KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Haruskah Jaksa menuntut salah? Saya merindukan Jaksa yang menuntut bebas di dalam persidangan kepada terdakwa yang memang benar. Haruskah Pengacara membela kliennya? Saya merindukan Penasehat Hukum yang ikut menyalahkan kliennya yang memang salah. Setidaknya, mintalah tuntutan hukuman ringan kepada majelis Jaksa sebelum majelis hakim menguatkan tuntutan Jaksa.
Akan lebih terhormat dan dipandang cakap sekiranya permintaan itu mendahului ketimbang meminta keringan vonis setelah membaca dan mendengar tuntutan jaksa. Singkatnya, saya ingin Jaksa menuntut bebas dan Pengacara menyalahkan klien. Jangan ngotot menyalahkan yang benar dan jangan ngotot membenarkan yang salah hanya karena ketelanjuran penyidikan.
Kisah Nenek pencuri singkong yang dituntut 2,5 tahun penjara dan denda 1 juta rupiah bisa dijadikan telaah. Di zaman bahula, atau awal-awal penyusunan KUHAP, Nenek maling singkong ini layak dan patut dihukum. Saya katakan layak karena saya teringat dengan sikap La Gega yang memutuskan turun lalu menuntun sepedanya tatkala 10 atau 20 meter ke depan dia menyaksikan para orang tua yang tengah duduk berdiskusi di pinggir jalan. Itu dulu. Dulu sekali. Kira-kira di awal-awal buku KUHAP dijilid.
Sekarang, orang-orang tua duduk di pinggir jalan, anak tetanggaku melintas sambil angkat ban. Maksud saya, di zaman La Gega yang turun dari sepeda, kesalahan Nenek yang maling singkong, layak dihukum. Sekarang, di zaman anak tetanggaku yang angkat ban, Nenek maling singkong, baiknya bebaskan dari segala tuntutan dan tutup matalah. Masa’ sih menghukum si maling singkong seharga satu dua rupiah di tengah para perampok? Ndak maso akallah. Secara hukum acara mungkin salah, tapi dari sisi kehormatan sosial dan publik, menghukum maling di kerumunan perampok yang tak tersentuh hukum, rasa-rasanya gimanaa gitu.
Lalu apa hubungannya turun dari sepeda dengan kehormatan Universitas Halu Oleo (UHO) ? Apa hubungannya Nenek si maling singkong dengan kehormatan UHO? Ya, memang ndak ada hubungannya. Lalu, kenapa diberi judul Memvonis Kehormatan UHO? Ya, sukaku. Kamu kah yang tulis? Karena saya yang tulis, ya, terserah saya. Saya mau kasi judul apa, suka-suka saya.
Agar saya tak dianggap mentang-mentang wartawan dan pengisi Kolom WINTO, saya akan kaitkan sekarang. Begini. “Jangan panggil saya Prof. Saya malu. Kita kan sama- sama tahanan,” seseorang menceritakan itu ketika ia baru saja kembali menjenguk mantan Rektor Universitas Halu Oleo, Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, M.Si saat ditahan di sel tahanan. Saya yang kenal dengan Prof. Usman, merasa trenyuh. Dalam hatiku, kenapa jalan hidup senior satu itu, harus melewati etape sel dan tahanan? Prof. Usman orangnya jujur dan apa adanya. Mungkin ini berlebihan, tapi mau diapa, itu yang saya rasakan.
Kejujuran Prof.Usman yang saya dapat melalui analisa bukan melalui “rasa” juga ada. Lihatlah ketika suksesi rektor pasca ke-Rektor-an Prof.Usman. Ada satu halaman koran yang isinya memuat surat pernyataan Prof. Usman dan Nyonya menyangkut dukungannya kepada Prof. Zamrun, Rektor UHO saat ini. Bermeterai.
Di satu sisi, surat pernyataan dukungan bermeterai diumumkan di koran untuk Prof. Zamrun, di sisi lain, ada Prof. Rianda yang tak lain adalah kakak ipar Prof. Usman. Bayangkan. “Saya tidak ingin dibilang KKN (nepotisme), makanya dukunganku kepada Prof. Zamrun saya putuskan untuk diumumkan di koran,” kata Prof Usman ketika itu.
Artinya apa? Artinya, dari sisi integritas, tak ada keraguan. Jangankan korupsi, cap nepotisme saja tak ingin melekat pada dirinya. Tapi kan, ditahan?. Ya. Prof. Usman memang ditahan. Itulah jalan hidup. Jika Allah SWT memutuskan jalan hidupmu harus melewati sel dan tahanan, maka kamu tak akan mengalami yang namanya mati, sebelum melewati itu. Sebaliknya, jika Allah SWT memutuskan jalan hidup tanpa sel dan penjara, maka sekalipun kamu sudah berada di gerbang penjara, kamu tak akan masuk dalam penjara. Tak ada yang sulit bagi Yang Maha Kuasa.
Ditahannya Prof. Usman inilah yang saya maksud dengan terkoyaknya kehormatan UHO. Tapi, sebagai leader atau mantan leader yang berintegritas, UHO harus meyakini bahwa UHO adalah kampus berintegritas pula. Prof. Usman itu bukan saja mantan rektor, tapi ia juga berstatus sebagai mantan Ketua Forum Rektor yang lagi-lagi untuk menduduki posisi ini salah satu telusurannya adalah track rerord menyangkut integritas.
Dan, terbukti. Prof. Usman Rianse divonis bebas murni. Artinya, kehormatan UHO tak terkoyak. Memang, belum final. Masih ada tahapan “banding” Jaksa. Tapi bahwa, satu tahapan persidangan, dimana majelis hakimnya memutuskan bahwa Prof. Usman Rianse tak bersalah. Antara satu hakim dengan hakim yang lain, kan sama. Yang beda, naluri dan feelingnya. Ilmu hukumnya sama. Artinya, jika ditilik dari keilmuan hukum, keilmuan acara pidana, tak akan jauh-jauh dari vonis bebas.
Pegangan KUHAP hakim di Kendari dengan hakim di Jakarta sama. Yang beda, “rasa’nya. Itu satu. Dua, civitas akademika UHO, sekiranya disuguhkan dengan diskusi menyangkut posisi hukum Prof. Usman Rianse, sudah punya jawaban: Kita sudah pernah benar di mata Majelis Hakim. Kalaupun kemudian dinyatakan salah, ya, sialnya saja. Tapi mudah-mudahan, berakhir di Vonis Bebas ini. (nebansi@yahoo.com)