di teluk Lasongko terjadi hampir setiap tahun dan kerap menelan korban jiwa.
Salah satu warganya juga meninggal dunia tahun 2021 usai mengonsumsi kerang.
“Kejadian begini hampir tiap tahun. Tahun lalu, bibi saya meninggal setelah mengonsumsi jenis kerang tertentu,” tutur Sahrul.
Kata dia, kejadian seperti itu berulang di setiap angin musim barat yang berlangsung bulan Desember, Januari, dan Februari. Di beberapa titik, air laut teluk Lasongko berubah warna kemerah-merahan dan terasa gatal di kulit. Sayangnya, sampai kini Sahrul dan warga belum mengetahui penyebab pasti fenomena tersebut. Sejak kasus keracunan di tahun 2015, warga mulai was-was mengonsumsi kerang.
“Teluk Lasongko ini semi tertutup sehingga sirkulasi air sangat rendah. Limbah yang masuk rentan menumpuk. Masyarakat masih banyak yang membuang limbah di laut. Di Lolibu ada empat perusahaan pengolahan rajungan. Saya khawatir sedimentasi limbah-limbah dari perusahaan dan limbah lainnya ini berbahaya,” imbuhnya.
Sahrul menambahkan, konsumsi kerang cukup banyak membantu asupan nutrisi masyarakat. Selain itu, sebagian dari masyarakat pesisir Lasongko menjadikan kerang sebagai sumber mata pencaharian. Ia berharap Pemkab Buteng segera mengambil langkah komprehensif untuk mengatasi persoalan itu.
“Harus segera ada penelitian dan hasilnya disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka tidak lagi was-was. Harapannya, perairan teluk Lasongko kembali membaik seperti dulu. Bisa menyediakan hasil laut yang melimpah untuk masyarakat,” tandasnya. (uli/a)
Kerang Beracun Pembawa Petaka